Xia Luoshan
Bukan hal baru bagi kapal-kapal Angkatan Laut dari Amerika Serikat, Inggris dan Kanada untuk melintasi Selat Taiwan yang selama ini diakui sebagai perairan terbuka internasional. Namun pada 13 September ketika 2 unit kapal Angkatan Laut (AL) Jerman melintasi selat tersebut, situasinya menjadi berubah dan menimbulkan kegemparan.
Pada 13 September siang, fregat milik AL Jerman “Baden-Wuerttemberg, F222) bersama kapal pasokannya “Frankfurt am Main, A1412) yang baru mengakhiri kunjungan mereka di Korea Selatan, berlayar melintasi Selat Taiwan dari utara ke Selatan untuk menuju Filipina. Pada 16 September pagi, kedua kapal AL Jerman tersebut tiba di Manila dan berlabuh di Dermaga 15 Pelabuhan Selatan Manila untuk memulai kunjungan empat harinya di Filipina. Setelah itu, kedua kapal juga akan mengunjungi Singapura dan India.
Sebagai bagian dari strategi Indo-Pasifik 2024, ini merupakan pertama kalinya dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun terakhir kapal AL Jerman berlayar melintasi Selat Taiwan untuk mengunjungi Filipina, sebuah negara di Samudera Pasifik yang kebetulan akhir-akhir ini bersitegang dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT) di Laut Tiongkok Selatan gegara konflik teritorial. Ketika tatanan di Laut Tiongkok Selatan berdasarkan hukum internasional terus menerus dirusak oleh PKT, maka pelayaran ini menarik perhatian besar dari komunitas internasional.
Juru bicara dari Komando Militer Timur Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) RRT menyatakan bahwa lewatnya dua kapal Jerman itu merupakan “upaya terbuka untuk menimbulkan keonaran” dan mengirimkan “sinyal yang salah”. Kedutaan Besar RRT untuk Jerman juga menyebutkan bahwa Selat Taiwan adalah perairan milik RRT (Republik Rakyat Tiongkok), dan tidak ada yang namanya “perairan internasional”.
Menanggapi hal ini, Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius membalasnya dengan mengatakan: “Perairan internasional adalah perairan internasional”.
“Mengingat kondisi cuaca, ini adalah jalur terpendek dan juga teraman. Jadi kita melintasinya”, ujarnya.
Kanselir Jerman Olaf Scholz dalam sebuah konferensi pers di Berlin yang tidak terkait dengan masalah tersebut sambil lalu menyatakan: “Tidak banyak yang bisa saya katakan tentang melintasnya (kedua) kapal, karena itu adalah jalur perairan internasional”.
Andreas Pfaffernoschke, Duta Besar Jerman untuk Filipina dalam upacara penyambutan tibanya kedua kapal di Manila menyatakan, kunjungan ini membuktikan bahwa Jerman dan Filipina sedang berupaya untuk memperkuat kerja sama dalam bidang pertahanan. Ia juga menyebutkan bahwa kehadiran AL Jerman di kawasan Indo-Pasifik menyoroti kesediaan Jerman untuk menjaga hak kebebasan navigasi yang telah ditetapkan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan hukum internasional. Ia juga menegaskan kembali kesediaan Jerman untuk memperkuat partisipasinya dalam menjaga keamanan di kawasan Indo-Pasifik.
Saat kedua kapal melewati Selat Taiwan, mereka melintas perlahan dengan kecepatan sekitar 10 knot per jam. Menariknya, media PKT menggambarkannya sebagai “ketar-ketir”. Siapa pun yang memiliki sedikit akal sehat tentu mengetahui bahwa sistem C3I pada kapal kelas ini memiliki fungsi yang unggul dalam pengumpulan data intelijen, jadi tujuan pelayaran lambat itu mungkin saja tidak cuma untuk melintas secara aman.
Berat benaman normal fregat kelas ini adalah sekitar 7.200 ton, menjadikannya sebagai fregat terbesar di dunia. Panjangnya 149,5 meter, lebarnya 18,8 meter, dengan kecepatan maksimumnya adalah 26 knot. Jangkauan jelajah pada kecepatan 18 knot adalah sekitar 4.000 mil laut. Karena kecanggihan dari kapal tersebut, awaknya hanya 120 orang, hampir separuh jumlahnya dibandingkan fregat tradisional. Pada saat yang sama, terdapat fasilitas akomodasi tambahan untuk mengangkut sekitar 190 personel tambahan, seperti Kopassus, Marinir, awak pesawat, dan lainnya.
Kapal tersebut dapat membawa 2 buah helikopter anti-kapal selam berukuran sedang, serta 4 buah kapal tempur bersenjata khusus “FASSMER” yang panjangnya 11 meter, dan 4 buah perahu karet kaku (RHIB) SFB10.1. Karena daya tahannya yang lama dalam pelayaran, dilengkapi dengan peralatan khusus, dan jumlah awaknya yang kecil, kapal ini dapat melakukan operasi anti-pembajakan atau ikut dalam misi patroli gabungan berskala besar. Kapal tersebut juga dapat berfungsi sebagai kapal komando untuk gugus tugas multinasional, memberikan dukungan tembakan ke laut / darat, dan sebagai alat transportasi untuk mendukung pelaksanaan tugas tim operasi khusus.
“Baden-Württemberg” yang cukup inovatif dalam banyak bidang teknis, termasuk memperkenalkan konsep “pulau ganda”, yang mendistribusikan sensor komando, kontrol, komunikasi dan intelijen (C3I) utama antara superstruktur depan dan belakang yang independen, memungkinkan kapal untuk melanjutkan operasi bahkan setelah kerusakan serius, atau pun kehilangan sensor yang mengakibatkan titik buta pertempuran. Kapal menggunakan radar C-band Active Electronically Scaned Array (AESA) canggih dengan jangkauan deteksi maksimum hingga 250 kilometer, serta kemampuan untuk melacak hingga 1.000 target. Selain itu, gabungan radar, langkah-langkah dukungan elektronik komunikasi, sistem komunikasi tautan data taktis, dll. sudah sejak awal dirancang khusus untuk menunjang efektivitas dari sistem pengomandoan, pengendalian, serta kesadaran situasional.
Meriam utama “Baden-Württemberg” adalah meriam ringan OTO Melara 127 mm. Sistem ini terdiri dari empat subsistem utama, termasuk perakitan meriam, sistem penanganan amunisi otomatis, dukungan pengendalian tembakan angkatan laut, dan amunisi seri VULCANO. Rangkaian amunisi VULCANO 127mm terdiri dari amunisi Ballistic Extended Range (BER) dan amunisi Guided Remote (GLR), dilengkapi dengan bahan bakar multi-fungsi, sensor, dan panduan terminal yang berbeda, yang dapat memperluas jangkauan artileri hingga 100 kilometer. Magasin drum menampung 56 putaran tembakan, dan laju tembakannya adalah 32 putaran per menit. Reload dimungkinkan selama penembakan, dan memiliki fleksibilitas tinggi dalam pemilihan amunisi. Sistem ini terutama didukung oleh senjata tembakan ke permukaan, tembakan artileri angkatan laut, ditambah dengan senjata antipesawat.
Kapal ini juga dilengkapi dengan dua sistem senjata Rheinmetall MLG 27 RWS. MLG 27 merupakan singkatan dari Marineleichtgeschütz 27mm, yang merupakan versi angkatan laut dari meriam 27mm yang digunakan oleh jet tempur Tornado dan Gripen. Juga dikenal sebagai revolver otomatis, senjata ini memiliki laju tembakan hingga 1.700 putaran per menit dan jangkauan maksimum 4.000 meter. Senjata ini dapat digunakan untuk mencegat pesawat sayap tetap, helikopter, speedboat, dan rudal dari jarak dekat. Sistem ini sangat cocok untuk bertahan melawan target masuk berkecepatan tinggi.
MLG 27 menggunakan rangkaian sensor EO terintegrasi SAM Electronics, yang dilengkapi dengan kamera TV, pencitraan termal, pengintai laser, sensor sikap, stabilisasi optik, dan sistem pelacakan video untuk mencapai pelacakan target otomatis. Itu terhubung ke sistem kapal dan dapat dioperasikan dari jarak jauh.
Kapal ini juga dilengkapi dengan lima menara (NT) OTO Melara Hitrole yang dikendalikan dari jarak jauh. Setiap menara dilengkapi dengan senapan mesin berat FN M2HB 12,7 mm dengan laju tembakan 450-550 putaran/menit dan jangkauan efektif tembakan sekitar 2 kilometer. Penargetan dan pelacakan dapat dilakukan melalui kamera berperforma tinggi, sensor inframerah, pengukur jarak laser, dan sistem pelacakan otomatis.
Selain artileri, “Baden-Württemberg” juga dilengkapi dengan dua sistem pertahanan rudal RAM Block II yang masing-masing dilengkapi peluncur rudal Mk49, dilengkapi 21 rudal pencegat berpemandu inframerah, dengan jangkauan lebih dari 9 kilometer dan kecepatan luncur lebih dari 2 Mach.
Kapal tersebut juga membawa delapan rudal anti kapal Boeing RGM-84D “Harpoon”. Ini adalah solusi sementara sambil menunggu pengiriman Naval Strike Missile (NSM). NSM memiliki jangkauan tempur 185 kilometer dan terbang dengan kecepatan subsonik tinggi. Ia menggunakan navigasi inersia, GPS dan navigasi referensi medan serta teknologi inframerah. Hulu ledaknya berbobot 125 kilogram. Rudal Harpoon yang ada ini memiliki jangkauan kurang lebih 120 kilometer, kecepatan Mach 0,9, dan hulu ledak seberat 221 kilogram. Rudal “Harpoon” juga memiliki kemampuan terbang skimming di ketinggian rendah dan fungsi panduan radar aktif. Ia terbang pada ketinggian 2 hingga 5 meter di atas air. Setelah mendekati sasaran, ia dengan cepat naik hingga ketinggian sekitar 1.800 meter, kemudian menentukan sasaran dan langsung menukik lurus untuk menghunjam sasaran.
Meskipun fregat kelas “Baden-Württemberg” memiliki berat benaman dan ukuran yang besar, tetapi ia tidak dilengkapi dengan sistem peluncuran vertikal rudal anti-pesawat jarak jauh (VLS), juga tidak dilengkapi dengan senjata serangan darat jarak jauh seperti “Tomahawk”, rudal jelajah. Ide desain ini pernah menimbulkan kontroversi besar, yang membatasi jangkauan pertahanan rudalnya pada jarak menengah dan pendek, serta jangkauan serangan laut dan darat hanya satu atau dua ratus kilometer. Mengingat Jerman tidak memiliki kapal induk dan tidak perlu membentuk jaringan pertahanan jarak jauh yang diperlukan untuk kelompok tempur kapal induk, maka dapat dimengerti bahwa tata letak sistem senjata kelas “Baden-Württemberg” tidak berfokus pada penerapan jangka panjang, jangkauan sistem senjata ofensif dan defensif. Perlu disebutkan di sini bahwa fregat kelas “Baden-Württemberg” juga dilengkapi dengan fitur siluman (tak terdeteksi oleh radar) yang canggih, yang sampai batas tertentu meringankan persyaratan kaku untuk sistem pertahanan jarak jauh.
Tentu saja, meski tidak ada peluncur rudal antipesawat jarak jauh, tetapi tidak ada pihak yang dapat menyangkal bahwa kapal perang ini berteknologi maju dan dilengkapi dengan sarana tempur yang baik untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Pada saat yang sama, tidak menutup kemungkinan untuk memasang sistem peluncuran vertikal pada kapal tersebut di masa mendatang, sehingga dapat lebih mandiri melakukan tugas-tugas kompleks di lingkungan yang sangat penuh dengan tekanan. (sin/whs)