Dukungan Militer Korea Utara untuk Rusia! Langkah Berani atau Bahaya Besar?

EtIndonesia. Situasi di medan pertempuran Ukraina-Rusia kembali memanas setelah laporan dari AS dan NATO yang mengonfirmasi bahwa Korea Utara telah mengirim pasukan untuk membantu Rusia. Pada tanggal 24 Oktober 2024, Ukraina mengumumkan bahwa pasukan Korea Utara telah tiba di zona pertempuran di wilayah perbatasan Kursk, menandakan kesiapan mereka untuk terjun langsung dalam konflik. Langkah ini memicu reaksi cepat dari Amerika Serikat dan Korea Selatan, yang mengambil tindakan untuk meredakan ketegangan.

Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby, menyatakan bahwa jika tentara Korea Utara benar-benar ikut bertempur, mereka akan dianggap sebagai sasaran serangan normal bagi militer Ukraina. AS memperingatkan bahwa partisipasi Korea Utara di medan perang akan membawa risiko dan potensi eskalasi di kawasan tersebut.

Pada hari yang sama, laporan dari Fox News mengungkap bahwa Komite Intelijen AS dan Pentagon melarang Ukraina menggunakan rudal jarak jauh buatan AS untuk menyerang wilayah Rusia. Larangan ini didasarkan pada pertimbangan risiko provokasi terhadap Rusia, yang merupakan negara dengan kekuatan nuklir. Selain itu, pihak Rusia berpotensi memindahkan pesawat tempurnya ke luar jangkauan rudal, sementara stok rudal jarak jauh AS juga terbatas.

Di Seoul, Menteri Pertahanan Korea Selatan, Kim Yongsik, menyarankan agar tentara Korea Utara yang terlibat dalam perang dianggap sebagai tentara bayaran, bukan sebagai pasukan resmi yang dikirim pemerintah. Pernyataan ini dinilai sebagai sinyal untuk menurunkan ketegangan terkait keterlibatan Korea Utara dalam konflik.

Menurut analis militer Zhao Junshuo, AS dan NATO tampak enggan untuk lebih jauh terlibat dalam perang Rusia-Ukraina. Bahkan jika bantuan terus diberikan kepada Ukraina, AS tetap tidak memperbolehkan penggunaan rudal jarak jauh untuk menyerang wilayah Rusia.

“Pilihan yang tersisa bagi Rusia adalah memanfaatkan pasukan Korea Utara yang, meskipun kurang pengalaman tempur, dapat menjadi aset strategis. Sementara itu, AS diperkirakan tidak akan mengirim pasukan secara langsung ke wilayah konflik,” ujar Zhao.

Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, dalam pertemuannya dengan Presiden Polandia Andrzej Duda, menyatakan bahwa negaranya akan mengambil pendekatan yang lebih fleksibel dalam mendukung Ukraina. Pernyataan ini menunjukkan kehati-hatian Korea Selatan, mengingat risiko potensi konfrontasi langsung dengan Korea Utara. Yoon tidak memberikan komitmen langsung terkait bantuan militer, sebuah langkah yang dianggap sebagian pengamat sebagai strategi untuk meredakan ketegangan.

Prediksi kini mengarah pada kemungkinan serangan besar-besaran oleh Rusia dengan dukungan pasukan Korea Utara di wilayah Kursk. Para pengamat menyatakan bahwa Rusia berusaha merebut kembali wilayah tersebut, yang saat ini berada di bawah kontrol Ukraina.

Jenderal Christopher G. Cavoli dari Komando Eropa AS memperingatkan agar tidak meremehkan kekuatan militer Rusia. Meskipun mengalami kerugian besar di lini pasukan darat, Rusia masih memiliki kapasitas militer konvensional dan nuklir yang signifikan.

Situasi ini menempatkan Beijing dalam posisi yang sulit.

Menurut Zhao Hanbum, peneliti senior di Institut Penelitian Unifikasi Korea di Seoul, kolaborasi militer Rusia-Korea Utara dapat mengurangi pengaruh Tiongkok terhadap Korea Utara dan memicu kecurigaan global terkait aliansi antara Korea Utara, Tiongkok, dan Rusia. Zhao Junshuo berpendapat bahwa meskipun Tiongkok mungkin tidak nyaman dengan kehadiran militer Korea Utara di Rusia, Beijing kemungkinan sudah mengetahui rencana ini sebelumnya dan memilih untuk mengabaikannya secara diplomatis.

Dalam perkembangan lain, sebuah video yang beredar memperlihatkan seorang tentara Ukraina menuliskan “Vladivostok adalah milik Tiongkok” pada amunisinya sebelum digunakan. Tulisan tersebut menyindir upaya Tiongkok untuk mempertahankan klaim kedaulatan atas Taiwan. Aksi simbolis ini memunculkan reaksi beragam dari publik dan mengisyaratkan dukungan simbolik terhadap kampanye Tiongkok untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang mereka anggap historis.

Konflik ini kian rumit dengan keterlibatan berbagai negara dan ancaman eskalasi lebih lanjut. Ke depannya, pertarungan politik dan militer di kawasan ini akan tetap menjadi fokus perhatian global. Bagaimana respons lebih lanjut dari berbagai negara terhadap perkembangan ini?