EtIndonesia. Perang Rusia-Ukraina telah memasuki tahap paling berbahaya. Berdasarkan intelijen terbaru AS, Rusia kemungkinan besar akan kembali meluncurkan rudal balistik hipersonik jarak menengah eksperimental “Oreshnik” ke Ukraina dalam beberapa hari mendatang. Namun, pihak AS tidak menganggap rudal ini akan mengubah jalannya perang.
Ukraina Gunakan Rudal ATACMS Buatan AS, Rusia Mungkin Balas dengan Rudal Hipersonik
Pada 11 Desember, Rusia mengumumkan bahwa Ukraina telah meluncurkan enam rudal balistik ATACMS buatan AS untuk menyerang pangkalan militer di dekat Laut Azov. Serangan ini mungkin mendorong Rusia untuk meluncurkan lagi rudal hipersonik jarak menengah.
Kementerian Pertahanan Rusia menyatakan bahwa dua dari rudal Ukraina berhasil ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara Pantsir, sementara sisanya dihancurkan oleh sistem perang elektronik.
Dalam sebuah pernyataan resmi, Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan: “Pada pagi hari 11 Desember, Ukraina menggunakan senjata presisi buatan Barat untuk menyerang pangkalan udara militer di Taganrog, wilayah Rostov. Serangan ini tidak akan dibiarkan tanpa reaksi, kami akan mengambil langkah yang sesuai.”
Pada hari yang sama, pejabat AS menyebut bahwa intelijen AS menilai Rusia kemungkinan akan meluncurkan rudal balistik jarak menengah barunya dalam beberapa hari mendatang.
Menurut laporan Associated Press, seorang pejabat AS yang tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa rudal “Oreshnik” masih dalam tahap uji coba dan Rusia hanya memiliki sedikit stok rudal ini. Rudal ini membawa hulu ledak yang lebih kecil dibandingkan rudal lain yang biasanya diluncurkan Rusia ke Kyiv. Oleh karena itu, peluncuran rudal ini lebih bertujuan untuk menakut-nakuti daripada memberikan dampak nyata.
Pada 21 November, Rusia pertama kali meluncurkan rudal Oreshnik ke Kota Dnipro di Ukraina. Rekaman kamera pengawas menunjukkan serangan tersebut menyebabkan ledakan besar di malam hari dengan kecepatan luar biasa. Menurut pihak Ukraina, rudal tersebut tidak diisi bahan peledak.
Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut peluncuran ini sebagai respons langsung terhadap penggunaan senjata Barat oleh Ukraina.
Perang Rusia-Ukraina Memasuki Tahap Paling Berbahaya
Menjelang akhir masa jabatannya, pemerintahan Presiden AS Joe Biden mengizinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh buatan AS untuk menyerang wilayah Rusia. Pada 19 November, Ukraina meluncurkan enam rudal ATACMS, diikuti dengan rudal “Shadow Storm” buatan Inggris dan HIMARS buatan AS pada 21 November.
Presiden AS terpilih Donald Trump, yang akan menjabat Januari mendatang, telah menyerukan gencatan senjata dan perundingan untuk segera mengakhiri perang.
Menurut beberapa pejabat Rusia dan Barat, dengan pasukan Rusia yang bergerak cepat di Ukraina timur, perang ini mungkin memasuki tahap akhir sekaligus paling berbahaya.
Pada 11 Desember, Gedung Putih menyatakan bahwa Biden telah menyetujui memorandum keamanan nasional baru yang mencakup strategi untuk menghadapi meningkatnya kerja sama antara Tiongkok, Iran, Korea Utara, dan Rusia. Memorandum ini akan menjadi peta jalan diplomasi pemerintahan Trump yang akan datang.
Para pejabat AS, yang juga enggan disebutkan namanya, mengatakan memo rahasia itu tidak akan dipublikasikan karena sensitivitas isinya.
Taktik “Menggiling Daging” Rusia di Donetsk
Menurut laporan media asing, Rusia telah mencapai keberhasilan besar di Donetsk bulan lalu berkat taktik “penggilingan daging” (meatgrinder). Dalam taktik ini, Rusia mengirimkan narapidana sebagai gelombang pertama untuk melemahkan pertahanan Ukraina, sebelum mengerahkan pasukan reguler untuk merebut wilayah.
Seorang perwira Ukraina di Donetsk yang bernama “Goth” mengatakan dengan penuh frustrasi kepada AFP: “Kami kalah melawan para narapidana.” Rusia mencatat kemajuan terbesar di Donetsk sejak Maret 2022.
Menurut Institut Studi Perang (Institute for the Study of War) yang berbasis di AS, kemajuan ini dicapai dengan korban yang sangat besar. Diperkirakan, Rusia kehilangan 53 tentara untuk setiap kilometer persegi wilayah yang direbut.
Pertemuan Trump, Zelensky, dan Macron: Tidak Ada Kesepakatan Konkret
Beberapa hari yang lalu, dalam pertemuan tiga pihak yang diatur oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, Trump, Zelenskyy, dan Macron berdiskusi selama 35 menit tanpa didampingi penasihat. Menurut empat dari lima narasumber Reuters, pertemuan ini tidak menghasilkan rincian konkret terkait visi perdamaian.
Seorang pejabat Ukraina mengatakan kepada Reuters bahwa Zelenskyy percaya satu-satunya orang yang ditakuti Putin di dunia internasional adalah Trump, atau mungkin juga Tiongkok.
“Perdamaian yang tahan lama membutuhkan ketegasan dari Washington,” katanya.
Dua sumber lainnya menyebut Macron menyatakan bahwa Eropa telah memberikan banyak dukungan kepada Ukraina dan bersedia berbagi tanggung jawab keamanan secara lebih seimbang dengan AS.
Pejabat lain menambahkan bahwa Macron dan Zelenskyy mencoba menjelaskan kepada Trump bahwa situasi Putin pada 2024 sangat berbeda dari saat Trump menjabat pada 2017.
“Kejatuhan cepat Presiden Suriah Bashar al-Assad serta dampaknya terhadap sekutu negara tersebut, Rusia, juga menunjukkan bahwa dalam upaya perdamaian di masa depan, diperlukan sikap yang lebih tegas terhadap Moskow.Pejabat itu juga menekankan: ‘Tujuannya terutama adalah menjelaskan kepada Trump, bukan memberikan tekanan padanya.” (jhn/yn)