EtIndonesia. Robert Lighthizer, yang menjabat sebagai perwakilan perdagangan pada masa pemerintahan Trump, menerbitkan sebuah artikel yang menganalisis kesulitan dan tantangan ekonomi AS selama 30 tahun terakhir. Dia menyatakan bahwa kebijakan perdagangan luar negeri yang diterapkan oleh pemerintahan Trump adalah respons terhadap negara-negara yang merusak prinsip perdagangan bebas, terutama kebijakan tarif yang dianggap paling efektif.
Pada Jumat (1/11), surat kabar Inggris Financial Times menerbitkan kolom tulisan Lighthizer. Dalam artikelnya, dia mengungkapkan bahwa Amerika Serikat telah lama menghadapi tantangan dan kesulitan berupa defisit perdagangan yang besar, penurunan sektor manufaktur, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah negara-negara yang menerapkan kebijakan “predator” dalam perdagangan global yang merugikan. Lighthizer tidak secara langsung menyebutkan Tiongkok dalam artikelnya.
Di bulan-bulan terakhir masa jabatannya yang pertama, Trump sempat mengusulkan pemisahan ekonomi antara AS dan Tiongkok, atau yang dikenal dengan istilah “decoupling”, yang mendapat dukungan dari Lighthizer.
Latar Belakang Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Trump
Dalam artikelnya, Lighthizer menjelaskan bahwa dari perspektif ekonomi makro, hasilnya cukup mengejutkan. Selama 30 tahun terakhir, AS terus-menerus mengalami defisit perdagangan besar setiap tahun, menyebabkan transfer kekayaan bernilai triliunan dolar ke luar negeri demi memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Dalam artikelnya, dia mengatakan: “Selama tiga dekade terakhir, kita telah kehilangan jutaan lapangan kerja, banyak di antaranya adalah pekerjaan manufaktur dengan gaji tinggi. Selain itu, upah median kita cenderung stagnan, kecuali selama masa pemerintahan Trump yang sempat mengalami kenaikan.”
Artikel tersebut juga menyoroti kemunduran sektor manufaktur di Amerika Serikat. Dari elektronik, tekstil, hingga industri kimia, AS nyaris kehilangan dominasinya di berbagai sektor inti.
Dengan latar belakang ini, pemerintahan Trump menerapkan serangkaian kebijakan ekonomi untuk menangani kesulitan dan tantangan yang dihadapi AS, di mana perang dagang dengan Tiongkok menjadi perhatian utama, dengan dampaknya yang bahkan terasa hingga pemerintahan Biden.
Perang dagang AS-Tiongkok dimulai pada 2018, ketika Trump memberlakukan tarif hingga 25% pada produk impor dari Tiongkok senilai 350 miliar dolar, termasuk panel surya, mesin cuci, baja, dan aluminium, yang mencakup sekitar 65% dari total ekspor Tiongkok ke AS pada 2018.
Pada awal 2020, pemerintahan Trump menandatangani “Perjanjian Perdagangan Tahap Pertama” dengan Tiongkok. Berdasarkan perjanjian tersebut, AS mengurangi sebagian tarif dengan syarat Tiongkok meningkatkan pembelian produk ekspor AS, termasuk produk pertanian senilai 50 miliar dolar. Namun, volume pembelian dari Tiongkok jauh dari target yang disepakati.
Dalam kampanyenya pada 2024, Trump menyatakan bahwa jika terpilih kembali, dia akan menuntut Tiongkok untuk memenuhi perjanjian tersebut. Dia juga berjanji akan menerapkan tarif hingga 60% atau lebih terhadap produk Tiongkok, serta mengancam akan mengenakan tarif 100% pada mobil buatan Tiongkok yang diproduksi di Meksiko untuk menghindari sanksi.
Lighthizer: Tarif Bisa Mengimbangi Kebijakan Industri yang Tidak Adil dari Negara-Negara Predator
Artikel itu menyoroti bahwa dalam ekonomi global, negara-negara yang memiliki surplus perdagangan besar adalah yang proteksionis. Sementara itu, negara seperti AS, yang terus mengalami defisit perdagangan besar, adalah pihak yang dirugikan.
Lighthizer menyatakan: “Selama beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan berbagai negara menerapkan kebijakan industri yang bertujuan bukan untuk meningkatkan standar hidup, melainkan untuk meningkatkan ekspor – demi mengumpulkan aset di luar negeri dan membangun keunggulan kompetitif di industri utama.”
Dia menyebut kebijakan ini sebagai “beggar-thy-neighbor” atau “memiskinkan tetangga”, yang dikutuk pada awal abad ke-20.
Menghadapi kebijakan industri asing yang merugikan AS, Trump memutuskan untuk bertindak.
Lighthizer merinci tiga jenis kebijakan perdagangan luar negeri yang diterapkan selama pemerintahan Trump: Pertama, AS dapat menerapkan sistem sertifikat impor dan ekspor; kedua, AS dapat memberlakukan biaya akses modal untuk investasi yang masuk, yang berarti pembelian aset AS akan menjadi lebih mahal; dan terakhir, AS dapat mengimbangi kebijakan industri yang tidak adil dari negara-negara predator melalui tarif.
Mantan perwakilan perdagangan ini mengatakan bahwa dari pengalaman pada periode pertama Trump, metode terakhir terbukti efektif. Selama masa jabatan Trump, sektor manufaktur AS mengalami pertumbuhan, volume impor menurun sebelum pandemi COVID-19, dan kenaikan upah riil pekerja mencatat rekor tertinggi, tanpa terjadi inflasi seperti yang dikhawatirkan oleh para kritikus.(jhn/yn)