Fenomena Pengangguran di Tiongkok: Lulusan S2 Jadi Pekerja Kasar, Jumlah Mahasiswa S2 Melampaui S1

Tingkat pengangguran di kalangan pemuda di Tiongkok terus meningkat, lulusan dari perguruan tinggi mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Bahkan, fenomena lulusan S2 melamar pekerjaan sebagai pekerja kasar menjadi perhatian. Pada saat yang sama, berbagai universitas di Tiongkok malah semakin mendorong mahasiswa S1 untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana guna menunda tekanan pekerjaan, yang mengakibatkan jumlah mahasiswa pascasarjana di beberapa universitas melampaui jumlah mahasiswa S1 hingga menciptakan fenomena “jumlah sarjana terbalik”

Meng Xinqi/Yi Ru/Wang Mingyu

Baru-baru ini, berita tentang tiga lulusan magister yang melamar sebagai pekerja kasar di asrama universitas menarik perhatian warganet.

Berdasarkan pengumuman rekrutmen dari Universitas Baoshan di Yunnan pada  Agustus, mereka membuka lowongan untuk tujuh posisi seperti petugas keamanan dan pengelola asrama, di mana empat di antaranya adalah lulusan magister, dan tiga orang melamar sebagai pengelola asrama.

Sejarawan asal Tiongkok yang tinggal di Australia, Li Yuanhua, mengatakan: “Saat ini sangat sulit untuk mencari pekerjaan. Melamar pekerjaan dengan gaji rendah pun merupakan cara untuk bertahan hidup, jika tidak mereka tidak bisa hidup. Jika tidak memiliki penghasilan, mereka mungkin akan kelaparan. Ini menunjukkan betapa sulitnya mencari pekerjaan di Tiongkok, ditambah dengan kondisi ekonomi yang lesu dan peluang kerja yang semakin sedikit.”

Tidak hanya itu, baru-baru ini dalam daftar pekerja sementara di Sekolah Menengah Afiliasi Universitas Penerbangan dan Antariksa Nanjing di Suzhou, terdapat seorang lulusan magister fisika.

Meskipun pihak kampus kemudian menyatakan bahwa lulusan magister ini “belum mendapatkan gelar,” fenomena ini tetap mengundang keprihatinan dengan komentar “bakat yang berlebihan untuk pekerjaan kecil.”

Baru-baru ini, dalam daftar rekrutmen lulusan tahun 2024 dari Museum Istana Kekaisaran di Beijing, seorang lulusan jurusan rekayasa perangkat lunak dari Universitas Peking melamar sebagai petugas keamanan.

“Pertama, ini menunjukkan bahwa bakat yang dihasilkan mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, hal ini juga menyoroti bahwa kesempatan kerja saat ini secara keseluruhan menyusut, memaksa para lulusan berbakat ini untuk menerima pekerjaan dengan gaji lebih rendah. Ketiga, ini juga menunjukkan masalah ekonomi yang semakin menyusut, yang berdampak pada pasar konsumsi,” kata Wu Sezhi, Direktur Pusat Penelitian Masalah Tiongkok di Taiwan Think Tank.

Pada 20 September, Biro Statistik Nasional Tiongkok merilis data terbaru yang menunjukkan bahwa tingkat pengangguran pemuda berusia 16 hingga 24 tahun di Tiongkok, tidak termasuk mahasiswa yang masih bersekolah, mencapai 18,8% pada  Agustus, naik 1,7 poin persentase dari  Juli. Ini adalah peningkatan dua bulan berturut-turut dan mencetak rekor tertinggi sepanjang tahun ini.

“Di tingkat sosial, ketika tingkat pengangguran pemuda meningkat dan kesempatan kerja semakin buruk, tentu saja akan muncul konflik sosial. Selain tidak hanya akan menimbulkan masalah sosial, tetapi juga dapat menyebabkan ketidakstabilan politik. Fenomena ini dapat memiliki dampak besar di masa depan,” ujar Wu Sezhi.

Untuk mengurangi tekanan pekerjaan, universitas di Tiongkok semakin mendorong mahasiswa S1 untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana.

“Ini menimbulkan banyak masalah di masyarakat. Banyak orang yang seharusnya sudah bekerja malah mengejar gelar akademis yang lebih tinggi hanya demi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di masa depan. Namun, ketika semua orang berlomba-lomba mengejar gelar akademis yang lebih tinggi, nilai gelar tersebut pun menurun. Hari ini, lulusan magister bekerja di posisi yang sama dengan lulusan SMA atau sarjana di masa lalu,” kata Li Yuanhua.

Seiring dengan tingginya tingkat pengangguran pemuda, jumlah penerimaan mahasiswa pascasarjana di berbagai universitas di Tiongkok juga terus meningkat.

“Ini adalah peringatan besar bagi masa depan Tiongkok. Meskipun saat ini banyak mahasiswa memilih untuk melanjutkan studi pascasarjana, tidak berarti mereka akan mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Mereka hanya menunda masalah pengangguran yang sebenarnya,” kata Wu Sezhi.

Data daring menunjukkan bahwa di universitas-universitas papan atas di Tiongkok seperti Universitas Tsinghua, Universitas Peking, Universitas Zhejiang, dan Universitas Fudan, jumlah mahasiswa baru pascasarjana melebihi jumlah mahasiswa baru sarjana pada tahun ini.

Beberapa universitas lainnya juga mengalami fenomena “jumlah sarjana terbalik,” di mana jumlah mahasiswa pascasarjana melampaui jumlah mahasiswa sarjana.

“Kita juga melihat masalah penurunan angka kelahiran di Tiongkok, penuaan penduduk, dan ketika para pemuda tidak memiliki kesempatan kerja yang memadai, tentu akan memperumit masalah stabilitas sosial di masa depan,” ujar Wu Sezhi.

Para ahli menunjukkan, pada 20 tahun silam, Partai Komunis Tiongkok  meluncurkan kebijakan “industrialisasi pendidikan,” menjadikan pendidikan tinggi sebagai industri yang menguntungkan. Kini, dengan suramnya prospek ekonomi Tiongkok, masalah pengangguran dari lulusan perguruan tinggi mungkin akan semakin parah di masa mendatang. (Hui)