oleh Zhang Ting
Ketika para pembuat kebijakan mulai merasa lega karena berhasil membawa ekonomi keluar dari inflasi tinggi tanpa memicu resesi, ketegangan yang semakin meningkat di Timur Tengah menambah ketidakpastian baru bagi ekonomi global.
Hampir setahun sejak perang Israel-Hamas pecah pada 7 Oktober tahun lalu, ketegangan di Timur Tengah hingga kini bukan hanya belum mereda, tetapi malah semakin meningkat. Israel dan kelompok bersenjata yang didukung Iran telah melancarkan pertempuran di beberapa garis depan.
Militer Israel baru-baru ini melakukan serangan udara intensif terhadap Hizbullah di Lebanon, yang menewaskan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah dan sejumlah komandan. Sebagai balasan, Iran pada hari Selasa (1/10) meluncurkan sekitar 200 rudal ke Israel, meningkatkan ketegangan di Timur Tengah secara signifikan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah untuk melakukan pembalasan yang keras terhadap Iran.
Presiden AS Joe Biden pada Kamis menyatakan bahwa Amerika Serikat sedang membahas kemungkinan serangan Israel terhadap fasilitas minyak Iran. Pernyataan ini sempat memicu kenaikan harga minyak sebesar 5%.
Setelah dua minggu serangan udara intensif terhadap Lebanon, Israel kini telah mengerahkan pasukan ke Lebanon selatan dan terlibat pertempuran sengit. Militer Israel menyatakan bahwa pada hari Kamis (3/10) mereka menyerang markas intelijen Hizbullah di Beirut, sementara Hizbullah juga meluncurkan banyak roket ke Israel pada hari yang sama.
Berikut adalah dampak potensial konflik Timur Tengah terhadap ekonomi global berdasarkan rangkuman dari Reuters:
Dampak yang Telah Terasa (Jika Ada)
Sejauh ini, dampaknya masih terbatas di wilayah sekitar konflik. Dampak utama hanya dirasakan di pasar keuangan, di mana investor beralih ke aset safe haven untuk melindungi portofolio mereka. Sejak Iran melancarkan serangan rudal balistik terhadap Israel, dolar AS menjadi penerima manfaat utama: “Indeks Dolar,” yang mengukur nilai dolar terhadap euro, yen, dan empat mata uang utama lainnya, diperdagangkan di dekat puncaknya dalam tiga minggu terakhir.
Harga minyak naik pada hari Kamis karena kekhawatiran bahwa konflik yang lebih luas dapat mengganggu aliran minyak dari wilayah tersebut. Misalnya, jika Israel memilih untuk menyerang infrastruktur minyak Iran, hal ini bisa memicu aksi balasan dari Iran.
Iran adalah produsen minyak terbesar ketujuh di dunia, dengan sekitar setengah dari produksinya diekspor ke luar negeri, terutama ke Tiongkok.
Namun, masih belum jelas apakah konflik ini akan menyebabkan kenaikan harga minyak yang berkelanjutan dan signifikan bagi konsumen. Analis mencatat bahwa persediaan minyak mentah Amerika Serikat saat ini cukup tinggi, dan negara-negara OPEC memiliki kapasitas cadangan yang cukup untuk setidaknya meredam dampak gangguan pasokan minyak dalam jangka pendek.
Bagaimana Para Pembuat Kebijakan Menanggapi?
Para gubernur bank sentral menekankan bahwa tugas mereka adalah fokus pada tren jangka panjang yang mendasar, bukan pada guncangan ekonomi satu kali yang tak terduga. Namun, mereka juga tidak bisa sepenuhnya mengabaikan peristiwa geopolitik.
Gubernur Bank Sentral Inggris, Andrew Bailey, mengatakan kepada The Guardian bahwa jika tekanan inflasi terus melemah, bank sentral mungkin akan lebih agresif dalam menurunkan suku bunga. Ini menunjukkan bahwa para gubernur bank sentral saat ini tidak melihat konflik Timur Tengah sebagai ancaman besar terhadap upaya mereka untuk mengendalikan inflasi.
Wakil Gubernur Bank Sentral Swedia, Per Jansson, juga menyampaikan pesan serupa, bahwa dampak dari konflik Timur Tengah belum cukup signifikan untuk mengubah perkiraan ekonomi.
Namun, Bailey memperingatkan bahwa jika situasi terus memburuk, konflik tersebut bisa mendorong kenaikan harga minyak.
Dana Moneter Internasional (IMF) pada hari Kamis menyatakan bahwa eskalasi konflik di Timur Tengah dapat memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi kawasan tersebut dan dunia, meskipun harga komoditas masih lebih rendah daripada puncaknya tahun lalu. Juru bicara IMF, Julie Kozack, mengatakan bahwa terlalu dini untuk memprediksi dampak spesifik terhadap ekonomi global saat ini.
Kapan Dampak Akan Terasa Lebih Jelas?
Harga minyak Brent saat ini sekitar 75 dolar per barel, jauh di bawah 84 dolar pada saat serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober tahun lalu, dan juga jauh di bawah puncaknya yang mencapai 130 dolar setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.
Eropa menghadapi risiko kenaikan harga minyak lebih besar dibandingkan dengan Amerika Serikat, yang memiliki produksi minyak domestik. Namun, bahkan dengan risiko tersebut, pembuat kebijakan memperkirakan bahwa harga minyak perlu naik 10% secara berkelanjutan sebelum inflasi meningkat sebesar 0,1%.
Jika perang skala penuh menyebabkan infrastruktur energi di seluruh Timur Tengah dan Teluk mengalami serangan yang lebih luas, ditambah gangguan lebih lanjut pada jalur perdagangan melalui Laut Merah, dampaknya terhadap ekonomi akan lebih signifikan.
Menurut perkiraan Oxford Economics, kondisi ini dapat menyebabkan harga minyak melonjak hingga 130 dolar per barel dan mengurangi pertumbuhan ekonomi global tahun depan sebesar 0,4%. Saat ini, IMF memperkirakan pertumbuhan global pada tahun depan sekitar 3,3%. (jhon)