Antonio Graceffo
Uji coba rudal terlarang Korea Utara dan pengiriman pasukan ke Ukraina menjadi sorotan yang tidak diinginkan oleh Tiongkok dan berisiko menyebabkan sanksi tambahan—sesuatu yang ingin dihindari oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Xi Jinping, mengingat kini sedang bergulat dengan kondisi perekonomian Tiongkok.
KTT BRICS baru-baru ini di Kazan, Rusia, menyoroti ketegangan yang muncul dalam aliansi anti-Barat antara Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Iran. Selama acara tersebut, Xi Jinping secara mencolok meninggalkan Presiden Rusia Vladimir Putin menunggu sendirian sebelum sesi foto yang dijadwalkan, berdiri di depan bendera Rusia dan Tiongkok. Insiden ini terjadi ketika Putin berusaha menunjukkan ketahanan terhadap sanksi Barat dengan menjadi tuan rumah KTT tersebut.
Tindakan Xi tampaknya menegaskan posisi dominan Tiongkok dalam hubungan bilateral mereka. Sikap ini mungkin terkait kekhawatiran Beijing semakin kuatnya hubungan antara Pyongyang dan Moskow, yang mana dapat melemahkan pengaruh PKT terhadap Korea Utara.
Baru-baru ini, Korea Utara mengirimkan sekitar 11.000 pasukan ke Rusia, dengan beberapa di antaranya sudah terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Ukraina. Departemen Luar Negeri AS memperkirakan bahwa pasukan ini mungkin langsung terlibat dalam konflik di Ukraina. Awal tahun ini, Rusia dan Korea Utara mempererat hubungan bilateral mereka, dengan Pyongyang memasok amunisi ke Moskow dalam kesepakatan yang melanggar embargo senjata PBB. Sebagai pendukung ekonomi utama bagi Korea Utara dan Rusia, Tiongkok umumnya dianggap diajak berkonsultasi sebelum kedua negara tersebut mengambil langkah kebijakan luar negeri secara signifikan. Namun, tidak jelas apakah PKT menyetujui penjualan amunisi Korea Utara ke Rusia atau penguatan kerja sama militer mereka.
Hubungan yang semakin erat antara Korea Utara dan Rusia tampaknya merupakan langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan Korea Utara pada Tiongkok, sehingga mengurangi pengaruh Beijing atas Pyongyang.
Kemitraan ini dapat meningkatkan program senjata nuklir Korea Utara, mungkin mendapatkan dukungan Rusia dalam pengembangan misilnya. Selain itu, Korea Utara mungkin mengupayakan komitmen militer Rusia jika terjadi konflik di Semenanjung Korea.
Perjanjian pertahanan bersama Rusia–Korea Utara tahun 2024 menunjukkan, terlepas dari sikap Tiongkok terhadap konflik tersebut, Korea Utara mungkin mengharapkan bantuan militer dari Rusia. Korea Utara jelas sedang mengatur ulang aliansinya dengan Tiongkok.
Sejak Perang Dunia II, dan terutama sejak runtuhnya Uni Soviet, Korea Utara hampir tidak memiliki pilihan selain menjaga hubungan yang kuat dengan Tiongkok. Hubungan ini memungkinkan PKT memiliki sedikit kendali atas program misil Kim Jong Un, meskipun pada akhirnya Beijing gagal mencegah Korea Utara memperoleh senjata nuklir—perkembangan yang kemungkinan besar dianggap bertentangan dengan kepentingan PKT. Namun, kini Moskow tampaknya menawarkan Pyongyang mitra alternatif, dan poros baru Korea Utara ke Rusia mungkin menimbulkan masalah bagi Xi dan PKT pada saat yang tak tepat.
Saat Xi berupaya memperbaiki hubungan dengan Eropa dan Amerika Serikat, tindakan Korea Utara justru menarik perhatian negatif yang tidak diinginkan, termasuk mengingatkan dunia akan perang Ukraina—konflik yang melibatkan sekutu dekat Tiongkok, Rusia. Dengan perekonomian Tiongkok yang stagnan, Xi menerapkan stimulus terbesar yang menurut sebagian besar pakar kemungkinan besar akan gagal mendorong pertumbuhan dan hanya menambah utang negara. Di tengah tantangan ini, Xi berfokus untuk menarik lebih banyak perdagangan dan investasi asing—bukan memprovokasi sanksi lebih lanjut. Xi ingin mendorong perdagangan dan investasi asing, bukan memicu sanksi.
Sebagai hasilnya, Tiongkok baru-baru ini mengambil sikap lebih hati-hati dalam mendukung Rusia, berbeda dengan Korea Utara yang tampak acuh tak acuh terhadap sanksi. Pada akhir Oktober, Korea Utara menggelar uji coba rudal jarak jauh, melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Korea Utara sudah berada di bawah sanksi yang luas dan hampir tidak memiliki hal lain untuk dirugikan, tetapi Xi dan PKT memiliki banyak kepentingan yang dipertaruhkan. Sementara Rusia dan Korea Utara sebagian besar sudah terlepas dari ekonomi Barat, Tiongkok masih bergantung kepada perdagangan dan investasi dari Amerika Serikat serta Uni Eropa. Ketergantungan ini semakin ditekankan pada Oktober ketika Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada Tiongkok atas dukungan tidak langsungnya terhadap perang Rusia di Ukraina.
Otonomi Korea Utara yang semakin meningkat kini menjadi tantangan strategis bagi Beijing, mengganggu upaya Xi untuk menstabilkan ekonomi Tiongkok dan posisinya di dunia. Keterlibatan pasukan Korea Utara di Ukraina merupakan momen bersejarah—ini akan menjadi pertama kalinya dalam kurun waktu lebih dari 70 tahun tentara Korea Utara membunuh warga Eropa. Meskipun Ukraina bukan bagian dari NATO, negara itu adalah bagian dari Eropa, dan memberikan citra yang mengkhawatirkan: Dua sekutu terdekat Tiongkok, Korea Utara dan Rusia, kini terlibat dalam membunuh warga Eropa.
Perkembangan ini dapat mempercepat diskusi tentang pembentukan “NATO Asia.” Pasalnya, tindakan Korea Utara dapat dianggap sebagai pembenaran untuk koalisi semacam itu. Secara historis, negara-negara Eropa—kecuali Prancis dan Inggris—cenderung enggan mendukung militerisasi yang dipimpin AS di Indo-Pasifik, menganggap kepentingan mereka di wilayah tersebut sangat terbatas. Namun, dengan negara Indo-Pasifik kini secara langsung terlibat dalam konflik di dataran Eropa, perhitungan ini dapat berubah. Bagi Xi, peningkatan militerisasi Eropa di Indo-Pasifik adalah tak diinginkan, terutama saat PKT berusaha menghindari sanksi tambahan dan mendorong investasi asing ke Tiongkok.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.
Antonio Graceffo, Ph.D., adalah seorang analis ekonomi Tiongkok yang telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Graceffo adalah lulusan Universitas Olahraga Shanghai, meraih gelar MBA Tiongkok dari Universitas Jiaotong Shanghai, dan saat ini belajar pertahanan nasional di Universitas Militer Amerika. Ia adalah penulis buku “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” (2019).