Anak Muda Tiongkok Memulai Tren Baru ‘Kehilangan Pikiran’ di Tengah Tingginya Angka Pengangguran

Menghadapi prospek karier yang suram, para pemuda di Tiongkok mengatasi stres dan frustrasi dengan cara yang tidak konvensional

oleh Lynn Xu dan Xin Ning


Rasa frustrasi menyelimuti generasi muda Tiongkok seiring dengan tingginya tingkat pengangguran kaum muda. Semakin banyak pemuda Tiongkok yang memulai tren “kehilangan pikiran” sebagai cara untuk meredakan stres dan kecemasan.


Biro Statistik Nasional Tiongkok mengumumkan pada 22 Oktober tingkat pengangguran pemuda terbaru (usia 16 hingga 24 tahun), yang mencapai sekitar 18 persen pada September. Angka tersebut didasarkan pada metodologi yang telah diubah—tidak memasukkan pemuda yang masih bersekolah—setelah Beijing memutuskan untuk menangguhkan publikasi data pengangguran pemuda setelah angka tersebut mencapai rekor tertinggi sebesar 21 persen pada Juni 2023.

Puluhan juta lulusan perguruan tinggi yang baru lulus musim panas ini semakin membebani pasar tenaga kerja. Menghadapi prospek karier yang suram, tren “Kehilangan pikiran” mulai menjamur di kalangan pemuda Tiongkok.


Ratusan unggahan viral di media sosial menunjukkan para pemuda mengenakan pakaian rumah sakit di pegunungan, padang rumput, pantai, gurun, dan tempat wisata lainnya di kota-kota dan wilayah seperti Shanghai, Harbin, Sichuan, dan Xinjiang, terutama selama libur nasional seminggu pada 1 Oktober, peringatan 75 tahun berdirinya  komunis Tiongkok.

Unggahan-unggahan tersebut berbagi tagar seperti “sakit jiwa”, “pakaian psikiatri”, “menyembuhkan kondisi mental yang terkuras”, dan “ bersenang-senang”. Cara rileksasi ini telah mendapatkan respons positif dari para netizen, dan banyak yang menyatakan keinginannya untuk bergabung.

Beberapa pengamat Tiongkok berpendapat bahwa aksi para pemuda yang meniru orang dengan kondisi kesehatan mental ini menjadi bentuk pelarian dari tekanan hidup dan aturan ketat yang diberlakukan oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT). Tren terbaru ini memperpanjang gerakan “berbaring rata” — tidak berupaya maju di masyarakat — yang dimulai pada 2021 dan gerakan “biarkan membusuk” — tidak melakukan apapun untuk memperbaiki situasi — pada 2022.

Beberapa agen perjalanan telah mengembangkan program baru yang menawarkan tur dengan pakaian bertema psikiatri. Salah satu agen di Provinsi Hunan, Tiongkok selatan, baru-baru ini mengatakan kepada The Epoch Times bahwa program semacam ini “cukup populer di kalangan pemuda.”

Menurut salah satu pegawai agen tersebut, yang meminta namanya dirahasiakan, berpakaian dengan gaun rumah sakit dan berkumpul dengan orang asing dapat membantu klien mereka melupakan masalah.

“Lingkungan hidup dan kerja di Tiongkok sangat menantang, dengan banyak orang yang menderita kecemasan dan merasa sangat lelah secara umum,” katanya.

Sheng Xue, seorang penulis Tiongkok yang tinggal di Kanada, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa kerasnya kehidupan di tengah penurunan ekonomi negara membuat masyarakat Tiongkok sulit membayangkan masa depan yang stabil. Ia menambahkan bahwa selain masalah finansial, masyarakat juga hidup di bawah sensor ketat dan penindasan kebebasan berbicara oleh PKT, yang menciptakan suasana ketakutan dan tekanan yang memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, mendorong banyak orang ke “ambang kegilaan.”


Sejak 2020, langkah-langkah PKT terkait COVID-19 telah menyebabkan aliran keluar miliaran dolar dari investasi langsung asing dan operasi yang lambat di banyak industri. Jutaan orang mengalami pemotongan gaji atau pengangguran.


Menurut data resmi, aliran keluar bersih investasi langsung asing mencapai sekitar $113 miliar pada paruh pertama 2024, dibandingkan dengan arus masuk bersih tahunan sekitar $120 miliar satu dekade lalu. Aliran keluar bersih kuartalan dimulai tahun lalu. Namun, mengingat catatan otoritas Tiongkok yang kerap menutupi dan meremehkan informasi, sulit untuk menilai situasi ekonomi Tiongkok yang sebenarnya.


Xiaoman (nama samaran) kehilangan pekerjaannya setengah tahun lalu. Ia dulunya adalah seorang programmer komputer di Guangzhou, salah satu kota industri terkaya di Tiongkok.

“Beberapa pabrik di industri terkait internet telah mengurangi ukuran, mem-PHK ribuan pekerja. Saya salah satunya, dan teman-teman sekelas saya juga kehilangan pekerjaan,” katanya kepada The Epoch Times.


Xiaoman mengatakan dia masih mencari pekerjaan tetapi merasa putus asa.


Sun Jiayu (nama samaran) pindah dari Provinsi Shandong ke Beijing sembilan tahun lalu. Ia bekerja 12 jam setiap hari sebagai pekerja pengiriman makanan untuk menghidupi putrinya yang masih SMA.

Jumlah pekerja pengiriman di Beijing telah meningkat tiga kali lipat, menyebabkan persaingan dan penurunan signifikan dalam penghasilan mereka, katanya. Di antara para pendatang baru adalah lulusan universitas yang, menghadapi pasar kerja yang sulit, beralih ke ekonomi gig untuk memenuhi kebutuhan hidup.


Di tahun-tahun awal booming industri ini, Sun mengatakan ia menghasilkan lebih dari 10.000 yuan (sekitar $1.400) per bulan; sekarang, penghasilannya berkisar antara 6.000 hingga 7.000 yuan (sekitar $840–$985).


“Biaya hidup di Beijing cukup tinggi, dan saya harus berhemat untuk menabung,” katanya kepada The Epoch Times.


Para pekerja yang bergaji di sektor penjualan juga menghadapi kesulitan karena menurunnya permintaan dan konsumsi konsumen.


Liu Ming, 25, dari Anyang, Provinsi Henan, bekerja sebagai penjual ternak. Ia mengatakan kepada The Epoch Times bahwa ia tidak dapat memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri dan sebagian bergantung pada orang tuanya.


Merasa putus asa, dia berkata: “Saya bahkan tidak bisa bertahan sekarang. Bagaimana bisa saya berpikir tentang masa depan?” (asr)