EtIndonesia. Sejak Agustus tahun lalu hingga 30 Desember, meskipun Shen Yun dan Pusat Informasi Falun Dafa telah berulang kali mengklarifikasi, The New York Times tetap menerbitkan sepuluh artikel yang tidak benar secara beruntun. Artikel-artikel tersebut tidak memiliki dasar fakta yang kuat, tetapi sudut pandangnya sangat jelas dan jauh dari standar jurnalisme yang seharusnya diterapkan oleh surat kabar internasional ternama. Oleh karena itu, perlu untuk menelusuri alasan di balik pola pemberitaan The New York Times.
Sikap yang Terang-terangan
Penerbitan sepuluh artikel yang mendiskreditkan Falun Gong secara berurutan sulit dipercaya berasal dari sebuah institusi media utama Amerika. Dalam pemberitaan tentang Falun Gong, The New York Times menunjukkan sikap yang sangat tegas dan bahkan hampir sejalan dengan PKT.
Surat kabar tersebut mengandalkan narasi dari segelintir individu yang tidak puas dan tanpa bukti yang kuat, tetapi tetap membuat tuduhan luas.
Di satu sisi, The New York Times mengecilkan makna dan latar belakang Shen Yun serta Falun Gong, sementara di sisi lain, mereka menggunakan teknik jurnalistik yang selektif dengan menonjolkan narasi tertentu, memilih judul provokatif yang menyesatkan pembaca, serta menerbitkan informasi tanpa verifikasi fakta yang memadai.
Sebagai contoh, mereka menggambarkan komunitas Falun Gong sebagai “kelompok spiritual Tiongkok yang misterius dan relatif tertutup” serta menuduh para relawan Shen Yun sebagai korban eksploitasi kerja tanpa upah. Pola ini sangat mirip dengan propaganda PKT yang selama bertahun-tahun menjelekkan Falun Gong. Karena tidak dapat menemukan bukti konkret, PKT menggunakan teknik pelabelan dan otoritas pemerintah untuk menanamkan ketidakpercayaan dan ketakutan psikologis terhadap Falun Gong di masyarakat.
Secara teori, sebagai institusi berita yang berpengalaman dan memiliki sumber daya besar, The New York Times seharusnya memahami prosedur jurnalisme dengan baik. Mereka seharusnya tidak mengizinkan wartawan bergantung pada sumber informasi yang salah, apalagi menerbitkan artikel yang terang-terangan mengandung kebohongan.
Sebagai surat kabar besar, mereka juga tidak seharusnya panik hanya karena satu panggilan pengadilan. Biasanya, demi menjaga kredibilitasnya, The New York Times akan memberikan pemberitaan yang seimbang dalam setiap laporan mereka. Namun, dalam kasus Shen Yun dan Falun Gong, mereka sepenuhnya mengabaikan prinsip keseimbangan dalam pemberitaan.
Bahkan jika seorang wartawan atau editor memiliki bias pribadi, standar industri jurnalistik melarang mereka memasukkan opini pribadi dalam berita. Namun, jika keputusan untuk melakukan hal ini berasal dari tingkat penerbit dan eksekutif, maka masalahnya menjadi lebih besar.
Kekuasaan Keluarga
Selama beberapa dekade, The New York Times membanggakan diri dengan julukan The Gray Lady, yang melambangkan objektivitas dan netralitas. Namun, realitasnya tidak demikian. Dalam banyak peristiwa besar, The New York Times tidak hanya gagal bersikap objektif, tetapi juga menunjukkan sikap yang berpihak.
Faktanya, dalam berbagai peristiwa sejarah penting, The New York Times secara terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada pihak yang memiliki kekuasaan. Ini menyebabkan beberapa laporan mereka tampak lebih seperti strategi hubungan masyarakat (PR) untuk pemerintah dan pemimpin tertentu.
Pada tahun 2018, mantan karyawan NYT, Margaret Sullivan, menulis dalam artikelnya, Power Above All but Addicted to Power: Why The New York Times Keeps Getting into Trouble (Kekuasaan di Atas Segalanya, tetapi Kecanduan Kekuasaan: Mengapa The New York Times Terus Terjebak dalam Masalah), bahwa The New York Times memiliki jalur unik dalam kekuasaan dan menjadi kecanduan terhadapnya. Surat kabar ini sering menjadi corong bagi pejabat tinggi pemerintah dan dunia bisnis, terkadang bahkan menggunakan sumber anonim untuk menutupi hal tersebut.
Pada tahun 1930-an, The New York Times secara terang-terangan mendukung Hitler, menggambarkannya sebagai seseorang yang “didorong oleh patriotisme luhur dan tanpa pamrih”, serta dengan hati-hati mengecilkan laporan tentang penganiayaan Nazi terhadap orang-orang Yahudi sejak 1933. Dalam pemberitaan tentang kelaparan besar di Uni Soviet, The New York Times juga mendukung Stalin secara terang-terangan. Fidel Castro, diktator komunis Kuba, diperlakukan seperti bintang rock oleh The New York Times, bahkan dianggap sebagai pahlawan.
Sullivan menegaskan bahwa apa yang dilakukan The New York Times memiliki dampak besar, bukan hanya terhadap dunia media, tetapi juga ekosistem politik secara keseluruhan. Ketika surat kabar ini mempengaruhi opini publik, mereka dapat mengubah jalannya sejarah. Namun, ketika mereka melakukan kesalahan dalam pelaporan—baik dalam fakta maupun dalam penilaian—konsekuensinya bisa sangat besar.
Dalam sebuah pernyataan, Pusat Informasi Falun Dafa menegaskan bahwa fitnah The New York Times terhadap Shen Yun dan Falun Gong telah berdampak buruk. PKT menerjemahkan dan menyebarkan artikel NYT untuk menghasut kebencian dan kekerasan. Laporan semacam itu juga merugikan khalayak yang berpotensi menikmati seni Shen Yun serta orang-orang yang ingin mengenal Falun Gong untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Namun, institusi yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat ini tampaknya kurang memiliki mekanisme pengawasan yang efektif.
Tidak Ada Mekanisme Pengawasan
Para analis menyebutkan bahwa tidak seperti organisasi media besar lainnya, The New York Times dikendalikan oleh satu keluarga dan sekelompok orang tertentu yang tidak tunduk pada dewan direksi independen atau pendapat pemegang saham utama.
Meski The New York Times sering disebut sebagai pilar “kekuasaan keempat” (Fourth Estate) dalam sistem demokrasi, mereka justru tidak memiliki salah satu elemen paling mendasar dalam kehidupan publik Amerika: mekanisme check and balance (pengawasan dan keseimbangan).
Hal ini berkaitan dengan struktur saham ganda yang digunakan oleh The New York Times. Dalam skema ini, saham Kelas A yang tidak memiliki hak suara dijual ke publik, sementara saham Kelas B yang memiliki hak suara hanya dapat dimiliki oleh anggota keluarga pengendali perusahaan.
Mantan editor halaman opini NYT, James Bennet, mengungkapkan bahwa di masa lalu, kontrol keluarga Sulzberger (Arthur Ochs Sulzberger) atas surat kabar ini dianggap sebagai benteng independensinya. Namun, bagi penerbit saat ini, hal ini justru menjadi kelemahan.
Ashley Rindsberg, seorang editor senior yang telah lama meneliti The New York Times, mencatat bahwa dalam berbagai peristiwa sejarah seperti Holocaust, Perang Vietnam, pengembangan senjata nuklir pertama, Revolusi Kuba, kebangkitan Soviet, Perang Irak, dan isu rasial baru-baru ini, The New York Times tidak hanya sekadar keliru atau tidak akurat, tetapi sering kali sepenuhnya salah.
Menurut Rindsberg, The New York Times seolah-olah melaporkan dari dimensi realitas yang berbeda, dengan narasi sejarah yang sering kali bertolak belakang dengan apa yang kemudian diketahui oleh publik sebagai fakta yang sebenarnya.
“Pertanyaan mengerikan kembali muncul: Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini ?” tanyanya.
Corong Propaganda PKT
Sayangnya, dalam laporan tentang Tiongkok, khususnya mengenai Falun Gong, The New York Times secara sadar atau tidak kembali berperan sebagai corong propaganda Partai Komunis Tiongkok (PKT).
Sebelumnya, The Epoch Times melaporkan bahwa beberapa pakar telah mengonfirmasi bahwa dalam pemberitaannya tentang politik Tiongkok, The New York Times sering menganggap kebohongan PKT sebagai ketulusan, dan justru meremehkan atau mengabaikan isu-isu yang seharusnya diselidiki lebih dalam.
Pada Januari 2001, dalam kasus self-immolation (pembakaran diri) yang diklaim terjadi di Lapangan Tiananmen, The Washington Post mengirim wartawan untuk melakukan verifikasi fakta, sementara The New York Times langsung menerima narasi PKT sebagai kebenaran tanpa investigasi lebih lanjut.
Pada Agustus tahun yang sama, penerbit NYT saat itu, Arthur Sulzberger Jr., bersama beberapa editor dan wartawan, mendapatkan kesempatan bertemu dengan mantan pemimpin PKT, Jiang Zemin. Tidak lama setelah itu, NYT menerbitkan sebuah wawancara yang penuh dengan pujian terhadap Jiang, menjalin hubungan yang lebih erat dengan diktator tersebut.
Hingga tahun 2002, The New York Times telah sepenuhnya mengadopsi model pemberitaan pro-Jiang Zemin, meniru gaya propaganda PKT dengan mengklaim bahwa Falun Gong telah berhasil “diberantas”.
Setelah Jiang Zemin meninggal pada tahun 2022, The New York Times menerbitkan obituari yang sangat emosional, yang ditulis langsung oleh editor eksekutif mereka, Joseph Kahn. Ini adalah satu-satunya kali dia secara pribadi menulis obituari sejak menjabat sebagai editor tertinggi surat kabar tersebut.
Pada 20 Juli 1999, Jiang Zemin secara brutal melancarkan penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong. Selama 25 tahun terakhir, ribuan praktisi Falun Gong telah dipenjara di Tiongkok. Penganiayaan yang dilakukan oleh PKT terhadap mereka mencakup kerja paksa, penyiksaan, hingga pengambilan organ secara paksa. Kejahatan kemanusiaan ini seharusnya menjadi perhatian dunia internasional, tetapi The New York Times tidak menunjukkan minat untuk menyelidikinya.
Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Pusat Informasi Falun Dafa, The New York Times tidak pernah meliput peristiwa besar ini sebagai isu hak asasi manusia internasional. Pada awalnya, NYT hanya mengulang propaganda anti-Falun Gong dari PKT. Seiring dengan munculnya semakin banyak bukti penganiayaan, surat kabar ini justru memilih untuk mengabaikannya.
Bahkan ketika komunitas internasional mengakui adanya kejahatan besar berupa pengambilan organ secara paksa dari praktisi Falun Gong—sebuah kebijakan yang diduga disetujui langsung oleh Jiang Zemin—The New York Times tetap enggan mengangkat isu ini, atau bahkan cenderung menyangkalnya.
Pada tahun 2016, seorang jurnalis NYT, Didi Kirsten Tatlow, berusaha menyelidiki kejahatan pengambilan organ secara paksa di Tiongkok. Namun, fia menghadapi tekanan besar.
Dalam kesaksiannya di China Tribunal tahun 2019, Tatlow mengungkapkan: “Berdasarkan pengamatan saya, The New York Times, yang saat itu merupakan tempat saya bekerja, tidak menyukai upaya saya untuk terus melaporkan masalah ini. Meskipun pada awalnya mereka menoleransi investigasi saya, akhirnya mereka menghalangi saya untuk melanjutkan.”
Pada Agustus 2024, The New York Times menerbitkan laporan yang mengutip pandangan seorang “pakar terkemuka” yang tidak dapat diverifikasi untuk menyangkal tuduhan mengenai pengambilan organ secara paksa terhadap praktisi Falun Gong oleh PKT. Anehnya, mereka tidak mengutip pendapat satu pun lembaga internasional yang kredibel yang mendukung tuduhan tersebut.
Ironisnya, pada saat yang sama, The New York Times justru menerbitkan banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang dan Tibet.
Standar Ganda dan Kepentingan di Tiongkok
Trevor Loudon, seorang penulis The Epoch Times sekaligus pakar rezim komunis, menilai bahwa berdasarkan kepentingan The New York Times di Tiongkok, mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di Tibet atau Xinjiang adalah pilihan yang relatif “aman”.
“Ini adalah bentuk kemunafikan moral. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap hak asasi manusia, tetapi mereka tidak akan pernah berani melakukan hal yang sama terhadap Falun Gong, karena itu benar-benar akan membuat PKT marah,” katanya.
Selain itu, The New York Times juga secara aktif mendukung kebijakan “engagement” (keterlibatan) dengan Tiongkok, meskipun kebijakan ini justru telah menghancurkan industri manufaktur Amerika Serikat.
Ketika Komite Current Danger on China dibentuk pada tahun 2019 untuk mengekspos ancaman PKT terhadap dunia, The New York Times justru menulis laporan bertema Red Scare (Ketakutan Merah) yang bertujuan untuk mengecilkan ancaman nyata dari PKT.
Semua langkah yang diambil oleh NYT ini tampaknya sejalan dengan misi propaganda global PKT.
Ketidakmampuan Membedakan Fakta dan Opini
Dalam serangkaian laporan The New York Times tentang Shen Yun dan Falun Gong, batas antara berita dan opini tampaknya semakin kabur.
Sebagai contoh, surat kabar ini dengan cepat membuat tuduhan tentang “manipulasi”, “eksploitasi”, dan “kerja paksa”, tetapi mengabaikan fakta bahwa seni tari memang membutuhkan pelatihan ketat serta bahwa sekolah berasrama adalah hal yang umum dalam dunia pendidikan seni. Selain itu, mereka juga menggunakan gosip yang tidak berdasar serta transaksi keuangan yang tidak berkaitan dengan Shen Yun untuk membangun narasi bahwa ada keuntungan finansial tersembunyi, tanpa memberikan bukti konkret.
Profesor Fei Tian College, Zhang Tianliang, seorang komentator politik terkenal, menulis di platform X:
“The New York Times selalu ingin menjadi wasit, pengarah, dan perwakilan elit, bukan sekadar media. Mereka tidak peduli dengan fakta, melainkan hanya memilih informasi yang sesuai dengan narasi ideologis mereka. Sebagai analogi, meskipun Wang Zhaojun dikenal sebagai salah satu dari empat wanita tercantik dalam sejarah Tiongkok, dia memiliki bahu yang agak miring sehingga selalu mengenakan jubah. Dalam logika The New York Times, satu-satunya hal yang layak diberitakan adalah bahu miringnya, sementara kecantikannya yang luar biasa tidak dianggap penting.”
Semakin banyak orang yang mempertanyakan apakah The New York Times masih dapat membedakan antara opini dan berita. Selama bertahun-tahun, surat kabar ini tampaknya tidak lagi berpegang pada prinsip bahwa jurnalisme adalah “draft pertama sejarah”, melainkan berusaha untuk menetapkan versi final sejarah sesuai dengan kepentingannya.
Kasus Gaza: Contoh Pemberitaan Tidak Akurat
Sebagai contoh, pada Oktober 2023, ketika terjadi ledakan di rumah sakit Gaza, The New York Times dengan cepat mempercayai pernyataan pejabat Hamas bahwa Israel bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Padahal, setelah investigasi lebih lanjut, diketahui bahwa ledakan tersebut terjadi akibat kegagalan peluncuran roket oleh Hamas sendiri. Namun, The New York Times tidak segera melakukan koreksi hingga mereka mendapat gelombang kritik yang sangat besar.
Liputan Trump: Bias yang Berulang
Dalam beberapa tahun terakhir, The New York Times telah menerbitkan ribuan artikel yang menyudutkan Donald Trump, dengan narasi yang hampir seragam, menggambarkannya sebagai rasis.
Namun, mantan editor James Bennet berpendapat bahwa basis pendukung Trump yang luas dan beragam membuktikan bahwa tuduhan rasisme tidak cukup untuk menjelaskan fenomena politik Trump.
Pada tahun 2020, Dean Baquet, pemimpin redaksi The New York Times saat itu, mengakui bahwa media mereka telah salah membaca sentimen publik pada pemilu 2016. Mereka gagal memahami banyaknya rakyat Amerika yang mendukung Trump karena mereka tidak benar-benar turun ke lapangan untuk mendengarkan suara pemilih.
Mantan wartawan The New York Times, Bill Carter, juga mengkritik pendekatan editorial surat kabar ini. Dalam wawancara dengan CNN, dia menyatakan: “Terkadang laporan The New York Times tampaknya tidak selaras dengan realitas politik yang terus berubah di Amerika.“
James Bennet juga berpendapat bahwa The New York Times bisa belajar dari The Wall Street Journal, yang tetap menjaga profesionalisme jurnalisme dengan memisahkan secara ketat antara berita dan opini.
Censorship Internal dan Pemecatan Bennet
Pada Juni 2020, selama protes “Black Lives Matter”, The New York Times menerbitkan opini Senator Tom Cotton, yang menyerukan penggunaan kekuatan militer untuk menangani kerusuhan.
Saat itu, mayoritas warga Amerika mendukung gagasan ini, bahkan Wali Kota Washington D.C. meminta pengerahan Garda Nasional.
Namun, banyak jurnalis The New York Times menolak artikel Cotton, dan mengekspresikan ketidaksetujuan mereka di Twitter/X.
Akibatnya, di bawah tekanan internal dan eksternal, redaksi mengubah kata-kata dalam artikel Cotton:
- “Penggunaan kekuatan militer” diubah menjadi “tanggapan militer”.
- “Demonstran” diubah menjadi “kerusuhan sipil”.
Perubahan ini membingkai ulang opini Cotton seolah-olah dia menyerukan penindasan terhadap protes damai, padahal artikel aslinya tidak menyatakan demikian.
Sebagai konsekuensi dari kontroversi ini, James Bennet dipecat oleh penerbit The New York Times, A.G. Sulzberger.
Budaya Internal yang Tidak Toleran
Dalam serangkaian artikel The New York Times yang menyerang Shen Yun dan Falun Gong, terlihat jelas adanya ketidaktahuan terhadap budaya agama dan tradisi Amerika. Namun, hal ini tidak mengejutkan, karena atmosfer yang mendominasi ruang redaksi The New York Times telah lama dipengaruhi oleh budaya lain yang lebih ekstrem.
Pada tahun 2017, Bari Weiss, mantan editor opini di The New York Times, direkrut untuk menghadirkan keseimbangan dengan memberi ruang bagi suara konservatif dan moderat. Namun, selama tiga tahun bekerja di sana, ia menemukan bahwa bukan hanya sulit untuk menampilkan sudut pandang tersebut, tetapi bahkan dilarang.
Menurut Weiss: “Identitas adalah satu-satunya perspektif yang diakui. Segala hal, betapapun tidak relevannya, harus dikaitkan dengan ras dan gender.“
Dalam surat pengunduran dirinya, Weiss mengungkapkan bahwa ia mengalami perundungan dari rekan-rekan kerja yang berbeda pandangan.
Dia menulis: “Saya terus-menerus dihina secara terbuka karena pekerjaan dan karakter saya. Saya disebut Nazi, rasis, pembohong, dan fanatik. Beberapa kolega bahkan berpendapat bahwa saya harus disingkirkan, sementara yang lain menempelkan ikon kapak di samping nama saya. Tidak ada yang takut mendapat konsekuensi atas tindakan mereka.“
Yang lebih mengejutkan bagi Weiss adalah bahwa manajemen dan penerbitan The New York Times tidak melakukan apa pun untuk menghentikan hal ini.
Weiss juga menyatakan bahwa cara The New York Times memilih dan menyajikan berita bukan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat, melainkan untuk memenuhi ekspektasi pembaca progresif yang sempit. Alih-alih membiarkan publik menarik kesimpulan sendiri, fakta-fakta dibentuk agar sesuai dengan narasi yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Weiss, di The New York Times, sensor diri telah menjadi norma.
- Jika sebuah tulisan sesuai dengan ideologi progresif, maka tidak akan ada sensor.
- Jika sebuah tulisan netral atau tidak secara eksplisit mendukung agenda progresif, maka setiap kalimat harus diperiksa, dinegosiasikan, dan direvisi sebelum dapat diterbitkan.
Ia menggambarkan ketakutan yang melanda staf redaksi: “Semua orang hidup dalam ketakutan.“
Weiss juga menyindir betapa The New York Times semakin menjauh dari realitas masyarakat umum.
“Mereka seperti mencatat kehidupan dari galaksi yang jauh, yang sepenuhnya terputus dari pengalaman kebanyakan orang. Mereka bisa saja menulis tentang program luar angkasa Soviet yang ‘mengutamakan keberagaman’ atau menyamakan Amerika dengan Nazi Jerman karena memiliki sistem kasta terburuk dalam sejarah manusia,” katanya.
Namun, dia juga menegaskan bahwa sebenarnya mayoritas staf di The New York Times tidak memiliki pandangan ekstrem semacam itu, tetapi mereka takut untuk berbicara.
James Bennet, mantan editor opini NYT, mengatakan, liberalisme dulu menghargai kebebasan berbicara dan debat inklusif yang mencerminkan beragam pandangan masyarakat. Namun, menurutnya, kini prinsip itu telah digantikan oleh intoleransi baru terhadap opini yang berbeda, terutama terhadap hampir separuh pemilih Amerika yang konservatif.
Di internal The New York Times, suara progresif yang radikal semakin dominan dan tidak dapat ditentang.
Bennet menuturkan, bahwa ketika ia memberi tahu penerbit A.G. Sulzberger bahwa seorang kolumnis konservatif merasa NYT semakin ketat dalam menyensor pandangan konservatif, reaksi Sulzberger sangat mengejutkan.
“Dia kehilangan kesabaran dan berkata, ‘Beginilah kenyataannya: memang ada standar ganda, dan dia harus membiasakan diri dengannya,’” ujarnya.
Menurut Bennet, dalam satu dekade terakhir, para jurnalis NYT telah mengalami pergeseran mendasar dalam cara mereka melihat tugas jurnalistik.
- Mereka kini lebih tertarik pada hak kelompok daripada hak individu.
- Mereka percaya bahwa “objektivitas” hanyalah kedok bagi mereka yang berpihak pada penguasa.
Bennet menjelaskan lebih lanjut: “Mereka berpikir bahwa kebenaran objektif itu tidak ada. Yang ada hanyalah narasi. Oleh karena itu, siapa yang mengendalikan narasi—siapa yang menentukan versi cerita yang didengar publik—dialah yang memegang kendali. Dengan kata lain, yang penting bukanlah kebenaran atau ide itu sendiri, tetapi kekuasaan untuk menentukan kebenaran dan ide di mata publik.“
Kehilangan Kredibilitas
Survei terbaru Gallup menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Amerika terhadap media terus mencapai titik terendah dalam sejarah, dengan hanya 31% orang yang masih percaya pada media.
Sebagai perbandingan, pada era kepemimpinan Presiden John F. Kennedy, jurnalis dianggap sebagai pahlawan nasional, simbol keberanian dan moralitas, dan 85% rakyat Amerika mempercayai media.
Mantan editor opini The New York Times, James Bennet, menyoroti bahwa ketidakpercayaan publik terhadap NYT seharusnya tidak mengejutkan.
“Jika The New York Times menolak untuk memuat pandangan dari rakyat Amerika yang mendukung Trump, maka tidak mengherankan jika mereka juga tidak mempercayai surat kabar ini,” katanya.
Bennet juga menulis bahwa NYT tidak menyadari akar masalah dari menurunnya kepercayaan publik terhadap mereka: “Meskipun The New York Times terus bertanya-tanya mengapa semakin banyak rakyat Amerika tidak lagi mempercayai mereka, mereka justru gagal memahami alasan utama di balik hal ini: mereka sendiri telah kehilangan kepercayaan terhadap rakyat Amerika.”
Menurutnya, NYT kini semakin berubah menjadi media yang hanya berfungsi sebagai tempat elit progresif Amerika berbicara sendiri, membahas suatu versi Amerika yang sebenarnya tidak benar-benar ada.
Media Harus Kembali ke Prinsip Jurnalistik
Seorang pengguna media sosial mengomentari masalah ini dengan tajam: “Jurnalisme harus menemukan kembali prinsip dasarnya. Jika tidak, The New York Times hanya akan dikenal sebagai tempat di mana kata-kata dipelintir untuk kepentingan tertentu.”
Komentar lain menyoroti bahwa memiliki kecenderungan politik dan menjadi alat propaganda adalah dua hal yang berbeda.
“FOX News memiliki kecenderungan konservatif, tetapi mereka tetap melaporkan skandal di Partai Republik. Hal ini membuat mereka tetap dipercaya. Namun, jika suatu media berubah menjadi corong propaganda tanpa objektivitas, kepercayaan publik akan hilang sepenuhnya.”
Mengorbankan Kredibilitas untuk Kepentingan PKT
Terkait serangan bertubi-tubi NYT terhadap Shen Yun dan Falun Gong, The Epoch Times pernah menulis dalam editorial khususnya tahun lalu:
“Sebagai surat kabar dengan sejarah lebih dari seratus tahun, The New York Times pernah menjadi simbol kredibilitas. Namun, kini mereka menggunakan kredibilitas itu untuk mendukung rezim komunis yang kejam, yang bukan hanya tidak bermoral, tetapi juga tidak akan mencapai tujuan yang mereka inginkan.”
Menurut editorial tersebut, NYT tidak hanya merusak moralitas jurnalisme, tetapi juga merusak kredibilitas mereka sendiri.
“Kredibilitas adalah nyawa dari sebuah media. Jika tidak ada yang lagi percaya pada The New York Times, maka surat kabar ini kehilangan alasan keberadaannya. Hal ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi para eksekutif dan penerbit NYT.”
Kesimpulan: NYT di Ambang Kehancuran Kredibilitas
- Kepercayaan publik terhadap NYT telah merosot tajam, sejalan dengan tren penurunan kepercayaan terhadap media secara umum.
- NYT lebih peduli dengan menyenangkan audiens progresif daripada memberikan berita yang akurat dan berimbang.
- NYT lebih tertarik membentuk opini publik berdasarkan narasi yang sudah mereka tetapkan, daripada melaporkan fakta secara objektif.
- Serangan mereka terhadap Shen Yun dan Falun Gong mencerminkan agenda yang sejalan dengan kepentingan PKT, bukan prinsip jurnalisme yang murni.
Jika The New York Timestidak mengoreksi jalurnya, mereka akan terus kehilangan kredibilitas dan pada akhirnya, kehilangan keberadaannya sebagai media yang memiliki pengaruh di dunia. (jhn/yn)