ETIndonesia. Suriah memasuki babak baru yang penting setelah terbentuknya pemerintah transisi yang dipimpin oleh Perdana Menteri sementara Mohammed Al Bashir. Penunjukan Bashir pada 10 Desember 2024 oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS),sebagai Perdana Menteri penjaga menandai awal dari fase peralihan kekuasaan yang krusial.
Masa jabatan Bashir akan berlangsung hingga 1 Maret tahun depan, dengan tugas utama untuk memastikan transisi kekuasaan yang mulus dengan Perdana Menteri sebelumnya, Mohammad Ghazi Al-Jalali dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang dapat mengarah pada stabilitas dan pemulihan negara.
Siapa Mohammed Bashir?
Muhammad Bashir, yang baru berusia 41 tahun, sebelumnya menjabat sebagai Perdana Menteri dalam pemerintahan pemberontak Suriah. Faksi yang dipimpinnya adalah Hayat Tahrir al-Sham, yang telah beroperasi sejak 2017 di wilayah barat laut Suriah, tepat di perbatasan dengan Turkiye.
Menariknya, tentara pemberontak memilih mantan Perdana Menteri mereka untuk memimpin negara ini dalam periode transisi, mencerminkan hubungan erat antara pemerintahan baru dan faksi-faksi pemberontak.
Bashir adalah seorang insinyur dengan latar belakang pendidikan yang mengesankan, termasuk gelar Sarjana Teknik Elektro dari Universitas Aleppo, serta gelar Sarjana Kehormatan dalam Hukum Islam dan Hukum. Sebelum memasuki dunia politik, ia memiliki pengalaman dalam manajemen publik dan bahasa Inggris, memberikan dasar yang kuat untuk perannya sebagai Perdana Menteri.
Kisah Perdana Menteri Assad yang Lama: Mohammad Ghazi Al-Jalali
Cerita tentang Perdana Menteri sebelumnya, Jallali, tak kalah menarik. Pada 8 Desember 2024, saat pasukan pemberontak menyerbu Damaskus dan banyak pejabat Assad melarikan diri, Jallali mengunggah video di media sosial yang menyatakan bahwa ia tetap akan berada di Damaskus dan siap bekerja sama dengan pemimpin yang dipilih rakyat.
Namun, tidak lama setelah itu, sebuah video muncul menunjukkan Jallali dibawa oleh pasukan pemberontak dari rumahnya.
Dalam rekaman tersebut, ia terlihat berbicara di telepon, kemungkinan berhubungan dengan pejabat militer untuk meminta penyerahan senjata. Hal ini menunjukkan betapa dramatisnya perubahan yang terjadi dalam dinamika politik Suriah.
Kebijakan Pertama Pemerintah Baru: Mengarah pada Pemulihan Ekonomi dan Sosial
Meskipun awalnya ada keraguan tentang efektivitas pemerintah baru ini, langkah-langkah pertama yang diambil pada hari pertama pemerintahan cukup mengejutkan.
Salah satu keputusan utama adalah instruksi kepada seluruh pegawai negeri untuk kembali bekerja, membuka kembali bank sentral, dan mengumumkan bahwa bank-bank komersial akan dibuka kembali pada hari Kamis. Langkah ini bertujuan untuk menghidupkan kembali mekanisme negara dan memulihkan kehidupan ekonomi yang terpuruk akibat perang.
Selain itu, pemerintah juga mengumumkan bahwa Bandara Aleppo akan kembali membuka penerbangan domestik. Ini menunjukkan bahwa Perdana Menteri Bashir menyadari pentingnya pemulihan infrastruktur dan mobilitas untuk memulai fase baru pembangunan ekonomi di Suriah.
Isu Sosial dan Kebebasan: Mengarah ke Arah yang Lebih Terbuka
Pemerintah baru juga membuat kebijakan yang menarik dalam hal sosial. Pejabat Suriah mengumumkan bahwa wanita di negara itu kini dapat mengenakan pakaian sesuai dengan keinginan mereka.
Kebijakan ini memiliki dampak besar karena menunjukkan perubahan dalam sikap terhadap kebebasan individu, meskipun ini juga bisa menjadi pertanda besar tentang apakah Suriah akan bergerak ke arah yang lebih sekuler atau semakin radikal dan Islamis.
Salah satu kebijakan sosial lainnya yang mencuri perhatian adalah pengumuman bahwa melukai jurnalis akan dikenakan hukuman penjara. Kebebasan berbicara adalah fondasi dari masyarakat demokratis, dan langkah ini bisa menjadi sinyal baik bahwa pemerintah baru Suriah berusaha melindungi kebebasan pers di tengah situasi yang sangat tegang.
Selain itu, pemerintah juga mengumumkan pengampunan kepada semua personel militer Suriah, yang mungkin merupakan langkah pertama menuju rekonsiliasi nasional.
Pemimpin Pemberontak Abu Mohammed al-Jawlani : Mendorong Perdamaian
Di tengah transisi ini, peran pemimpin tentara pemberontak Suriah, al-Jawlani , juga patut diperhatikan. Dalam sebuah pernyataan yang menarik, al-Jawlani mengungkapkan bahwa ia terbuka untuk membangun hubungan persahabatan dengan semua negara di kawasan ini, termasuk Israel.
Ia menekankan bahwa “Kami tidak punya musuh selain rezim Assad, Partai Perlis, dan Iran,” dan menyatakan bahwa serangan Israel terhadap Partai Perlis sangat membantu mereka dalam perjuangan melawan rezim Assad.
Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan perubahan arah politik yang signifikan, tetapi juga membuka kemungkinan baru dalam hubungan Suriah dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah, termasuk Israel.
Meskipun demikian, Israel, yang sudah berpengalaman dalam menghadapi negara-negara Muslim di kawasan tersebut, tidak akan mudah percaya begitu saja. Bagi Israel, meskipun kata-kata yang baik didengar, tindakan tetap menjadi ukuran utama.
Pengaruh Rusia dan Israel dalam Geopolitik Suriah
Selain peran internal, faktor eksternal juga memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah masa depan Suriah. Rusia, yang selama ini mendukung rezim Assad, menyatakan bahwa mereka siap melakukan dialog serius dengan pemerintah baru Suriah. Peskov, juru bicara Kremlin, menyatakan bahwa Rusia sedang melalui periode transformasi yang memerlukan waktu, dan negara ini berharap dapat mempertahankan pangkalan angkatan laut mereka di Tartus, Suriah.
Namun, pada 9 Desember 2024, Israel menunjukkan sikap tegas dengan menghancurkan pangkalan angkatan laut Rusia di Tartus. Langkah ini menunjukkan ketegangan yang terus berlangsung antara Israel dan Rusia, meskipun ada indikasi positif dari Julani mengenai hubungan dengan Israel. Di sisi lain, Rusia juga terus memainkan peran kunci dalam konflik ini, dengan harapan bahwa mereka bisa mempertahankan pengaruhnya di Suriah.
Kesimpulan
Suriah sedang memasuki babak baru yang penuh tantangan, dengan pemerintah baru yang mengambil langkah-langkah untuk memulihkan ekonomi dan kehidupan sosial yang telah terbelah oleh perang.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa meskipun konflik masih menyelimuti negara ini, ada harapan untuk perbaikan, terutama dalam hal kebebasan individu, rekonsiliasi nasional, dan pemulihan ekonomi.
Namun, faktor eksternal seperti hubungan dengan negara-negara besar dan perubahan dinamika geopolitik di Timur Tengah akan tetap menjadi faktor penting dalam menentukan apakah Suriah dapat mencapai stabilitas jangka panjang atau justru terjerumus ke dalam ketegangan lebih lanjut. (kyr)