Pada Selasa (1/10/2024), Sekretaris Jenderal NATO yang baru, Mark Rutte, menyatakan bahwa Tiongkok telah menjadi pendukung kunci Rusia dalam perang di Ukraina
Li Yan
Pada hari itu, mantan Perdana Menteri Belanda, Rutte, dilantik sebagai Sekretaris Jenderal ke-14 NATO. Di tengah momen penting perang Rusia-Ukraina, ia menegaskan dukungannya yang kuat untuk Ukraina dan mengecam Tiongkok sebagai “pendukung utama” Rusia dalam perang tersebut.
Rutte juga menekankan bahwa biaya untuk mendukung Ukraina jauh lebih rendah daripada dampak jika Putin memenangkan perang ini.
Ia menyatakan dukungannya yang kuat untuk Ukraina, dan mengatakan bahwa dia tidak khawatir tentang hasil pemilu mendatang di Amerika Serikat, apakah itu Donald Trump atau Kamala Harris yang terpilih. Menurutnya, ia bisa bekerja sama dengan keduanya.
“Saya tidak khawatir,” katanya kepada wartawan. “Saya bekerjasama dengan Donald Trump selama empat tahun. Dia adalah orang yang mendorong kami untuk meningkatkan pengeluaran (pertahanan), dan kami melakukannya, karena tingkat pengeluaran kami sekarang jauh lebih tinggi dibandingkan ketika dia pertama kali menjabat.”
 NATO memperkirakan bahwa pada tahun ini, dari 32 negara anggota, 23 negara akan mengalokasikan setidaknya 2% dari PDB mereka untuk tujuan pertahanan. Sepuluh tahun lalu, hanya ada tiga negara yang memenuhi standar ini.
Menurut laporan Reuters, para pejabat menyatakan bahwa hal ini didorong oleh invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, sebagian juga berkat tekanan dari Trump.
Rutte mengatakan bahwa Trump juga benar dalam mendorong NATO untuk lebih fokus pada Tiongkok. Ia menegaskan kembali pandangan NATO bahwa Tiongkok, melalui penyediaan teknologi penting kepada Rusia, telah menjadi “pendukung utama” dalam upaya Rusia di perang Ukraina.
Reuters melaporkan pada 25 September bahwa berdasarkan informasi dari dua pejabat intelijen Eropa dan dokumen yang dilihat Reuters, Rusia telah mendirikan sebuah program senjata di Tiongkok untuk mengembangkan dan memproduksi drone serang jarak jauh untuk digunakan dalam perang di Ukraina. Gedung Putih menyatakan bahwa ini merupakan contoh lain dari perusahaan Tiongkok yang memberikan dukungan mematikan kepada perusahaan-perusahaan Rusia yang dikenai sanksi oleh AS.
Laporan investigasi dari Nikkei Asia yang diterbitkan pada 1 Juli tahun lalu menemukan bahwa antara Desember 2022 dan April 2023, perusahaan Rusia telah mengimpor setidaknya 37 drone dari Tiongkok dengan nilai sekitar 103.000 dolar AS. Drone-drone ini secara jelas dicatat dalam dokumen bea cukai sebagai “untuk operasi militer khusus”, meskipun Beijing dengan tegas menyangkal terlibat.
Menurut laporan eksklusif CNN pada 16 Maret tahun lalu, sebuah drone buatan Tiongkok yang telah dimodifikasi dan dipersenjatai jatuh di Ukraina timur. Militer Ukraina menemukan bahwa drone tersebut diproduksi oleh perusahaan teknologi Tiongkok, dan dilengkapi dengan bom seberat sekitar 20 kilogram (44 pon).
Rutte juga memuji Kamala Harris, menyebutnya memiliki “rekam jejak yang luar biasa sebagai Wakil Presiden” dan sebagai “pemimpin yang sangat dihormati”.
Terkait perang di Ukraina, ketika ditanya apakah Ukraina akan menang, ia menghindari memberikan jawaban langsung. Sebagian besar senjata dan amunisi yang digunakan Ukraina disuplai oleh negara-negara anggota NATO.
Rutte mengakui bahwa situasi di medan perang “sulit”, dengan Rusia hanya membuat “kemajuan terbatas” tahun ini, namun dengan biaya yang sangat tinggi. Ia menyebutkan bahwa baru-baru ini diperkirakan sekitar 1.000 tentara Rusia tewas atau terluka setiap harinya.
“Kita harus memastikan bahwa Ukraina sebagai negara berdaulat yang independen dan demokratis menang,” tegasnya. Rutte mengatakan bahwa prioritasnya sejalan dengan pendahulunya, Jens Stoltenberg, dengan tiga fokus utama: memastikan NATO mampu menghadapi ancaman apa pun, mendukung Ukraina, dan menghadapi tantangan global melalui kerja sama dengan mitra dekat dan jauh.
Kremlin pada hari Selasa menyatakan bahwa mereka tidak mengharapkan hubungan dengan NATO akan membaik di bawah kepemimpinan Rutte. (jhon)