G7: Konflik di Timur Tengah Semakin Meluas, Tidak Ada Negara yang Diuntungkan

Ketegangan antara Israel dan kelompok Hizbullah Lebanon siap meletus, sehingga negara-negara anggota G7 (Kelompok Tujuh) mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan bahwa aksi-aksi di Timur Tengah dan tindakan balasan dapat mengakibatkan kawasan ini terjerumus dalam “konflik yang lebih luas”, dan tidak ada negara yang dapat mengambil keuntungan dari situasi ini

Secretchina.com

Dalam pernyataan bersama G7 disebutkan, “Tindakan dan balasan dapat memperparah pusaran kekerasan yang berbahaya ini, dan membawa seluruh Timur Tengah ke dalam konflik regional yang lebih luas, dengan konsekuensi yang tidak terbayangkan.” Mereka mendesak agar siklus kehancuran ini dihentikan dan menekankan bahwa peningkatan ketegangan di Timur Tengah tidak menguntungkan negara mana pun.

Anggota G7 termasuk Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang. Para menteri luar negeri dari tujuh negara ini sedang berada di New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB dan mengeluarkan pernyataan bersama ini setelah pertemuan di sela-sela sidang.

Di perbatasan Israel-Lebanon, baku tembak sangat intens. Setelah serangkaian ledakan yang melibatkan alat komunikasi Hizbullah pada 17 dan 18 September yang menewaskan 37 orang dan melukai sekitar 3000 orang, serangan Israel masih terus berlanjut. Pada 23 September, serangan udara di selatan Lebanon telah menyebabkan hampir 500 orang tewas. Hizbullah merespons dengan meluncurkan lebih dari 100 roket pada 22 September dini hari, dengan beberapa roket jatuh di dekat kota Haifa, Israel utara.

Perang Total di Ambang Pintu, Israel Umumkan “Keadaan Darurat”

Konflik antara Israel dan Hizbullah di Lebanon akan segera meletus. Pada 23 September malam, pemerintah Israel mengumumkan keadaan darurat sipil nasional karena “situasi belakang yang luar biasa”, yang akan berlangsung selama seminggu hingga 30 September.

Menurut laporan Channel 13 Israel dan Yedioth Ahronoth, keputusan ini diambil berdasarkan rekomendasi Menteri Pertahanan Yoav Gallant, dengan pemerintah menyetujuinya dalam rapat telepon darurat. Alasan utamanya adalah “kemungkinannya sangat tinggi serangan terhadap warga sipil di seluruh negeri.”

Dalam keadaan darurat ini, pemerintah dapat menerapkan berbagai pembatasan pada masyarakat, termasuk melarang perkumpulan. Komando Pertahanan Sipil (Home Front Command) juga memperpanjang otoritasnya hingga 30 September.

Melansir laman Reuters, Josep Borrell, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, menyatakan bahwa situasi di perbatasan Israel-Lebanon sangat berbahaya dan memprihatinkan. “Kita hampir berada dalam perang total. Jumlah korban sipil terus bertambah, intensitas serangan militer meningkat, dan jika ini bukan perang, saya tidak tahu harus menyebutnya apa.”

Borrell mengatakan bahwa upaya untuk meredakan ketegangan masih berlanjut. Namun, efek spillover yang paling dikhawatirkan oleh Eropa kini telah menjadi kenyataan, dengan warga sipil membayar harga yang sangat mahal. Oleh karena itu, diperlukan segala upaya diplomatik untuk mencegah perang total, dan semua pihak harus melakukan segalanya untuk menghentikan jalan menuju perang ini.

Pada 23 September, juru bicara Pentagon, Pat Ryder, mengumumkan bahwa AS telah mengirim sejumlah kecil pasukan tambahan ke Timur Tengah, meskipun ia tidak merinci jumlah pasukan atau misi spesifik mereka.

Menurut laporan Voice of America, seorang pejabat tinggi AS yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa jumlah pasukan yang dikirim ke Timur Tengah diperkirakan puluhan orang, dengan tugas utama untuk membantu evakuasi warga AS jika terjadi perang regional yang lebih besar. Pejabat lainnya menambahkan bahwa jika diperlukan, Marinir AS yang ditempatkan di dekatnya siap menjalankan misi evakuasi.

Tentang Hizbullah

Hizbullah didirikan oleh Garda Revolusi Iran selama Perang Saudara Lebanon pada 1982. Hizbullah telah tumbuh dari sebuah faksi bayangan menjadi kekuatan militer yang tangguh, dengan pengaruh besar di Lebanon dan kawasan sekitarnya. Negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, serta negara-negara Arab Sunni di Teluk seperti Arab Saudi, menganggap Hizbullah sebagai organisasi teroris.

Hizbullah merupakan organisasi Islam Syiah dengan ideologi yang sejalan dengan Iran.

Pemimpin Hizbullah, Sayyed Hassan Nasrallah, pernah mengatakan bahwa kelompoknya memiliki sekitar 100.000 pejuang. Dalam laporan CIA World Factbook, diperkirakan Hizbullah pada tahun 2022 memiliki sekitar 45.000 pejuang, termasuk 20.000 personel penuh waktu dan 25.000 cadangan.

Hizbullah adalah bagian dari “Poros Perlawanan”, sebuah aliansi kelompok-kelompok yang didukung oleh Iran di seluruh Timur Tengah, termasuk kelompok bersenjata Palestina, Hamas. Pada 7 Oktober tahun lalu, serangan Hamas terhadap Israel memicu perang Gaza antara Israel dan Hamas.

Hizbullah telah menembakkan roket ke posisi-posisi Israel di perbatasan sejak 8 Oktober tahun lalu, sebagai bentuk dukungan untuk Palestina. Sejak itu, baku tembak terjadi hampir setiap hari, dengan Hizbullah meluncurkan roket dan drone, sementara Israel membalas dengan serangan udara dan artileri. Kondisi ini telah menyebabkan puluhan ribu orang di kedua sisi perbatasan mengungsi dari rumah mereka. (jhon)