Forum Elite – NTD/Epoch Times
Perkembangan terbaru dalam perang Rusia – Ukraina mulai muncul setelah Korea Utara menjanjikan pengiriman pasukannya untuk membantu Rusia. Menurut badan intelijen Korea Selatan, bahwa satu pasukan elit Korea Utara telah memasuki Rusia untuk sewaktu-waktu dikirim ke garis depan perang Rusia-Ukraina. Jadi perang yang terjadi antar dua negara akan menjadi perang tiga negara. Apakah perang ini akan terus meluas di masa depan, dan menjadi perang multinasional atau bahkan perang dunia? Apakah Partai Komunis Tiongkok (PKT) juga mengambil kesempatan ini untuk ikut bertindak? Apa pula dampaknya terhadap situasi dunia yang bergejolak saat ini?
Perang alami eskalasi besar dengan bergabungnya Korea Utara, situasi global berpotensi kacau
Produser TV independen Li Jun yang mengutip informasi dari badan intelijen Korea Selatan pada 18 Oktober melaporkan, bahwa Korea Utara memutuskan untuk mengirim 4 brigade pasukan khususnya yang berjumlah sekitar 12.000 orang untuk membantu Rusia dalam perang dengan Ukraina. Awalnya Korea Utara mengatakan bahwa pasukan yang dikirim adalah pasukan teknik untuk membantu Rusia membangun benteng pertahanan di medan perang. Tetapi yang dikirim sekarang adalah pasukan elit andalan Kim Jong-un.
Baru-baru ini, foto satelit yang diperoleh badan intelijen Korea Selatan menunjukkan bahwa ada 4 buah kapal pendarat dan 3 fregat milik Armada Pasifik Rusia sedang mengangkut lebih dari 1.500 orang pasukan khusus Korea Utara dari daerah dekat Chongjin, Hamhung, dan Musudan di Korea Utara menuju Vladivostok, Rusia. Ini mungkin merupakan pasukan tempur angkatan kedua yang diangkut oleh Rusia dalam waktu dekat ini.
Namun, lebih banyak tentara Korea Utara sekarang masih berada di Vladivostok, Ussuriysk, Khabarovsk, Blagoveshchensk dan tempat-tempat lain untuk menanti pengerahannya ke garis depan pertempuran sekitar awal November setelah menyelesaikan pelatihan adaptif agar dapat berintegrasi dengan tentara lokal Rusia. Rusia telah melengkapi tentara Korea Utara ini dengan pakaian dan senjata dan bahkan menyamarkan identitas mereka, menyebut mereka adalah orang Rusia.
Pada 18 Oktober, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-Yeol mengadakan pertemuan darurat dengan tokoh inti dari Kantor Keamanan Nasional Korea Selatan, Kementerian Pertahanan Nasional, dan Badan Intelijen Nasional untuk membahas dampak dari pengiriman pasukan Korea Utara ke Rusia terhadap Korea Selatan. Mereka percaya bahwa dampak dari keikutsertaan pasukan Korea Utara dalam perang di Ukraina jelas akan meningkatkan pengalaman tempur mereka, yang tentunya sangat merugikan Korea Selatan, selain menimbulkan ancaman keamanan besar bagi komunitas internasional.
Oleh karena itu, Korea Selatan memanggil duta besar Rusia untuk menyampaikan protes. Sekretaris Jenderal NATO mengatakan bahwa ini adalah eskalasi besar dalam perang Rusia-Ukraina. Pada 20 Oktober, pertemuan para menteri pertahanan Kelompok Tujuh (G7) yang berakhir di Italia mengeluarkan pernyataan bersama yang isinya mengutuk perluasan kerja sama militer antara Rusia dan Korea Utara.
Li Jun mengatakan bahwa, yang paling merasakan tekanan adalah Ukraina, karena kali ini Korea Utara telah mengirimkan pasukan elit “Storm Corps” ke Ukraina. Orang-orang Korea Utara ini merupakan pemberani, tidak takut mati dalam berperang, yang tentunya membuat kesulitan bagi tentara Ukraina. Melihat situasi demikian, apakah Eropa perlu mengirim pasukan atau tidak ke Ukraina? Saya pikir situasi dunia bisa menjadi lebih kacau.
“Storm Corps” adalah kekuatan tempur paling elit di Korea Utara dan sangat terkenal dalam sejarah. Pendahulunya adalah Pasukan Khusus ke-124, yang kemudian diadaptasi menjadi Korps Pasukan Khusus ke-8.
Menurut perkiraan militer Korea Selatan, Storm Corps saat ini memiliki 10 brigade dengan total kekuatan 40.000 hingga 80.000 orang personel. Namun, beberapa sumber mengungkapkan bahwa “Storm Corps” sudah memiliki 120.000 orang personel.
Li Jun mengatakan bahwa dalam kerja sama militer antara Korea Utara dan Rusia, bagian yang sangat penting adalah Korea Utara memberikan peluru artileri kepada Rusia untuk ditukarkan dengan teknologi militer canggih. Karena persenjataan dan peralatan Korea Utara secara keseluruhan relatif terbelakang, maka Kim Jong-un berharap melalui pengiriman pasukan elit ke Rusia untuk mempelajari penggunaan beberapa senjata modern dan teknik tempur peperangan modern.
Asal Usul “Storm Corps”
Pemimpin redaksi “The Epoch Times” Guo Jun mengatakan bahwa pasukan khusus Korea Utara melakukan serangan yang sangat berani ke Istana Biru di Seoul pada tahun 1968 dalam upaya untuk membunuh Presiden Korea Selatan saat itu Park Chung-hee, tetapi gagal.
Pada 12 Januari 1968, 31 orang pasukan khusus Korea Utara ini diam-diam melintasi Garis Demarkasi Militer untuk memasuki ibu kota Korea Selatan Seoul. Tujuan mereka adalah menggerebek Istana Biru yang merupakan tempat kegiatan presiden Korea Selatan. Sekelompok orang ini yang mengenakan seragam militer Korea Selatan dengan berjalan kaki, atau berkendaraan menuju Istana Biru tetapi tidak diketahui oleh pihak berwenang Korea Selatan, sampai sekitar 1 km mendekati Istana Biru, mereka baru dicurigai oleh seorang polisi Korea Selatan. Akibatnya, baku tembak terjadi sehingga beberapa petugas polisi Korea Selatan tewas, Granat yang dilemparkan oleh tentara Korea Utara menyebabkan sebuah mobil meledak, menewaskan lebih dari 30 orang penumpang.
Saat itu, pasukan Korea Selatan yang tiba dengan cepat berhasil membunuh 5 orang tentara Korea Utara serta menangkap 1 orang di lokasi kejadian, lalu mengejar mereka hingga pinggiran kota dan membunuh 24 orang lainnya. Tetapi ada seorang yang berhasil lolos dari kejaran dan kembali ke Korea Utara. Korea Selatan yang sangat marah juga membentuk tim pembunuhan, namun tidak diketahui bagaimana kelanjutannya. Peristiwa ini menimbulkan ketegangan besar di Semenanjung Korea saat itu. Karena secara teori Korea Utara dan Selatan masih berperang, dan Panmunjeom hanyalah hasil dari perjanjian gencatan senjata, bukan perjanjian untuk mengakhiri perang, juga bukan perjanjian perdamaian.
Guo Jun mengatakan bahwa “Storm Corps” itu didirikan pada tahun 1968 atau 1969 dimana serangan ke Istana Biru terjadi. Korea Selatan memperkirakan bahwa meskipun serangan terhadap Istana Biru tidak berhasil, Korea Utara mempromosikannya sebagai suatu tindakan heroik yang patut dicontoh oleh militernya. Oleh karena itu, dinamakan “Storm Corps” atau korps badai.
Guo Jun mengatakan bahwa kekuatan inti tentara Korea Utara banyak yang berasal dari Tentara Lapangan Ke empat Tentara Pembebasan Rakyat PKT meskipun mungkin tidak ada hubungannya dengan “Storm Corps”. Pada tahun 1968, para jenderal tentara Korea Utara yang awalnya terkait dengan PKT telah disingkirkan. Saat itu tentara yang dikirim ke Korea Utara sebagian besar berasal dari 3 divisi, yaitu Divisi 164, 166 dan Divisi 156 Tentara Pembebasan Rakyat PKT.
Divisi 164 dan 166 itu memang ditempatkan di Timur Laut usai Kampanye Liaoshen. Divisi 156 yang paling hebat, mereka ikut Angkatan Darat ke-43 pimpinan Li Zuopeng bertempur dari Timur Laut sampai perbatasan Hunan dan Guizhou. Kemudian ketika dikirim ke Korea Utara oleh Mao Zedong, divisi tersebut ditambah dengan personel etnis Korea dari unit lain sehingga total mencapai 13.000 orang. Setelah ditambah personel dari Divisi 164 dan 166 jadi total personel yang dikirim ke Korea Utara adalah 37.000. Yang terpenting adalah orang-orang ini semuanya adalah veteran berpengalaman yang pernah ikut bertempur di medan perang Perang Saudara Tiongkok.
Ketika pecah Perang Korea pada Juni 1950, Divisi Pertama dan Kedua adalah yang memiliki perlengkapan tempur terbaik, dan terdiri dari perwira lulusan akademi militer Soviet, sehingga dalam penyerangannya ke Seoul berhasil menjatuhkan banyak korban. Kemudian Divisi Ketiga yang dikirim oleh Mao Zedong tidak membutuhkan waktu lama untuk merebut Seoul, dan bertempur sengit sampai ke Busan, Korea Selatan. Namun setelah Jenderal MacArthur mendarat di Inchon, seluruh tentara Korea Utara yang berada di wilayah selatan berhasil dihancurkan, termasuk Divisi Ketiga ini.
Sebelumnya ada sekitar 100.000 orang tentara Korea Utara di Selatan, tetapi pada akhirnya, hanya tersisa kurang dari 30.000 orang dan mereka ini melarikan diri ke Korea Utara. Karena 3 divisi dari Tentara Lapangan Keempat berada di wilayah paling selatan dari front terdepan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri dan semuanya gugur dalam pertempuran.
Para perwira di tingkat divisi yang melarikan diri pulang ke Tiongkok akhirnya dimintai pertanggungjawaban oleh Mao Zedong, dan mendapat hukuman sebagao perwira kontra-revolusioner. Sebagian dari mereka meninggal dalam kamp konsentrasi Kim Il Sung di Korea Utara, meskipun ada yang kembali ke Tiongkok. Oleh karena itu, “Storm Corps” ini tidak ada hubungannya dengan Tentara Lapangan Keempat.
Akankah PKT mengambil kesempatan untuk mengirim pasukan ke medan perang Rusia-Ukraina?
Guo Jun mengatakan, sesungguhnya selama 70 tahun terakhir ini tentara Korea Utara tidak pernah lagi berperang. Pertempuran sekarang bukan hanya mengandalkan keberanian, tidak takut mati, tetapi mengandalkan senjata modern. Dipikir bahwa kecil kemungkinannya Korea Utara memiliki senjata dan peralatan tempur yang canggih, senjata dan taktik berperangnya jangan-jangan masih mengikuti gaya Soviet dan PD II, yang tidak akan terlalu efektif untuk digunakan di garis depan medan pertempuran.
Tahun lalu, Korea Utara menandatangani perjanjian aliansi militer dengan Rusia. Bagi Korea Utara, pengiriman 10.000 orang tentara dapat menghasilkan ratusan juta dolar, untuk membeli bahan makanan, minyak dan sebagainya, yang memiliki nilai tambah bagi kekuasaan Kim Jong-un. Karena perekonomian Korea Utara selama ini berada dalam kesulitan, Kim Jong-il (ayahanda Kim Jong-un) menjalankan politik yang mengutamakan pembangunan di bidang militer dan persenjataan, kepentingan yang lain wajib mengalah. Korea Utara memiliki jumlah tentara mencapai 1,2 juta orang meski populasinya hanya 20 juta jiwa. Tentu saja anggaran belanja buat kebutuhan militer tidak kecil, jadi menggunakan perang untuk membiayainya mungkin merupakan satu-satunya jalan keluar bagi negara yang menerapkan sistem militeristik.
Namun bagi Rusia, ini sangat menguntungkan karena ia saat ini sedang kekurangan tentara dan membutuhkan tentara yang bisa menjadi umpan meriam di garis depan. Masalahnya, masuknya pasukan terorganisir Korea Utara ke dalam perang Rusia-Ukraina berarti perang antara Rusia dan Ukraina telah berkembang menjadi perang yang melibatkan tiga negara. Apakah kelak pasukan Suriah dan Iran juga akan ikut bergabung dalam perang ini? Jika pasukan dari Polandia dan negara-negara Baltik juga memasuki Ukraina untuk berperang, maka hal ini akan menjadi perang multinasional, yang berpotensi memicu berkobarnya perang dunia.
Cai Shenkun, seorang jurnalis senior Tiongkok yang tinggal di Amerika Serikat mengatakan, ia masih tetap dengan pendirian bahwa PKT tidak akan langsung masuk ke front depan, tetapi akan memberikan bantuan besar dari belakang, atau menimbulkan efek penundaan. Ia percaya bahwa tanpa dukungan dana atau pasokan militer dari PKT, perjuangan Putin tak mungkin bertahan sampai sekarang.
Cai Shenkun mengatakan bahwa Putin dan Xi Jinping memiliki hubungan yang sangat spesial. Setelah Xi Jinping berkuasa, dia bertemu Putin lebih dari 40 kali dan menerima panggilan telepon yang tak terhitung jumlahnya. Meskipun Xi Jinping tampak sebagai orang yang relatif dingin, dia sangat mengabdi kepada Putin. Ia mengatakan bahwa Putin adalah sahabatnya yang terbaik dan paling intim. Ia ingat setelah Xi menjabat untuk pertama kalinya, dia mengunjungi Kremlin. Ketika dia melihat Putin, Xi mengatakan: “Saya memiliki kepribadian yang sangat mirip dengan Anda”.
Artinya keduanya akan melakukan sesuatu yang besar bersama-sama. Oleh karena itu, kita telah melihat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini, keduanya telah berupaya mengubah lanskap geopolitik, dan mereka telah bergerak ke arah tersebut. Apalagi perang yang dilancarkan Rusia melawan Ukraina lebih dari 2 tahun lalu. Sebelum melancarkan perang, ia terbang ke Beijing untuk berkonspirasi dengan Xi. Isi konspirasi kedua orang tersebut belum dipublikasikan. Dipikir ini tidak lain adalah bahwa PKT akan mendukung sepenuhnya Rusia dengan tanpa batasan atas, bahu membahu dalam perjuangan demi kepentingan mereka bersama.
Cai Shenkun mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini PKT tidak mengingkari janjinya selain memberikan bantuan ekonomi, juga memberikan bantuan material militer. Namun, mereka menghadapi tekanan dari komunitas internasional. Karena Tiongkok adalah negara yang berorientasi ekspor, begitu komunitas internasional menutup pintunya terhadap Tiongkok, maka perekonomian Tiongkok akan runtuh. Oleh karena itu, jika ia ingin menyelesaikan masalah ini, ia harus melakukan penyeimbangannya.
Adapun mengenai hal apakah PKT benar-benar akan mengirim pasukannya ke medan perang Rusia-Ukraina, Cai yakin bahwa dalam situasi saat ini, mereka tidak berani mengambil langkah ini secara terbuka. Bahkan Korea Utara pun belum benar-benar melangkah ke arah itu. Namun, Partai Komunis Tiongkok pasti akan mengirimkan beberapa kelompok pengamat militer atau beberapa komandan untuk mengamati dan mempelajari serta mengajari Rusia cara menggunakan senjata modern. Jadi, ketika Xi Jinping pergi ke Rusia untuk bertemu dengan Putin kali ini, dia akan membicarakan lebih banyak topik tentang kerja sama yang lebih erat.
Shi Shan, editor senior dan kepala penulis “The Epoch Times” mengatakan, bahwa Perang Dingin terakhir dimulai dengan Perang Korea, dimana PKT, Uni Soviet, dan Korea Utara berkonfrontasi dengan seluruh dunia. Kali ini juga begitu, meskipun ketiga negara tersebut memainkan peran yang dapat dipertukarkan, tetapi sesuatu yang mereka lakukan pada dasarnya sama.
Di masa lalu, Partai Komunis Tiongkok mengembangkan kekuataannya dengan mengandalkan senjata dan dukungan militer dari Uni Soviet. Kini ganti Partai Komunis Tiongkok yang mendukung Rusia. Hal yang sama berlaku juga untuk Korea Utara yang tentaranya di masa lalu mendapat pelatihan dari Uni Soviet, sampai pasukan langsung Korea Utara semuanya adalah perwira yang dilatih di Uni Soviet.
Kini, Korea Utara juga kembali mendukung Rusia. Proses semacam ini ternyata berulang kembali dalam perjalanan waktu. Kita tidak boleh melupakan sejarah, karena sejarah mempunyai pengaruh pencerahan yang sangat penting bagi masa kini dan masa depan. (sin)