EtIndonesia. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengunjungi perbatasan Lebanon pada 3 November 2024 untuk memantau langsung situasi di garis depan. Dalam kunjungannya, dia menegaskan tiga tujuan utama: mengamankan wilayah utara Israel dari ancaman Hizbullah, melarang Hizbullah mempersenjatai diri kembali, dan mempertahankan hak Israel untuk membela diri.
Netanyahu menyatakan bahwa, terlepas dari tercapainya kesepakatan gencatan senjata atau tidak, Israel harus menghancurkan ancaman Hizbullah dan mendorong pasukan kelompok tersebut mundur setidaknya 30 kilometer dari Sungai Litani. Langkah ini, menurutnya, penting untuk memastikan keamanan warga Israel di wilayah utara. Selain itu, Netanyahu memperingatkan bahwa setiap upaya Hizbullah untuk kembali memperkuat persenjataannya akan dianggap sebagai ancaman keamanan serius.
“Jika kami diserang, kami akan merespons dengan tegas,” ujarnya, menegaskan komitmen Israel untuk melindungi diri dari segala bentuk ancaman eksternal.
Selama kunjungan Netanyahu, ketegangan di wilayah perbatasan terus meningkat. Pasukan Israel melaporkan bahwa Hizbullah meluncurkan lebih dari 100 rudal ke wilayah utara Israel pada tanggal yang sama. Sistem pertahanan udara Israel berhasil mencegat sebagian rudal, sementara sebagian besar jatuh di wilayah yang tidak berpenghuni, mengurangi potensi kerugian jiwa dan kerusakan properti.
Upaya Diplomatik Terhenti di Kairo
Di sisi diplomasi, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengungkapkan pada 4 November 2024 bahwa upaya Mesir untuk menjembatani gencatan senjata antara Israel dan Hamas kembali menemui jalan buntu. Menurut Blinken, Hamas menolak permintaan untuk membebaskan sejumlah sandera sebagai imbalan atas gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza.
Proposal Mesir menawarkan gencatan senjata selama 48 jam, dengan ketentuan bahwa Hamas akan membebaskan empat sandera warga Israel dalam waktu 10 hari. Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan sekitar 100 tahanan Palestina, dengan opsi untuk memperpanjang gencatan senjata hingga 12 hari. Namun, Hamas hanya bersedia menyetujui jika ada jaminan gencatan senjata jangka panjang, yang ditolak Israel. Netanyahu menyatakan bahwa tanpa adanya fleksibilitas, negosiasi kemungkinan besar akan menemui jalan buntu.
Meskipun perundingan di Kairo menemui jalan buntu, para diplomat menyatakan bahwa dialog masih berlanjut. Kedua belah pihak saat ini mengamati hasil pemilu AS yang dijadwalkan pada 5 November, yang diyakini akan memengaruhi arah negosiasi lebih lanjut.
Hamas dan Fatah Sepakati Pembentukan Komite Pengelola Gaza
Terlepas dari ketegangan, dua faksi utama Palestina, Hamas dan Fatah, sepakat membentuk komite untuk mengelola Gaza, dengan dukungan dari badan intelijen Mesir. Menurut laporan The New Arab, pada 4 November 2024 seorang pejabat senior Hamas mengonfirmasi bahwa kedua kelompok telah mengadakan pertemuan dengan delegasi Fatah untuk mengoordinasikan pembentukan komite tersebut. Komite ini dirancang untuk mencakup para teknokrat yang akan memimpin ribuan pegawai di Gaza, yang bertujuan membantu warga dalam pemulihan dan rekonstruksi pascaperang.
Iran, Tiongkok, dan Rusia Diduga Susun Strategi Bersama
Dalam perkembangan lain yang memicu kekhawatiran Israel, akun media sosial militer Israel di platform X mengungkapkan bahwa Iran tengah mempersiapkan strategi besar bersama Tiongkok dan Rusia. Setelah pertemuan di KTT BRICS, Iran kini dilaporkan telah mempersiapkan 400 rudal yang ditargetkan pada 72 lokasi strategis di Israel.
Kasus Spionase Iran di Israel Meningkat
Sementara itu, laporan The Straits Times tanggal 5 November 2024 mengabarkan bahwa aktivitas mata-mata yang terkait dengan Iran di Israel meningkat tajam. Badan kontra-intelijen Israel, Shin Bet, mengungkapkan bahwa sejak bulan Juli, mereka telah menangani sembilan kasus spionase yang melibatkan warga Israel. Sebanyak 23 tersangka telah didakwa sebagai mata-mata, yang sebagian besar di antaranya adalah warga Yahudi—situasi yang dianggap tidak biasa bagi Israel, terutama di masa krisis. Pejabat kontra-intelijen Israel, Goren, menyebut ini sebagai situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memperingatkan bahwa ancaman spionase dalam negeri ini patut diwaspadai.