Mengurangi Ketergantungan pada Tiongkok: Perusahaan Tambang Australia Siap Memulai Pemrosesan Logam Tanah Jarang

EtIndonesia. Upaya negara-negara Barat untuk melemahkan dominasi Tiongkok dalam penguasaan mineral penting menciptakan peluang bagi perusahaan tambang di luar Tiongkok. Lynas Rare Earths, sebuah perusahaan tambang Australia, sedang memperluas jangkauan pemrosesan tanah jarang dan bersiap untuk memulai pemrosesan logam tanah jarang berat.

Menurut laporan Nikkei Asia, Lynas adalah produsen tanah jarang terbesar di luar Tiongkok. Perusahaan ini berencana memulai pemrosesan tanah jarang di pabriknya di Malaysia tahun depan. Selain itu, Lynas juga akan membangun fasilitas pemrosesan di Texas, Amerika Serikat, dengan pendanaan sebesar 258 juta dolar AS dari Departemen Pertahanan AS.

Hingga saat ini, pemrosesan tanah jarang berat sebagian besar didominasi oleh Tiongkok. Lynas menyatakan bahwa fasilitas ini akan menjadi yang pertama di luar Tiongkok yang menangani pemrosesan tanah jarang. CEO Lynas, Amanda Lacaze, dalam pertemuan pemegang saham bulan November, menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk memperluas portofolio produk perusahaan dan meningkatkan keuntungan dari material tersebut.

Lynas menambang tanah jarang di Mount Weld, Australia, dan memprosesnya di fasilitas berbiaya rendah di Malaysia. Rencana ekspansi fasilitas di AS akan memperluas rantai pasokan perusahaan.

Logam tanah jarang berat seperti terbium dan disprosium biasa digunakan untuk meningkatkan ketahanan panas pada magnet berkinerja tinggi. Magnet ini merupakan komponen penting dalam motor kendaraan listrik, turbine angin, kacamata malam, dan pesawat tempur.

Investasi Lynas dalam pemrosesan tanah jarang berat akan membantu negara-negara Barat mengurangi ketergantungan pada Tiongkok. Menurut data US Geological Survey, Tiongkok menghasilkan sekitar 70% tanah jarang dunia dan mengendalikan 90% pemrosesan global.

Selain Lynas, perusahaan Arafura Rare Earths berencana membangun fasilitas penambangan dan pemrosesan di Northern Territory, Australia. Fasilitas ini ditargetkan mulai beroperasi pada 2028 dan akan memasok material seperti neodymium dan praseodymium kepada perusahaan seperti Hyundai.

Dalam beberapa tahun terakhir, mineral penting telah menjadi alat pembalasan Tiongkok terhadap negara-negara Barat. Pada Juli 2023, Tiongkok memberlakukan pembatasan ekspor galium dan germanium serta senyawanya. Pada Oktober 2023, pembatasan ekspor grafit diberlakukan, diikuti oleh larangan ekspor antimon pada Agustus 2024. Baru-baru ini, setelah eskalasi perang dagang dengan AS di bidang chip, Tiongkok sepenuhnya melarang ekspor galium, germanium, dan antimon ke AS pada Desember 2024.

Langkah-langkah ini telah mempercepat upaya ekonomi maju untuk mendiversifikasi rantai pasokan mereka. Uni Eropa, misalnya, mengajukan konsep “de-risiko” dari Tiongkok dan mengesahkan Undang-Undang Bahan Mentah Kritis untuk mengurangi ketergantungan pada produk Tiongkok. Pemerintah AS juga terus mendukung strategi “de-risiko” dari Tiongkok, termasuk investasi besar dalam industri chip domestik. Perusahaan tambang seperti Perpetua Resources sedang mengembangkan tambang antimon di Idaho dengan dukungan pendanaan dari pemerintah AS.

Northern Graphite, perusahaan yang berbasis di Ottawa, mengklaim sebagai satu-satunya produsen grafit serpihan alami di Amerika Utara. CEO perusahaan, Hugues Jacquemin, menyatakan bahwa setelah Tiongkok mengumumkan pembatasan ekspor grafit pada Oktober 2023, pesanan perusahaan meningkat sebesar 50%.

CEO ReElement Technologies, divisi daur ulang dan pemurnian tanah jarang dari American Resources, menyebut bahwa larangan ekspor Tiongkok pada awal Desember 2024 menyebabkan perusahaan menerima setidaknya 10 panggilan dalam seminggu dari perusahaan tambang AS yang membutuhkan suplai seng, yang merupakan sumber potensial germanium dalam proses pemrosesan.

Langkah pembatasan ekspor mineral penting oleh Tiongkok sejak tahun lalu juga mengancam keberlangsungan perusahaan domestik Tiongkok. Para analis dan pedagang melaporkan bahwa pembatasan tersebut telah memaksa beberapa perusahaan kecil yang kurang kompetitif keluar dari pasar. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS