ETIndonesia. Pada Kamis (7/11/2024), di samping gedung dewan kota Berlin dan reruntuhan Tembok Berlin, replika patung ‘Dewi Demokrasi’ yang melambangkan protes Tiananmen 1989 kembali berdiri, menandai pembukaan peringatan 35 tahun runtuhnya Tembok Berlin.
Patung ini tidak hanya mengenang gerakan demokrasi di Tiongkok, tetapi juga telah menjadi simbol perjuangan demokrasi global. Pameran ini mengumpulkan artefak dan catatan dari peristiwa Tiongkok 1989 dan mengundang pemimpin gerakan mahasiswa 4 Juni, Zhou Fengsuo dan Wu’er Kaixi, serta perwakilan dari organisasi hak asasi manusia dan politik Jerman untuk berkumpul di Berlin, mengenang hubungan mendalam antara Jerman dan Tiongkok dalam perjuangan demokrasi pada tahun 1989.
Acara ini disponsori bersama oleh dewan kota Berlin, Axel Springer Freedom Foundation, dan organisasi hak asasi manusia Tiongkok, bertujuan untuk membangkitkan kewaspadaan global terhadap pemerintahan otoriter.
Dalam konteks penyatuan Jerman Timur dan Jerman Barat, gedung dewan kota Berlin menjadi simbol kekuatan demokrasi. Sebelum runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989, orang-orang Jerman Timur pernah secara terbuka mengecam penindasan Tiananmen oleh Partai Komunis Tiongkok, dengan aksi protes yang gencar di Berlin Timur.
Jerman Timur melakukan Protes sebagai Solidaritas terhadap Gerakan Demokrasi Tiongkok
Dukungan Gerakan Demokrasi Jerman Timur untuk Tiongkok Gerakan demokrasi Jerman Timur dan protes Tiananmen di Tiongkok terjadi bersamaan pada tahun 1989, dan kedua perjuangan tersebut di bawah tekanan menimbulkan gema yang luas.
Ketua dewan kota Berlin, Cornelia Seibeld, mengingat tindakan dukungan yang dilakukan oleh Jerman Timur setelah insiden Tiananmen, menggambarkan dukungan warga biasa Jerman Timur terhadap para pengunjuk rasa Tiongkok sebagai ‘panggilan lintas negara’ yang jarang terjadi.
Seibeld menyebutkan bahwa pada malam penindasan Tiananmen (3-4 Juni 1989), tank dan tentara menginjak-injak kerumunan massa yang sedang berdemonstrasi di pusat kota Beijing.
Data dari Palang Merah Tiongkok menunjukkan bahwa insiden tersebut menewaskan setidaknya 2.000 orang dan melukai 7.000 lainnya, dengan banyak pengunjuk rasa ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara. Dia menjelaskan bahwa pada Juni 1989, demonstran di Berlin Timur dua kali mencoba berbaris ke kedutaan besar Tiongkok di Jerman Timur untuk menyampaikan protes mereka, namun kedua upaya tersebut dihalangi oleh polisi dan departemen keamanan Jerman Timur, dengan peserta ditangkap dan diinterogasi, beberapa bahkan dipukuli. Sementara itu, banyak warga Berlin Timur mengirim surat dan tanda tangan untuk memprotes kepada pemerintah Tiongkok, dan beberapa aksi protes lainnya diadakan di tempat yang lebih tersembunyi seperti gereja Samaritans dan Church of the Savior, dengan drum dan doa untuk mendukung mahasiswa Tiongkok.
Rekaman protes ini dipamerkan di area pameran ketiga di Berlin, yang menceritakan kisah dukungan warga Jerman Timur terhadap perjuangan demokrasi Tiongkok.
Seibeld menyebutkan bahwa pemimpin negara Jerman Timur saat itu menyatakan kepada publik bahwa penindasan di Beijing adalah untuk meredakan ‘kerusuhan anti-revolusioner’ dan mengembalikan ketertiban domestik. Pemerintah Jerman Timur memilih ‘stabilitas’, sedangkan warga biasa Berlin Timur dalam mengekspresikan protes mereka terhadap insiden Tiananmen juga secara aktif memanggil Jerman Timur menuju demokrasi.
Pameran di Berlin mengingatkan dunia bahwa perjuangan di Jerman Timur dan Tiongkok bukan hanya sejarah negara masing-masing, tetapi juga interpretasi mendalam dari gerakan demokrasi global.
Suara Generasi Pengungsi Baru: ‘Medan Perang yang Berbeda dalam Perjuangan Demokrasi Global’
Acara ini juga menarik perhatian pengungsi dari Tiongkok, Yicheng Huang, seorang pemuda yang terlibat dalam ‘Revolusi Kertas Putih’ yang saat ini mengajukan suaka politik di Jerman. Yicheng Huang dalam wawancara dengan Voice of America menyatakan: “Acara ini membuat masyarakat utama Jerman menyadari bahwa gerakan Tiananmen bukan hanya perjuangan demokrasi Tiongkok, tetapi bagian dari gerakan demokrasi global 1989.”
Dia menyebutkan bahwa acara peringatan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat Jerman untuk meninjau kembali hubungan historis antara perjuangan Jerman Timur dan Tiongkok.
Yicheng Huang menunjukkan bahwa ‘gerakan demokrasi ini adalah perjuangan yang sama di seluruh dunia, hanya medan perangnya yang berbeda. Di Jerman Timur, rakyat meraih kemenangan; sementara di Tiongkok, perjuangan ini ditindas dengan kekerasan.’
Dia berpendapat bahwa perjuangan di Jerman Timur dan Tiongkok pada tahun 1989 mewakili konfrontasi antara orang biasa dan rezim otoriter, dan perjuangan ini terus berlangsung di seluruh dunia.
Dia menyatakan bahwa para pengunjuk rasa di Jerman Timur memilih cara damai dalam menghadapi tekanan otoritas, dan dengan tindakan nyata mereka menyuarakan keinginan ‘untuk tidak menjadi Tiongkok berikutnya’.
Simbol Dewi Demokrasi: Seruan Kebebasan Lintas Negara
Dalam upacara pembukaan, pemimpin gerakan mahasiswa 4 Juni, Zhou Fengsuo, berbicara tentang patung ‘Dewi Demokrasi’ di Lapangan Tiananmen. Patung ini, yang dibangun oleh mahasiswa seni pada tahun 1989, setinggi 10 meter, melambangkan keinginan akan demokrasi, dan berdiri langsung di depan potret Mao Zedong. Namun, patung ini dihancurkan oleh militer pada pagi hari tanggal 4 Juni, menjadi salah satu simbol penindasan Tiananmen.
Zhou Fengsuo menyatakan bahwa meskipun patung itu dihancurkan, ‘Dewi Demokrasi’ tetap melambangkan semangat kebebasan universal.
Zhou Fengsuo juga mengenang momen runtuhnya Tembok Berlin. Saat itu, ia dan pengunjuk rasa Tiananmen lainnya ditahan di penjara keamanan tinggi di Beijing, tidak dapat segera mengetahui situasi luar. Ketika akhirnya mendapatkan konfirmasi bahwa Tembok Berlin telah runtuh, para mahasiswa di penjara bersorak bersama meskipun di bawah ancaman polisi. Peristiwa itu sangat menggembirakan baginya, karena itu melambangkan kemunduran otoritarianisme dan kemenangan demokrasi.
Zhou Fengsuo lebih lanjut menceritakan kunjungannya ke Berlin pada September 2023. Ketika ia melihat pengunjuk rasa di Museum Sachsenholding spanduk ‘Demokrasi’, ia sangat terharu. Dia merasa bahwa pemandangan itu mengingatkannya pada perjuangan di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989.
Dia menuturkan bahwa ‘keinginan bersama yang melintasi bahasa dan budaya’ ini mencerminkan nilai universal gerakan demokrasi. Dia mengatakan, semangat kebebasan ini tidak mengenal batas atau waktu, apakah itu runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 atau Revolusi Kertas Putih hari ini, inti perjuangan tetap sama.
Antje Schippmann, direktur eksekutif Axel Springer Freedom Foundation, menyebutkan dalam acara tersebut bahwa penindasan Tiananmen tahun itu tidak membuat para pengunjuk rasa Jerman Timur tunduk, tetapi malah memicu kemarahan mereka.
Dia mengatakan bahwa di area pameran Berlin, pengunjuk rasa bisa mempelajari lebih lanjut tentang fakta terkait insiden Tiananmen, termasuk kemeja yang berlumuran darah dan laporan media saat itu.
Schippmann menekankan bahwa patung ‘Dewi Demokrasi’ dengan tangan yang mengangkat obor melambangkan tanggung jawab mempertahankan kebebasan, sementara peringatan runtuhnya Tembok Berlin lebih lanjut mengingatkan orang-orang bahwa perjuangan demokrasi global masih berlanjut. (Jhon)