EtIndonesia. Perang Rusia-Ukraina telah berlangsung lebih dari dua setengah tahun, dan situasi semakin tidak menguntungkan bagi Ukraina. Sekutu Barat berharap segera menghentikan perang di medan tempur dengan menawarkan keanggotaan NATO sebagai imbalan bagi Ukraina untuk melepaskan klaim atas wilayah yang diduduki. Meskipun semakin banyak rakyat Ukraina yang setuju dengan ide ini, keputusan tersebut akan menjadi kekalahan politik bagi Presiden Zelenskyy, dan apakah dia bisa setuju atau tidak, kini menjadi kunci utama.
Pekan lalu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengunjungi Amerika Serikat untuk mempromosikan “rencana kemenangannya”, dan meminta AS untuk mencabut pembatasan serangan Ukraina ke wilayah Rusia. Namun, Presiden Joe Biden tidak setuju. Meskipun demikian, Ukraina percaya ini tidak berarti Washington menolak gagasan tersebut, melainkan mempertimbangkan faktor pemilu, dan Amerika kemungkinan besar akan memberikan lampu hijau setelah pemilu selesai.
Hal ini bukan karena tentara Ukraina menunjukkan perlawanan yang gigih, melainkan karena situasi di medan perang semakin kritis. Rusia terus melancarkan serangan di berbagai front di Ukraina timur, khususnya Vuhledar, yang telah dikepung dari tiga arah oleh tentara Rusia. Pasukan Ukraina di sana kalah jumlah, banyak garis pertahanan telah runtuh, dan pusat kota telah dikuasai oleh pasukan Rusia.
Para sekutu Ukraina akan mengadakan pertemuan puncak pada 12 Oktober di Ramstein, Jerman. Saat itu, Zelenskyy akan mengajukan “rencana kemenangannya”, mengusulkan langkah-langkah konkret untuk mengakhiri perang dan berharap para sekutu mendukung Ukraina untuk segera bergabung dengan NATO. Harapan Zelenskyy adalah bahwa Amerika Serikat dan NATO tidak akan membiarkan Ukraina kalah perang, karena hal ini akan berdampak besar pada reputasi AS dan keamanan Eropa. Oleh karena itu, Zelenskyy yakin mereka pada akhirnya akan menyetujui seluruh permintaannya, seperti persenjataan yang sebelumnya ditolak tetapi akhirnya diberikan oleh NATO.
Namun, yang tidak diperhitungkan oleh Zelenskyy adalah bahwa banyak negara Eropa sudah lelah dengan perang, dan kekuatan sayap kanan yang menentang perang semakin kuat. Khususnya, dengan pemilu AS yang semakin dekat, gelombang penentangan terhadap bantuan untuk Ukraina semakin besar. Meskipun kandidat presiden dari Partai Demokrat, Kamala Harris, membantah akan bernegosiasi langsung dengan Putin untuk mengakhiri perang, jika Partai Republik menguasai Kongres, bantuan kepada Ukraina kemungkinan akan sulit berlanjut. Kandidat lainnya, Donald Trump, bahkan menyatakan bahwa dia akan mencapai kesepakatan gencatan senjata sebelum dilantik sebagai presiden.
Mengingat situasi medan perang dan kondisi di Amerika Serikat yang tidak menguntungkan, sekutu-sekutu Ukraina cenderung mendesak Zelenskyy untuk segera merundingkan penghentian perang. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah kesepakatan damai “pertukaran wilayah dengan keanggotaan NATO”, yang berarti Ukraina setuju membiarkan Rusia terus menguasai wilayah yang telah diduduki sebagai imbalan untuk bergabung dengan NATO guna menjamin keamanannya.
Sekretaris Jenderal NATO yang baru, Mark Rutte, pada 1 Oktober mengatakan bahwa Putin harus menyadari bahwa NATO tidak akan mundur dalam mendukung Ukraina melawan perang agresi. “Kami tidak akan menyerah. Kami ingin Ukraina menang.” Dia juga menyatakan keinginan untuk memperkuat dukungan kepada Ukraina dan menjadikan mereka lebih dekat dengan NATO, karena menurutnya posisi Ukraina seharusnya memang di NATO.
Namun, Presiden Biden, yang khawatir akan badai Milton yang akan menyerang Florida dan memengaruhi pemilu, menunda kunjungannya ke Jerman. Jika Biden absen dari pertemuan puncak bantuan untuk Ukraina pada 12 Oktober, rencana “pertukaran wilayah untuk NATO” mungkin mengalami perubahan.
Pemerintah Kyiv saat ini berada dalam situasi campur aduk. Di satu sisi, jika Biden tidak hadir, Zelenskyy bisa menghindari tekanan langsung untuk membuat konsesi. Namun di sisi lain, hal ini menunjukkan bahwa isu Ukraina semakin kurang penting bagi Amerika. Seperti yang diungkapkan oleh seorang pejabat kebijakan AS: “Tidak ada yang berencana meninggalkan Ukraina, tetapi Ukraina tidak lagi menjadi prioritas utama kebijakan Amerika saat ini.”
Ukraina kini memasuki masa tergelap dalam perang, dengan kekalahan di medan tempur menyebabkan penurunan dukungan di kalangan rakyat. Wajib militer paksa telah memicu ketegangan sosial, di mana pria yang memenuhi syarat ditahan di stasiun kereta bawah tanah dan stasiun kereta api, kemudian dikirim ke pusat pelatihan dan langsung ke medan tempur, mirip dengan perekrutan paksa selama perang saudara Tiongkok dulu. Setengah dari fasilitas produksi dan transmisi listrik Ukraina telah dihancurkan oleh rudal Rusia, dan akan sulit menghadapi musim dingin yang akan segera tiba.
Perang ini kini telah menjadi perang yang melelahkan, dan Ukraina hanya memiliki 450.000 tentara untuk melawan 540.000 tentara Rusia. Baru-baru ini, Putin menandatangani perintah wajib militer, yang bertujuan untuk meningkatkan ukuran angkatan bersenjata Rusia menjadi 1,5 juta tentara. Rusia juga akan meningkatkan anggaran pertahanannya hampir 30% tahun depan dan beralih ke ekonomi perang. Hanya untuk tank utama, Rusia diperkirakan akan memproduksi 1.000 unit setiap tahun. Jika dibandingkan dengan keunggulan Rusia, Ukraina jelas tidak dapat menyaingi mereka.
Opini publik di Ukraina juga mulai berubah. Tahun lalu, hanya 33% yang percaya bahwa mereka harus merundingkan gencatan senjata dengan Rusia, namun tahun ini angkanya meningkat menjadi 57%. Tahun lalu, 87% warga Ukraina dengan tegas menolak kesepakatan damai yang melibatkan penyerahan wilayah, tetapi tahun ini, jumlah penolaknya turun menjadi 55%. Jika mereka yang berusia di atas 60 tahun, yang tidak wajib militer, dikeluarkan dari survei, persentase yang mendukung perdamaian dengan pertukaran wilayah bahkan lebih tinggi.
Namun, bagi Presiden Zelenskyy, ini adalah hasil yang memalukan, menunjukkan bahwa upaya dan keputusannya selama ini telah gagal. Pada Mei tahun lalu, tingkat kepercayaan publik terhadap Zelenskyy mencapai 80%, tetapi tahun ini turun menjadi 45%. Jika perang terus berlarut-larut, dan dia ingin mencalonkan diri kembali tahun depan, maka gencatan senjata dan negosiasi, serta membangun kembali reputasinya, mungkin menjadi satu-satunya jalan, yang akhirnya bisa menjadi titik terang bagi akhir perang Ukraina.(jhn/yn)