Mengenai Alasan Memenangkan Hadiah Nobel Ekonomi, Beijing Irit Komentar

Zhou Xiaohui

Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia mengumumkan bahwa Hadiah Nobel Ekonomi 2024 akan diberikan kepada ekonom Daron Acemoglu dan Simon Johnson dari MIT dan James Robinson dari Universitas Chicago. 

Komite Nobel memuji tiga sarjana Amerika tersebut karena menjelaskan alasannya “Masyarakat dengan supremasi hukum yang buruk dan sistem yang mengeksploitasi penduduk tidak akan membawa pertumbuhan (ekonomi) atau perubahan ke arah yang lebih baik”, dan inilah alasan mengapa mereka memenangkan penghargaan tersebut.                                            

Jakob Svensson, ketua Komite Penghargaan Ilmu Ekonomi, mengatakan: “Mengurangi perbedaan besar dalam pendapatan antar-negara adalah salah satu tantangan terbesar di zaman kita.” Dia mengatakan pada konferensi pers : “Mereka telah mengidentifikasi akar sejarah lemahnya lingkungan kelembagaan di banyak negara berpendapatan rendah saat ini.”

Akar permasalahannya adalah “masyarakat dengan supremasi hukum yang tidak sempurna dan sistem yang mengeksploitasi masyarakat tidak akan menghasilkan pertumbuhan atau perubahan positif.” 

Pemenang penghargaan Acemoglu menekankan pada konferensi pers di Stockholm bahwa rezim otoriter “akan lebih sulit mencapai hasil inovasi yang berkelanjutan dalam jangka panjang.”

Hadiah Nobel diberikan kepada tiga cendekiawan karena alasan-alasan yang disebutkan di atas. Hal ini jelas sangat tepat dan merupakan satu pukulan berat bagi rezim otoriter termasuk Partai Komunis Tiongkok. Ini juga merupakan alasan mengapa media resmi Partai Komunis Tiongkok tidak menaruh perhatian terhadap berita ini. 

Laporan terhadap hal ini, Kantor Berita Xinhua hanya mengeluarkan 100 lebih kata, dan hanya ada satu kalimat yang menyebutkan alasan pemberian penghargaan tersebut, yaitu “sebagai pengakuan atas kontribusi luar biasa mereka dalam bidang penelitian tentang bagaimana institusi dibentuk dan mempengaruhi kemakmuran ekonomi. .”

Faktanya, pada awal 2015, Hunan Science and Technology Press menerbitkan Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty yang ditulis bersama oleh Acemoglu dan Robinson, buku terjemahan dalam bahasa mandarin, buku aslinya diterbitkan pada tahun 2012. 

Saat itu, suasana di bawah pemerintahan PKT tidak sedingin sekarang, sehingga buku tersebut menimbulkan diskusi hangat di kalangan sosiologi politik, ekonomi, dan sejarah. Banyak selebritis yang mengomentari buku tersebut, termasuk para tokoh ternama ekonom Wu Jinglian, dan bahkan media pemerintah PKT juga memberitakan isi buku tersebut.

Berdasarkan pendahuluan buku tersebut, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty” menjawab pertanyaan yang telah membingungkan para ahli selama berabad-abad : mengapa beberapa negara bisa kaya dan negara-negara lain miskin ; mengapa warga negara di beberapa negara hidup dengan kebebasan dan martabat, ada warga dari beberapa negara hidup seperti   budak modern yang tanpa kebebasan? Mengapa beberapa negara memulai perjalanannya menuju kesuksesan dengan mudah, sementara negara lain terus mengalami kemunduran atau bahkan tetap berada dalam bayang-bayang kegagalan? 

Keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam hal kekayaan mungkin disebabkan oleh sejumlah faktor individu dan sulit untuk ditiru ; namun apa alasan mendasar yang membawa kemakmuran, kekayaan, kesuksesan dan kebahagiaan bagi suatu masyarakat atau negara? Bisakah masyarakat atau negara yang kaya dan sukses bertahan selamanya? 

Mengapa kemakmuran beberapa masyarakat atau negara seperti sekejap, sementara kemakmuran beberapa negara dan masyarakat bisa bertahan hingga ratusan tahun? Mengapa negara-negara terbagi berdasarkan kaya atau tidak, sehat atau tidak, cukup pangan atau tidak? Apakah karena budaya, cuaca, ciri geografis, atau alasan kelembagaan?

Buku dibuka dengan cerita tentang sebuah kota kecil bernama Nogalesbu. Kota ini melintasi dua negara, dipisahkan oleh pagar. Sisi utara milik Arizona di Amerika Serikat, dan sisi selatan milik Meksiko. 

Masyarakat, geografi dan latar belakang budaya kedua belah pihak sama, namun setelah perkembangan selama dua hingga tiga ratus tahun terakhir, situasinya benar-benar berbeda, yang satu bisa menikmati pendidikan gratis, asuransi kesehatan, keamanan publik yang baik, dan segala kemudahan kehidupan modern seperti jalan raya, listrik, telepon, Internet, dan sistem pengolahan limbah, memiliki masyarakat yang sejahtera, dan dapat memilih semua tingkat jabatan mulai dari presiden hingga walikota. 

Yang lain adalah keamanan publik yang kacau dan narkoba yang merajalela. Banyak generasi muda yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar. Mereka hanya menjalani pemilu formal dan kehidupan mereka masih miskin.                           

Penulis percaya bahwa geografi, budaya dan tingkat pengetahuan yang relevan dari mereka yang berkuasa tidak cukup menjadi alasan keberhasilan atau kegagalan suatu negara. Sistem adalah faktor penentunya. Jadi, orang pasti bertanya : Mengapa sistem Amerika lebih unggul dibandingkan sistem Meksiko?

Dengan memilah jalur pembangunan yang berbeda di Amerika Utara dan Selatan di zaman modern, penulis mengusulkan dua perbedaan sistem : negara-negara dengan “sistem inklusif” menjaga supremasi hukum dan hak milik, dan mendistribusikan kekuasaan politik secara luas, membangun checks and balances, dan mendorong ide-ide yang beragam. 

Seiring berjalannya waktu, negara tersebut akan menjadi makmur ; sementara di negara dengan “sistem ekstraktif”, di mana kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik hanya dikuasai oleh segelintir elit yang memiliki hak istimewa, maka negara tersebut pasti akan mengalami kemunduran, karena kelas yang memiliki hak istimewa akan menggunakan kekuatan politik untuk menghalangi persaingan guna mempertahankan kepentingan mereka sendiri, tidak hanya mengorbankan kepentingan mayoritas, tetapi juga tidak kondusif bagi inovasi, menghambat kemajuan sosial secara keseluruhan.

Menggunakan kota-kota kecil sebagai pintu masuk, kedua penulis mengumpulkan sejumlah besar bukti sejarah dari Kekaisaran Romawi, negara-kota Maya, Venesia abad pertengahan, Uni Soviet, Amerika Latin, Inggris, Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika, secara meyakinkan menunjukkan bahwa sistem politik dan ekonomi buatan manusia adalah penting bagi keberhasilan ekonomi (atau ketidakberhasilan ekonomi).

Kedua penulis tersebut menyangkal “supremasi ekonomi” atau “determinisme ekonomi” dalam teori modernisasi. Mereka percaya : “Meskipun sistem ekonomi sangat penting dalam menentukan kemiskinan atau kekayaan suatu negara, namun politik dan sistem politiklah yang menentukan sistem ekonomi suatu negara.

 Sistem politik suatu negara menentukan apakah warga negara mempunyai kemampuan untuk mengontrol politisi dan mempengaruhi cara mereka berperilaku, yang mana pada gilirannya menentukan apakah politisi adalah agen rakyat atau dapat menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka, atau apakah mereka mengambil alih kekuasaan untuk mengumpulkan kekayaan dan mengejar tujuan pribadi sehingga merugikan rakyat.                                           

Penulis percaya bahwa dalam sejarah, banyak negara telah membangun sistem politik inklusif dan sistem ekonomi inklusif melalui revolusi. Kini sebagian besar negara demokrasi maju telah mengadopsi sistem politik inklusif dan sistem ekonomi inklusif, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis. Jepang, Korea Selatan, Australia, dan lain-lain. Sistem politik ekstraktif dan sistem ekonomi ekstraktif adalah bersesuaian. Jika suatu negara atau wilayah menganut sistem politik ekstraktif, kemungkinan besar negara tersebut akan membentuk sistem ekonomi ekstraktif.

Penulis yakin apakah ada negara yang telah mengadopsi sistem politik ekstraktif dan sistem ekonomi inklusif, yaitu negara-negara yang hanya melakukan reformasi ekonomi tetapi tidak melakukan reformasi politik. 

Namun, penulis mengatakan bahwa hal tersebut sulit dilakukan oleh negara-negara tersebut untuk memiliki sistem ekonomi inklusif dalam jangka waktu yang lama, akan segera berkembang menjadi sistem ekonomi ekstraktif karena sistem politik ekstraktif. 

Negara seperti ini sering kali merupakan negara dengan sistem ekonomi inklusif yang dirancang untuk menstimulasi insentif produktif masyarakat, namun pada dasarnya tidak akan menyentuh kepentingan kelompok tertentu atau pihak yang berkuasa, dan tujuan mereka menstimulasi produksi adalah untuk mendapatkan lebih banyak sumber daya.

Tidak ada keraguan bahwa Tiongkok adalah contoh tipikal negara yang penulis gambarkan sebagai “negara yang mengadopsi sistem politik ekstraktif dan sistem ekonomi inklusif”. 

Buku ini juga berbicara tentang Tiongkok, dengan mengatakan bahwa perkembangan pesat Tiongkok dalam beberapa dekade terakhir tampaknya disebabkan oleh murahnya tenaga kerja, pasar luar negeri, modal dan teknologi, namun pada dasarnya hal ini disebabkan oleh peralihan dari sistem ekonomi yang sangat tersentralisasi ke sistem ekonomi yang lebih inklusif, namun buku tersebut percaya bahwa setelah Tiongkok mencapai tingkat negara cukup maju, pertumbuhannya tidak akan berkelanjutan. Akan tetapi, hal ini dapat dihindari jika Tiongkok mengubah sistem politiknya ke sistem yang lebih inklusif sebelum pertumbuhan ekonominya mencapai batasnya.

Namun, kedua penulis tersebut masih memiliki opini yang tinggi terhadap PKT. Dua belas tahun setelah mengusulkan dua “sistem inklusif” dan “sistem ekstraktif”, pembangunan ekonomi PKT telah berakhir. Sistem politik ekstraktif yang tidak pernah berubah telah berkembang menjadi sistem ekonomi ekstraktif. Alasan mendasarnya adalah tidak satu pun kebijakan Partai Komunis Tiongkok yang secara mendasar menyentuh kepentingan kelompok yang berkepentingan atau pihak yang berkuasa. Pasar saham yang baru saja melonjak dan anjlok merupakan gelombang panen bagi Partai Komunis Tiongkok yang berada dalam kesulitan.                                         

Hadiah Nobel diberikan kepada para sarjana yang menemukan hubungan intrinsik antara sistem dan perkembangan ekonomi, sebenarnya hal ini juga mengungkap penipuan yang dilakukan oleh Partai Komunis Tiongkok terhadap apa yang disebut “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok” dan “ekonomi pasar sosialis dengan karakteristik Tiongkok”, kebohongan yang hanya demi mendapatkan lebih banyak keuntungan. 

Dengan kata lain, tanpa sistem inklusif, kemakmuran ekonomi tidak dapat dipertahankan. Masyarakat Tiongkok dan semua orang di dunia yang hidup di bawah sistem otoriter perlu memahami hal ini, dan hanya melalui perubahan politik maka pembangunan ekonomi dan kebahagiaan yang nyata dapat dicapai. 

Ini mungkin alasan utama mengapa Partai Komunis Tiongkok, yang saat ini menghadapi kesulitan internal dan eksternal serta ketidakpuasan publik, tidak berani memperkenalkan terlalu banyak kepada masyarakat Tiongkok hasil penelitian ketiga peraih Nobel tersebut.(lin/mgl)