Terkait Kerja Paksa, Dua Perusahaan Tiongkok Kembali Masuk Daftar Hitam AS

Li Yan

Departemen Keamanan Dalam Negeri AS pada Rabu (2 Oktober 2024) mengumumkan akan melarang impor barang dari Baowu Group Xinjiang Bayi Iron & Steel Co. dan Changzhou Guanghui Food Additives Co. Ltd., dengan tuduhan bahwa kedua perusahaan tersebut menggunakan produk kerja paksa dari wilayah Xinjiang.

Langkah ini memperluas cakupan boikot AS terhadap produk-produk yang diduga melanggar hak asasi manusia oleh pemerintah Tiongkok. 

Departemen tersebut menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur (UFLPA), daftar entitas baru ini menandai pertama kalinya badan penegak hukum AS menargetkan perusahaan baja Tiongkok atau bisnis pemanis aspartam.

Menurut laporan Associated Press, Wakil Menteri Kebijakan Keamanan Dalam Negeri, Robert Silvers, mengatakan, “Tindakan hari ini kembali membuktikan komitmen kami untuk menghapus kerja paksa dari rantai pasokan Amerika dan mempertahankan nilai-nilai kami terhadap semua hak asasi manusia.”

“Tidak ada industri yang kebal,” tambahnya. “Kami akan terus mengidentifikasi entitas dari berbagai sektor dan menuntut pertanggungjawaban mereka yang mencoba meraup keuntungan dari eksploitasi dan pelanggaran ini.”

Pemerintah Tiongkok dituding melanggar hak asasi manusia terhadap etnis Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di Xinjiang. Sebagai respons, Presiden AS Joe Biden menandatangani Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur pada akhir 2021, yang kini menjadi undang-undang federal. Beijing membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa kamp-kamp di Xinjiang dibangun untuk memerangi terorisme dan menjaga stabilitas.

Penandatanganan undang-undang ini menandai perubahan dalam hubungan perdagangan AS- Tiongkok, dengan AS semakin mempertimbangkan masalah keamanan nasional dan hak asasi manusia. Beijing menuduh AS menggunakan isu hak asasi manusia sebagai dalih untuk menekan pertumbuhan ekonomi Tiongkok.

Pada awalnya, pelaksanaan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur fokus pada produk-produk dari industri panel surya, tomat, kapas, dan pakaian. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah AS telah mengidentifikasi lebih banyak industri, termasuk aluminium dan hasil laut, yang juga dicurigai terkait dengan kerja paksa.

Pada Juni lalu, Silvers mengatakan dalam sebuah pertemuan kelompok perdagangan bahwa “Ini mencerminkan kenyataan, dan tragisnya, kerja paksa masih mencemari terlalu banyak rantai pasokan.” Saat itu bertepatan dengan peringatan dua tahun pembentukan daftar entitas berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur UFLPA. Ia menambahkan, “Oleh karena itu, dari sudut pandang industri, cakupan penegakan kami sebenarnya sudah sangat luas.”

Ia menjelaskan, undang-undang ini membuat “importir bertanggung jawab untuk memahami rantai pasokan mereka,” dan pelaksanaannya menunjukkan bahwa AS bisa “melakukan hal yang benar” tanpa mengganggu perdagangan normal.

Departemen Keamanan Dalam Negeri menyatakan bahwa sejak Juni 2022, daftar entitas telah bertambah menjadi 75 perusahaan, yang dituduh menggunakan kerja paksa di Xinjiang atau memperoleh bahan terkait kerja paksa. (jhon)