Tiongkok dan Rusia Berupaya Menggunakan BRICS untuk Melawan Sistem Keuangan Global, Para Ahli Meragukan Keberhasilannya

 Alex Wu

BRICS saat ini terdiri 45 persen populasi dunia dan 35 persen ekonomi global berdasarkan daya beli. Kelompok BRICS baru saja mengadakan pertemuan puncak pertamanya sejak ekspansi kelompok tersebut, digelar di Kazan, Rusia, yang merupakan ketua bergilir.

Melalui kelompok ini, Tiongkok dan Rusia berupaya membentuk platform pembayaran internasional alternatif yang tidak terpengaruh oleh sanksi Barat—taktik yang menurut para ahli kecil kemungkinan akan berhasil.

BRICS didirikan oleh Rusia, Tiongkok, dan India, kemudian diikuti oleh Brasil, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Arab Saudi telah diundang untuk bergabung, namun belum secara resmi menjadi anggota.

Rusia  menggunakan The Cross-border Interbank Payment System (CIPS) dalam perdagangan internasional terbatas sejak dilarang menggunakan SWIFT berbasis dolar AS setelah invasi ke Ukraina pada tahun 2022.

Wang Guo-chen, asisten peneliti di Chung-Hua Institution for Economic Research di Taiwan, mengatakan peluang Tiongkok dan Rusia untuk benar-benar mengubah sistem keuangan internasional sangat kecil.

Menurut statistik dari Bank Sentral Tiongkok, CIPS memproses rata-rata 30.000 transaksi per hari pada tahun 2023, melibatkan 482,6 miliar yuan ($67,8 miliar). Wang berkata bahwa dibandingkan dengan SWIFT berbasis dolar AS, yang menangani 42 juta transaksi per hari senilai $5 triliun, “bagaimana mungkin CIPS milik Tiongkok bisa menggantikan SWIFT dengan kesenjangan sebesar itu?”

“Jika suatu negara tidak dapat bergabung dengan SWIFT, artinya negara tersebut dikeluarkan dari pertukaran keuangan global. Jadi, sangat sulit bagi Beijing untuk mengubah sistem keuangan global,” kata Wang kepada The Epoch Times.

Ekonom makro Taiwan Henry Wu mengatakan kepada The Epoch Times bahwa ekonomi tiga negara inti dalam BRICS—Tiongkok, Rusia, dan Iran—akan terus mengalami tekanan.

“Karena situasi politik global adalah konfrontasi antara Amerika Serikat dan Tiongkol, dan strategi dasar AS adalah memutuskan dukungan finansial Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan secara bertahap menghilangkan momentum ekonominya. Dengan cara ini, PKT pada akhirnya tidak akan mampu bertahan karena masalah ekonomi internal dan krisis rezim, apalagi membantu rezim lain.”

Wu mengatakan pengaruh internasional PKT didasarkan pada investasinya yang besar di negara lain, “tetapi sekarang PKT tidak memiliki uang. Aset dolar AS-nya telah dikosongkan oleh para pejabat korup dalam negeri. Mereka menukarkan uang hasil korupsi dalam RMB dengan dolar AS dan kemudian mentransfernya ke luar negeri. Selain itu, penguncian ekstrem PKR selama COVID-19 menyebabkan kerugian ekonomi besar yang belum pulih.”

Wang menyatakan : “Jika bukan karena sanksi keuangan dari Eropa dan Amerika Serikat, Rusia tidak akan ingin menggunakan RMB untuk transaksi. Putin juga ingin memajukan internasionalisasi Rubel melalui BRICS. Dengan kata lain, baik PKT maupun Rusia ingin mengendalikan negara-negara BRICS.”

Wang menambahkan bahwa negara-negara BRICS memiliki perhitungan mereka sendiri. “Tetapi negara-negara ini sebenarnya memiliki masalah politik dan ekonomi masing-masing, baik itu Rusia, Iran, atau Tiongkok. Jadi mereka memiliki masalah daya beli. Setiap negara BRICS ingin mengekspor, bukan mengimpor. Namun, siapa yang memiliki pasar konsumen akhir terbesar di dunia seperti Amerika Serikat? Tampaknya tidak ada di antara mereka yang memilikinya.”

Mantan kepala ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill, yang memperkenalkan istilah BRIC pada tahun 2001, mengatakan, “Gagasan bahwa BRICS bisa menjadi klub ekonomi global yang nyata, jelas terlalu jauh seperti halnya G7, dan sangat mengganggu bahwa mereka melihat diri mereka sebagai sesuatu yang setara secara global, karena jelas tidak realistis.”

BRICS saat ini mencakup 45 persen populasi dunia dan 35 persen ekonomi dunia berdasarkan daya beli. Tiongkok menyumbang lebih dari setengah total ekonomi kelompok tersebut.

Hubungan Tiongkok–Rusia

Xi Jinping menghadiri pertemuan puncak dan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Kazan pada 22 Oktober; ini merupakan pertemuan ketiga mereka tahun ini.

Putin mengatakan kepada Xi: “Kerjasama Rusia–Tiongkok dalam urusan dunia adalah salah satu faktor utama stabilisasi di panggung dunia.”

Xi mengatakan bahwa “situasi internasional terjalin dengan kekacauan,” dan “Saya yakin bahwa persahabatan antara Tiongkok dan Rusia akan berlanjut selama beberapa generasi, dan tanggung jawab negara besar terhadap rakyatnya tidak akan berubah.”

Zheng Qinmo, profesor madya di Departemen Diplomasi dan Hubungan Internasional di Universitas Tamkang di Taiwan, mengatakan tidak ada persahabatan sejati antara Tiongkok dan Rusia.

“Meski mereka berkata demikian, kerja sama mereka terutama ditujukan untuk menantang tatanan internasional yang saat ini dipimpin oleh Amerika Serikat dan hanya kerja sama sementara,” katanya kepada The Epoch Times.

“Ada banyak konflik antara Tiongkok dan Rusia,” kata Zheng. “Xi Jinping berjanji untuk terus mendukung Rusia dalam perang Rusia-Ukraina, tetapi dia juga takut dengan memburuknya hubungan dengan Barat, terutama karena PKT kini menghadapi penurunan ekonomi yang serius.”

Di bidang keuangan global, Zheng menekankan, “Rusia, yang berada di bawah sanksi Barat, lebih ingin membentuk sistem pembayaran lintas batas yang berbeda, tetapi PKT memiliki kekhawatiran. PKT  berharap membangun tatanan internasional yang didominasi oleh PKT, berdasarkan dukungan negara-negara selatan global, untuk bersaing dengan Amerika Serikat.”

Rusia berada di bawah sanksi internasional sejak invasinya ke Ukraina pada 2022, sementara Tiongkok tetap menjadi pendukung utama Rusia dalam perang yang sedang berlangsung di Ukraina. Sementara itu, Tiongkok semakin mendapat tekanan dari komunitas internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat karena terus mengancam kedaulatan Taiwan dan praktik yang dianggap tidak adil dalam perdagangan global. (asr)

Luo Ya, Pei Zhen, dan Reuters berkontribusi dalam laporan ini.