ETIndonesia. Krisis utang industri real estat di Tiongkok semakin menyebar ke sektor keuangan, membebani industri perbankan Tiongkok dengan tingkat pinjaman macet yang tinggi. Ditambah dengan kondisi ekonomi Tiongkok yang terus melemah dan krisis pengembangan bisnis, industri perbankan juga mengalami kelesuan.
Laporan keuangan terbaru dari Bank Komersial Kota Guiyang menyebutkan bahwa pendapatan dan laba bersihnya telah menurun selama enam kuartal berturut-turut, kembali ke tingkat kinerja seperti lima tahun lalu.
Pada Senin (28/10/2024), Bank Guiyang merilis laporan keuangan untuk kuartal ketiga tahun ini, menunjukkan bahwa pendapatan operasional bank selama tiga kuartal pertama tahun ini adalah sekitar 10,937 miliar yuan, turun 4,42% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu; laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham induk adalah 3,97 miliar yuan, turun 6,81% dari tahun sebelumnya.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa bank telah mengalami penurunan besar dalam pendapatan dan laba bersih selama enam kuartal berturut-turut. Hanya dari kinerja tiga kuartal pertama saja, pendapatan Bank Guiyang telah kembali ke tingkat tahun 2019.
Dalam laporannya, Bank Guiyang menjelaskan bahwa penurunan kinerja selama tiga kuartal pertama tahun ini terutama disebabkan oleh faktor-faktor seperti pengurangan bunga untuk mendukung ekonomi riil, penyesuaian struktur aset, dan penurunan berkelanjutan suku bunga pasar, yang menyebabkan penyempitan margin bunga bersih.
Menurut laporan “Beijing Business Today” 29 Oktober, bahwa secara tradisional, pendapatan Bank Guiyang sangat bergantung pada pendapatan bunga bersih, dengan proporsi bisnis ini pernah mendekati 90%. Meskipun proporsi ini telah menurun selama tiga kuartal pertama tahun ini, angkanya masih tinggi di 79%. Dengan penyempitan margin bunga, pendapatan bunga bersih pada tiga kuartal pertama turun 15,61%, yang pada gilirannya menyeret turun pendapatan operasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, krisis utang industri real estat telah meledak secara besar-besaran, menyebabkan industri secara keseluruhan mengalami kelesuan yang berkepanjangan. Seiring dengan semakin banyaknya perusahaan real estat yang gagal membayar utangnya, jumlah bangunan tidak selesai meningkat tajam, dan di bawah gelembung real estat, pinjaman perumahan bermasalah di sektor perbankan terus menumpuk, meningkatkan masalah pinjaman macet.
Ditambah lagi dengan utang pemerintah daerah yang terus meningkat dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang terus melambat dalam lingkungan ekonomi global yang memburuk, risiko untuk perbankan Tiongkok hampir mencapai titik kritis.
Dari informasi yang tersedia untuk umum, dalam dua tahun terakhir, terjadi gelombang penutupan bank di daratan Tiongkok. Hanya dalam tujuh bulan pertama tahun ini, setidaknya 50 bank ukuran menengah dan kecil telah dibubarkan atau digabung, sementara jumlahnya tahun lalu adalah 77 bank.
Data yang dirilis oleh Administrasi Pengawasan dan Manajemen Keuangan Nasional Tiongkok menunjukkan bahwa jumlah institusi keuangan di Tiongkok telah menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dari puncak 4607 pada tahun 2019 menjadi 4490 pada tahun 2023, dengan penurunan total sebanyak 117 bank. (Jhon)
Sumber : NTDTV.com