Triple Threat: Trump Serang Iran, Israel Lancarkan Serangan Mematikan di Lebanon, dan Korea Utara Dukung Rusia!

EtIndonesia. Situasi geopolitik di Timur Tengah dan kawasan sekitarnya semakin memanas dengan berbagai perkembangan signifikan yang menggambarkan dinamika konflik dan aliansi baru. Berikut adalah rangkuman lengkap dan terperinci mengenai peristiwa terkini yang mempengaruhi stabilitas regional dan global.

Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, Akan Perkuat Tekanan terhadap Iran

Pada tanggal 16 Oktober 2024, media Israel melaporkan bahwa Donald Trump, Presiden terpilih Amerika Serikat, bertekad untuk memulihkan kebijakan tekanan strategis terhadap Iran. Langkah ini bertujuan untuk melemahkan kemampuan ekonomi Iran, mengurangi pengaruhnya di Timur Tengah, serta membatasi program nuklir yang tengah dikembangkan oleh negara tersebut.

Seorang pejabat tinggi yang dekat dengan Trump menyatakan bahwa Presiden terpilih akan menerapkan tekanan maksimal untuk segera menyebabkan keruntuhan ekonomi Iran. Trump berencana untuk menggunakan berbagai strategi ekonomi dan diplomatik guna memaksa Iran kembali ke meja perundingan dengan Amerika Serikat dalam waktu dekat. Kebijakan ini diharapkan dapat membatasi keberadaan cabang-cabang Iran di wilayah Timur Tengah dan menekan program nuklirnya, yang selama ini menjadi perhatian utama komunitas internasional.

Serangan Intens Israel di Selatan Lebanon dan Dampaknya terhadap Hizbullah

Sejak 1 Oktober 2024, pasukan Israel telah melancarkan serangan terbaru yang diklaim sebagai yang paling intensif di selatan Lebanon. Serangan ini menargetkan basis Hizbullah, kelompok militan yang didukung oleh Iran, dan menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi konflik di kawasan tersebut.

Pada Jumat malam, pasukan Israel tiba di Kota Shama, sekitar 100 kilometer dari ibu kota Beirut. Shama dikenal sebagai situs suci St. Peter atau Nabi dalam bahasa Arab, yang merupakan tempat ziarah populer bagi Muslim Syiah. Pasukan Israel menghancurkan kuil yang terletak di gunung utama kota tersebut, dan video yang beredar menunjukkan asap tebal mengepul dari bangunan di situs suci tersebut.

Pada hari yang sama, Israel melakukan serangan hebat di pinggiran selatan Beirut, menjadikannya serangan kelima berturut-turut terhadap basis Hizbullah di daerah Tayyeh Beirut. Tiga wilayah berbeda mengalami serangan ini. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyatakan bahwa serangan tersebut ditujukan untuk menghancurkan infrastruktur Hizbullah dan menuduh organisasi yang didukung Iran telah menyusup ke kalangan warga sipil. Sebelum serangan berlangsung, beberapa lokasi telah mengeluarkan perintah evakuasi untuk mengurangi korban jiwa.

Dalam beberapa hari terakhir, Israel telah meningkatkan intensitas serangan terhadap ibu kota Lebanon dan memperluas operasi darat di selatan Lebanon. Langkah ini diambil di tengah upaya negosiasi gencatan senjata yang sedang berlangsung.

Upaya Negosiasi Gencatan Senjata dan Harapan akan Resolusi

Di tengah serangan yang intens, negosiasi gencatan senjata di Lebanon tengah dipulihkan. Seorang pejabat Lebanon yang mengetahui situasi tersebut mengungkapkan kepada CNN bahwa pada Kamis 14 Oktober 2024 malam, Duta Besar Amerika Serikat di Lebanon, Lisa Johnson, menyampaikan proposal gencatan senjata baru yang dirancang bersama Amerika Serikat dan Israel kepada pemerintah Lebanon. Ini merupakan usulan terbaru pertama yang diajukan sejak perjanjian gencatan senjata sementara pada akhir September.

Pihak berwenang Lebanon optimis bahwa Hizbullah akan menerima syarat-syarat perjanjian tersebut dan berharap mendapatkan respons resmi dari kelompok militan tersebut pada hari Senin depan. Jika berhasil, perjanjian ini diharapkan dapat meredakan ketegangan dan mengembalikan stabilitas di wilayah yang selama ini dilanda konflik.

Serangan Roket Hizbullah ke Israel dan Dampaknya

Pada hari Sabtu 16 Oktober 2024, Pasukan Pertahanan Israel melaporkan bahwa setidaknya 60 kepala rudal Hizbullah berhasil masuk ke wilayah Israel dari Lebanon dan menyerang sebuah sinagoga di Haifa. Beruntung, serangan ini tidak menimbulkan korban jiwa. Serangan ini merupakan bagian dari eskalasi konflik yang semakin mengancam keamanan regional.

Korea Utara Memperkuat Dukungan kepada Rusia dalam Konflik Ukraina

Financial Times melaporkan pada tanggal 16 Oktober 2024 bahwa lembaga penilaian intelijen Ukraina menemukan bahwa Korea Utara telah menyediakan sistem roket jarak jauh dan artileri kepada pasukan Moskow. Beberapa dari sistem senjata ini telah dipindahkan ke wilayah Kursk, Rusia, untuk digunakan oleh tentara Korea Utara dalam upaya menyerang dan mengusir pasukan Ukraina.

Dalam beberapa minggu terakhir, Korea Utara telah mengirimkan sekitar 50 artileri otomatis dan 20 sistem roket multi-saluran 240mm baru yang mampu menembakkan roket standar dan roket berpemandu. Pengiriman senjata ini menandai perluasan dukungan Korea Utara kepada Rusia, dengan tujuan membantu tentara Rusia merebut kembali wilayah Kursk yang tengah dikuasai oleh pasukan Ukraina.

Michael Kaufman, peneliti senior di Carnegie International Peace Foundation, menyatakan bahwa keterlibatan Korea Utara dalam konflik ini semakin dalam, dengan pengiriman sejumlah besar amunisi dan senjata untuk menjadi pihak langsung dalam perang ini. Dengan demikian, Korea Utara tidak hanya memberikan dukungan logistik tetapi juga potensi personel militer yang dapat memperkuat posisi Rusia di medan perang.

Peran Tiongkok dalam Konflik dan Pengiriman Pasukan ke Rusia

Menurut berbagai penilaian intelijen Barat, Tiongkok juga telah meningkatkan tingkat intervensinya tahun ini dengan mengirim lebih dari 12.000 tentara untuk lebih lanjut internasionalisasi konflik di Ukraina. Awal minggu ini, setelah foto artileri Korea Utara mulai beredar di media sosial, pejabat Ukraina memberikan informasi tentang keberadaan senjata tersebut.

Analis memposisikan foto-foto tersebut di wilayah Krasnoyarsk, Rusia tengah, menunjukkan beberapa artileri yang ditutupi jaring kamuflase dan diangkut ke barat melalui rel kereta. Sistem senjata berat ini memiliki jangkauan tembakan lebih dari 60 kilometer. Artilleri M1989 yang diproduksi pada tahun 1989 merupakan versi yang sedikit ditingkatkan dari model asli M1979 yang pertama kali diproduksi pada akhir 1970-an. Korea Utara pernah menyediakan model ini ke Teheran selama perang Iran-Irak.

Seorang pejabat senior Ukraina mengatakan bahwa Korea Utara kini ingin menguji senjata ini dalam pertempuran, dengan perkiraan senjata ini akan digunakan untuk melawan pasukan yang saat ini berada di wilayah Kursk. Menurut pejabat intelijen Ukraina dan Barat, Rusia telah mengerahkan 50.000 tentara, termasuk 10.000 tentara Korea Utara yang dilengkapi dengan seragam dan senjata Rusia, dan siap untuk melancarkan serangan kapan saja.

Analis militer menambahkan bahwa pasukan Ukraina di Kursk telah kehilangan hampir setengah dari wilayah seluas 1.100 kilometer persegi yang mereka rebut dalam operasi serangan bulan Agustus. Dengan pasukan Rusia yang tengah menyeberangi sebagian besar garis depan sepanjang 1.000 kilometer, tantangan yang dihadapi sangat berat. Kaufman menekankan bahwa tentara Korea Utara secara teknis dapat membantu tentara Rusia di Kursk, tergantung pada jumlah dan cara penggunaannya. Dengan kehadiran tentara Korea Utara di Kursk, Presiden Rusia Vladimir Putin dapat membebaskan pasukan lainnya untuk melanjutkan serangan di bagian lain Ukraina timur.

Kesimpulan

Perkembangan terbaru ini menggambarkan kompleksitas dan intensitas konflik yang tengah berlangsung di berbagai wilayah, terutama di Timur Tengah dan Ukraina. Upaya diplomatik untuk mencapai gencatan senjata di Lebanon diharapkan dapat meredakan ketegangan yang semakin meningkat, sementara keterlibatan aktif Korea Utara dan dukungan Tiongkok kepada Rusia menambah dimensi baru dalam konflik global. Penguatan kebijakan tekanan oleh Amerika Serikat terhadap Iran juga menjadi faktor penting yang dapat mempengaruhi stabilitas regional di masa mendatang.