EtIndonesia. Kota terbesar di wilayah timur laut Prancis saat ini adalah Strasbourg, yang terletak di kawasan Grand Est. Namun, 500 tahun lalu, wilayah ini pernah dilanda wabah misterius yang mengerikan, bukan karena penyakit yang menyebabkan penderitaan atau kematian biasa, melainkan wabah yang membuat orang-orang mulai menari tanpa kendali!
Tubuh yang Tak Terkendali: Wabah Menari di Strasbourg
Kejadian ini terjadi pada Juli 1518, ketika wabah “menari” melanda Strasbourg. Sebagai informasi, wabah menari (atau epidemi tarian) tahun 1518 adalah kasus mania menari yang terjadi di Strasbourg, Alsace, (bagian dari Kekaisaran Romawi Suci) pada bulan Juli 1518. Saat itu, sekitar 400 orang menari selama berhari-hari tanpa istirahat.
Seperti namanya, orang-orang yang terkena wabah ini mulai menari tanpa sadar. Pada suatu hari di bulan itu, seorang wanita bernama Troffea muncul di sebuah alun-alun kota dan mulai menari di hadapan umum. Pada awalnya, banyak yang menyangka ini adalah pertunjukan biasa, tetapi seiring berjalannya waktu, mereka menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Troffea tampak tidak mampu menghentikan gerakan tubuhnya, seperti dikendalikan oleh kekuatan yang tak terlihat.
Menurut catatan sejarah, Troffea terus menari hampir selama satu minggu penuh. Dia hanya berhenti ketika tubuhnya benar-benar kelelahan dan tidak mampu bergerak lagi. Setelah kejadian itu, pihak berwenang membawanya pergi, tetapi wabah misterius ini sudah mulai menyebar.
Ketika Troffea dibawa pergi, puluhan warga lainnya mulai menunjukkan gejala serupa. Dilaporkan bahwa hingga 34 orang mulai menari tak terkendali di alun-alun kota, tak henti-hentinya, hingga tubuh mereka benar-benar kehabisan tenaga. Penduduk yang bingung dan ketakutan mulai mencari bantuan dari dokter. Namun, pada masa itu, para dokter percaya bahwa kondisi ini disebabkan oleh darah yang “terlalu panas” dalam tubuh, dan metode pengobatan yang digunakan adalah teknik “pengeluaran darah” yang biasa dilakukan pada zaman tersebut.
Saat itu, ada orang yang justru mengusulkan pendekatan yang lebih ekstrem: mereka percaya bahwa para “penari” epidemi tarian perlu menari lebih banyak agar bisa menyembuhkan kondisi mereka. Dengan pemikiran ini, pihak berwenang membersihkan pasar gandum, mengosongkan area tersebut, lalu membawa para penari ke sana. Para musisi pun dipanggil untuk memainkan musik, dengan harapan bahwa menari hingga kelelahan akan menyembuhkan mereka.
Namun, langkah ini justru memperburuk situasi. Wabah menari ini terjadi pada puncak musim panas, ketika matahari menyengat dan suhu sangat tinggi. Akibatnya, banyak penari yang jatuh pingsan atau meninggal akibat kelelahan ekstrem. Dalam beberapa catatan sejarah, disebutkan bahwa 15 orang meninggal setiap hari karena menari hingga kehabisan tenaga.
Setelah banyak korban berjatuhan, para dokter mulai menyadari bahwa teori “darah panas” seperti disebutkan di atas mungkin tidak sepenuhnya benar. Para pejabat kota akhirnya menduga bahwa wabah ini mungkin berkaitan dengan keyakinan religius atau kutukan. Mereka pun melarang segala bentuk tarian di tempat umum dan memindahkan para “penari” yang kondisinya parah ke katedral Santo Vitus.
Di katedral tersebut, para pendeta melakukan ritual penyembuhan. Mereka memakaikan sepatu berwarna merah pada para penari dan mengoleskan air suci serta minyak suci pada kaki mereka. Para pendeta juga memandu para penari untuk berjalan mengelilingi patung Santo Vitus atau berdoa di bawah patung tersebut, hingga akhirnya mereka berhenti menari. Konon, metode ini dianggap sangat efektif, dan semakin banyak penari yang dibawa ke katedral untuk disembuhkan.
Hingga hari ini, penyebab pasti wabah menari di Strasbourg masih menjadi misteri. Diperkirakan ratusan orang menjadi korban dalam kejadian ini. Ada yang percaya bahwa ini adalah akibat dari kutukan atau kepercayaan mistis, sementara para ilmuwan modern mengaitkannya dengan kemungkinan infeksi bakteri atau fenomena psikologis massal yang tak terjelaskan. Adalah peristiwa wabah misterius yang tercatat dalam sejarah Eropa. (jhn/yn)