ErabaruNews – Kekuatan pendorong terbesar pertumbuhan ekonomi Tiongkok berasal dari bantuan ekonomi, dana dan teknologi dari perusahaan non-pemerintah Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Isu tersebut menjadi ‘headline’ media-media Jepang pada 4 Pebruari 2018.
Dengan memberikan bantuan, negara-negara tersebut berharap agar angin demokrasi dapat tertiup masuk ke Tiongkok. Namun, ternyata niat baik masyarakat internasional telah dikhianati oleh Tiongkok.
Media Jepang ‘Sankei Shimbun’ dalam sebuah artikel tanggal 4 februari, menyebutkan tahun 2018 adalah tahun ke 40 reformasi ekonomi Tiongkok. Produk Domestik Bruto per kapita Tiongkok pada tahun 2017 telah mencapai sekitar 225 kali lipat dari tahun 1978. Ekonomi Tiongkok bahkan telah berkembang mencapai sekitar 2,6 kali ekonomi Jepang.
Artikel tersebut berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok lebih besar dari pasar domestik dengan kapasitas 1,3 miliar populasi. Selain itu, ruang lingkupnya setara dengan sekitar 25 kali ukuran kondisi dasar dari sumber daya alam Jepang.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga tak terlepas dari bantuan positif pemerintah Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, serta modal dan teknologi dari pihak perusahaan swasta. Kemajuan ekonomi itu juga dipengaruhi dari diterimanya Tiongkok di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Jepang, Amerika Serikat dan Eropa sepenuhnya mendukung reformasi ekonomi Tiongkok dengan tujuan agar menggunakan tenaga kerja murah dan melimpah untuk membuka pasar ekspor yang besar.
Selain itu, mereka juga berharap angin demokrasi dapat ikut tertiup masuk ke Tiongkok, agar Tiongkok dan masyarakat internasional memiliki nilai-nilai bersama untuk mewujudkan cita-cita masyarakat demokratis. Namun semua upaya ini telah menimbulkan kekecewaan.
Reuters dalam laporannya mengatakan, Amerika Serikat percaya bahwa mendukung Tiongkok masuk WTO adalah sebuah keputusan yang salah. Harapan Amerika agar Tiongkok bisa menjadi mitra telah ‘dikhianati’ oleh pemerintah Tiongkok komunis.
Dalam masalah hubungan Tiongkok-Jepang, Jepang telah memberikan bantuan ekonomi. Selain itu perusahaan swasta mereka telah memberikan dukungan teknis dengan itikad baik untuk membantu mengembangkan industri manufaktur di Tiongkok.
Tetapi pemerintah Tiongkok komunis masih saja sering memicu rakyatnya untuk melakukan demonstrasi anti-Jepang. Rezim otoriter komunis juga masih sering melakukan serangan terhadap perusahaan Jepang dengan mengangkat sengketa Kepulauan Diaoyu sebagai alasan.
Artikel tersebut menyatakan bahwa Tiongkok tidak pernah mencapai konsensus dengan masyarakat internasional. Alasan mendasarnya adalah strategi diplomatik Deng Xiaoping saat itu untuk ‘tetap low profile’.
Mereka akan tetap bersikap rendah diri saat Tiongkok belum memiliki kekuatan ekonomi dan kemampuan militer yang memadai. Namun, setelah 40 tahun reformasi ekonomi dan membuka diri, Tiongkok kini mulai menunjukkan ambisinya.
Bulan November 2017, mantan kepala strategi pemerintahan Presiden Trump, Steve Bannon saat menghadiri forum ‘Interethnic Interfaith Leadership Conference’ di Jepang mengkritik ambisi rezim komunis Tiongkok. Ia mengingatkan negara-negara Barat dan sekutunya AS di Asia untuk waspada terhadap keinginan Tiongkok yang menganut komunisme untuk mendominasi ekonomi dunia. (Li Wenxin/NTDTV/Sinatra/waa)