Pencabutan Hak Istimewa Perdagangan Tiongkok: Era Baru dalam Hubungan AS-Tiongkok

 Antonio Graceffo

Komisi Tinjauan Ekonomi dan Keamanan AS-Tiongkok (USCC)  menyerukan kepada legislator untuk mengakhiri  permanent normal trade relations atau perdagangan normal permanen  (PNTR) dengan Tiongkok.

Agenda anti-Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang diusulkan oleh Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump mendapatkan momentum secara signifikan dengan dirilisnya laporan tahunan USCC. Laporan ini memberikan gambaran tegas tentang pelanggaran Tiongkok terhadap perdagangan, hak asasi manusia, dan norma internasional. 

Setelah investigasi mendalam, komite kongres merekomendasikan pencabutan status most favored nation (MFN) Tiongkok, dengan alasan kekhawatiran serius terkait kontrol terpusat PKT atas ekonomi, distorsi pasar global, dan praktik tidak adil yang merugikan industri dan pekerja AS.

Status MFN memberikan negara-negara seperti Tiongkok hak dan keistimewaan perdagangan yang sama seperti sekutu utama AS, seperti Inggris dan Jerman.

Laporan tersebut menyoroti bagaimana, di bawah kepemimpinan Xi Jinping, Tiongkok  beralih dari mengejar pertumbuhan ekonomi luas ke strategi yang digerakkan secara politik, yang memprioritaskan produksi “berkualitas tinggi” dalam teknologi yang sedang berkembang. 

Pendekatan ini dirancang untuk menetapkan dominasi di sektor teknologi tinggi secara global, didukung oleh alokasi modal yang diarahkan negara, ekspansi manufaktur, dan praktik ekspor agresif—sering kali merugikan industri domestik di negara lain. Komite berpendapat bahwa praktik ini merupakan ancaman nyata terhadap persaingan yang adil dan memerlukan tindakan tegas untuk melindungi kepentingan ekonomi AS.

Tiongkok memanfaatkan kapasitas berlebih dan penyesuaian pinjaman di bawah Inisiatif Belt and Road untuk mempertahankan pertumbuhan dan memperluas pengaruh ekonomi globalnya meskipun terdapat kelemahan sistemik. 

Praktik perdagangannya—seperti meningkatkan surplus dengan negara-negara berkembang dan mengalihkan ekspor untuk menghindari tarif—merusak persaingan global, membahayakan sektor manufaktur dan teknologi AS, serta membebani pasar domestik. Sebagai tanggapan, beberapa ekonomi berkembang mulai memberlakukan tarif untuk melindungi industri mereka dari taktik eksploitasi ini.

USCC berpendapat bahwa mencabut status MFN Tiongkok adalah langkah krusial demi melindungi kepentingan dan keamanan ekonomi Amerika. Pencabutan MFN memungkinkan AS membatasi akses rezim Tiongkok ke pasar Amerika, melawan praktik perdagangan eksploitatif, dan melindungi bisnis serta pekerja AS dari pemaksaan ekonomi.

Meskipun prinsip MFN adalah landasan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan menjamin praktik perdagangan non-diskriminatif di antara negara-negara anggota, Amerika Serikat memiliki kewenangan kedaulatan untuk menetapkan kebijakan perdagangannya sendiri. 

Berdasarkan aturan WTO, pencabutan MFN dan penerapan tarif yang lebih tinggi pada Tiongkok tanpa justifikasi yang sah—seperti pengecualian keamanan nasional berdasarkan Pasal XXI dari the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) atau Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan —dapat melanggar perjanjian perdagangan global. Namun, komite kongres menegaskan bahwa pencabutan MFN diperlukan untuk melawan praktik tidak adil Tiongkok dan memperkuat kewenangan presiden AS serta perwakilan perdagangan untuk melindungi kepentingan ekonomi Amerika.

Inisiatif Ini Sejalan dengan Pilihan Kabinet Trump yang Tegas dan Prioritas Legislasi

Senator Marco Rubio (R-Fla.), yang diusulkan sebagai Menteri Luar Negeri, ikut menggagas Neither Permanent Nor Normal Trade Relations Act pada  September untuk mengakhiri PNTR dengan Tiongkok. Demikian pula, Anggota kongres AS John Moolenaar (R-Mich.), ketua Komite Khusus DPR AS tentang PKT, memperkenalkan rancangan undang-undang yang menyerukan pembatalan status perdagangan normal permanen Tiongkok.

Niat Trump untuk menunjuk mantan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer sebagai pemimpin kebijakan perdagangannya lebih lanjut menandakan komitmen terhadap kebijakan perdagangan agresif. Sering disebut sebagai arsitek perang dagang AS-Tiongkok, Lighthizer dikenal dengan sikap kerasnya terhadap pelanggaran perdagangan Tiongkok dan fokusnya pada perlindungan kedaulatan ekonomi Amerika. Pencabutan MFN akan menghilangkan pembatasan, memungkinkan Lighthizer menghadapi praktik ekonomi PKT dengan kekuatan penuh.

Beberapa pengamat berspekulasi bahwa perang dagang AS-Tiongkok yang lebih intens dapat merugikan Partai Republik dalam pemilu paruh waktu 2026, karena presiden mungkin disalahkan atas kenaikan harga konsumen. Namun, lanskap saat ini sangat berbeda dibandingkan masa jabatan pertama Trump. Pertama, mayoritas besar rakyat Amerika kini memiliki pandangan yang tidak baik terhadap Tiongkok, yang dapat memberikan dukungan publik lebih luas untuk kebijakan perdagangan tegas. 

Selain itu, pemisahan bertahap ekonomi AS dan Tiongkok selama empat tahun terakhir telah mengurangi ketergantungan rantai pasok Amerika pada Tiongkok, sehingga dampak dari percepatan pemisahan ini menjadi lebih ringan.

Iklim Geopolitik yang Berubah Mendukung Tindakan AS terhadap Tiongkok

Perang di Ukraina  memperkuat NATO, mendekatkan Eropa dengan Amerika Serikat dan membuat sekutu Eropa lebih mungkin mendukung kebijakan Amerika di bawah Trump. Hal ini terutama relevan mengingat ketidakpuasan Trump terhadap pendanaan pertahanan Eropa oleh AS. Trump telah mengusulkan perluasan ekspor energi AS untuk membantu Eropa mengurangi ketergantungan pada impor Rusia.

Pada saat yang sama, Trump menyatakan bahwa negara-negara yang diuntungkan dari perdagangan atau sumber daya pertahanan AS tidak boleh merongrong kebijakan luar negeri Amerika—terutama dalam hubungan perdagangan dengan Tiongkok. Kombinasi sentimen publik, penyesuaian ekonomi, dan keselarasan geopolitik ini memberikan dasar yang lebih kuat untuk mengejar sikap perdagangan yang lebih agresif terhadap Tiongkok.

Konsekuensi dan Respons Tiongkok

Jika Amerika Serikat mencabut status MFN Tiongkok, Beijing kemungkinan akan mengajukan keluhan ke WTO untuk memproyeksikan diri sebagai pihak yang mematuhi aturan dan menekan Washington secara diplomatik. Namun, WTO tidak memiliki mekanisme penegakan untuk memaksa Amerika Serikat membatalkan tindakannya. Bahkan jika keputusan mendukung Tiongkok, otoritas WTO hanya terbatas pada memberikan otorisasi tarif pembalasan atau tindakan serupa—langkah yang tidak mungkin berdampak signifikan pada AS, mengingat ketidakseimbangan perdagangan dan ketegangan geopolitik saat ini.

Pemerintahan kedua Trump kemungkinan akan memperkuat dinamika ini. Trump telah lama mengkritik WTO, menuduhnya secara tidak adil menguntungkan Tiongkok dan mengancam untuk menarik Amerika Serikat dari organisasi tersebut. Di bawah kepemimpinannya, Amerika Serikat dapat menggunakan kedaulatan untuk mengabaikan keputusan WTO dan fokus pada kebijakan perdagangan unilateral atau bilateral. Trump juga mungkin menggunakan pengecualian keamanan nasional, ketentuan yang didefinisikan secara luas yang memungkinkan negara-negara mengabaikan aturan WTO untuk melindungi keamanannya, sehingga semakin mempersulit Tiongkok untuk menantang tindakan AS.

Pada tingkat tertentu, Trump bahkan dapat melihat oposisi WTO terhadap kebijakan perdagangannya sebagai peluang untuk membenarkan penarikan Amerika Serikat sepenuhnya dari organisasi tersebut.

Dampak pada WTO

Mengingat taruhan ini, WTO kemungkinan besar tidak akan meningkatkan ketegangan dengan Amerika Serikat, karena khawatir kehilangan salah satu anggotanya yang paling berpengaruh. Organisasi ini bergantung pada kepatuhan sukarela dan tekanan internasional untuk menjaga kredibilitasnya, dan penarikan AS akan sangat melemahkan relevansinya. 

Hal ini akan memberikan kebebasan bagi Trump untuk memberlakukan pembatasan perdagangan pada Tiongkok, mengurangi pendanaan untuk program persenjataan PKT, dan melemahkan kemampuan rezim Tiongkok untuk berperang melawan Amerika Serikat atau merebut Taiwan.