TRUMP GEMPUR GAZA: Rencana Ambisius Ambil Alih Gaza dan Ultimatum Keras ke Hamas!


EtIndonesia. Dalam sebuah pertemuan yang penuh ketegangan di Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bertemu dengan Raja Abdullah dari Yordania untuk membahas krisis yang terus berlangsung di Gaza. Pertemuan yang berlangsung pada tanggal 11 Februari itu menghasilkan sejumlah pernyataan kontroversial dan langkah strategis yang dapat mengubah peta geopolitik kawasan Timur Tengah.

Rencana Besar Trump di Gaza

Trump mengajukan rencana pembersihan Gaza yang mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih wilayah tersebut. 

Dalam pernyataannya, Trump menegaskan: “Amerika Serikat berhak mengambil alih Gaza. Kami akan menguasainya, memastikan perdamaian, dan menghindari segala masalah. Gaza, yang telah lama menderita akibat perang, akan kami ambil alih, pertahankan, dan rawat, sehingga pada akhirnya dapat berfungsi kembali dan menciptakan banyak lapangan kerja bagi rakyat Timur Tengah. Saya percaya Gaza bisa menjadi sebuah permata.”

Selain itu, pada awal Februari, Trump menambahkan bahwa warga Palestina di Gaza akan diberikan kesempatan untuk hidup bahagia, aman, dan bebas. Pemerintah AS berencana bekerja sama dengan tim pengembang unggulan dunia untuk memulai pembangunan kembali wilayah tersebut secara perlahan, tanpa perlu kehadiran pasukan AS secara langsung.

Dukungan dan Penolakan dari Pihak Internasional

Dalam pertemuan tersebut, Raja Abdullah mengumumkan bahwa Yordania akan menerima 2.000 anak Palestina, sebagai bentuk bantuan kemanusiaan. Meskipun demikian, pendekatan Trump mendapat tanggapan beragam.

Raja Abdullah menyatakan: “Kita harus menunggu untuk melihat sikap Mesir terhadap rencana Gaza. Saya sungguh percaya bahwa meskipun Timur Tengah menghadapi banyak tantangan, akhirnya saya melihat sosok yang mampu memimpin kita menuju penyelesaian, membawa stabilitas, perdamaian, dan kemakmuran bagi seluruh kawasan ini.”

Trump sendiri menekankan bahwa kesepakatan dapat dicapai dengan Yordania maupun Mesir, meskipun Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sisi, telah menunda rencana kunjungannya ke Amerika Serikat. Di sisi lain, reaksi keras muncul dari kalangan dunia Arab yang menolak rencana yang dianggap berpotensi mengusir rakyat Gaza.

Eskalasi Tuntutan terhadap Hamas dan Respons Israel

Pada tanggal 10 Februari, Trump mengeluarkan ultimatum kepada Hamas dengan syarat bahwa seluruh sandera Israel harus dibebaskan sebelum pukul 12 siang tanggal 15 Februari 2025. 

Trump menyatakan: “Neraka akan datang. Hamas akan mengerti maksud saya. Mereka mencoba tampil sebagai sosok keras, namun mari kita lihat siapa yang benar-benar kuat. Tentu saja, keputusan akhir ada di tangan Israel; Israel berhak membatalkan keputusan saya.”

Pernyataan tersebut segera ditanggapi oleh Hamas melalui sebuah pernyataan resmi yang menyebut rencana tersebut sebagai upaya pengusiran rakyat Gaza. Hamas menolak keras klaim Trump dan menegaskan bahwa tanggung jawab atas situasi kompleks di wilayah tersebut harus dipikul oleh pihak pendudukan.

Tak lama setelahnya, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, melalui media sosial, menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan Trump. 

Netanyahu mengumumkan bahwa perjanjian gencatan senjata dengan Hamas telah dihentikan secara resmi dan menambahkan: “Jika Hamas tidak melepaskan semua sandera sebelum pukul 12 siang tanggal 15, gencatan senjata akan berakhir, dan pasukan akan kembali melancarkan pertempuran sengit hingga Hamas benar-benar dihancurkan. Amerika Serikat juga akan terlibat, mempersiapkan diri untuk eskalasi di wilayah tersebut.”

Menurut laporan media, militer Israel telah membatalkan cuti bagi seluruh prajurit pasukan Gaza dan meningkatkan jumlah personel di wilayah tersebut. Menteri Keuangan Israel bahkan mengancam bahwa jika tuntutan tidak dipenuhi, pasokan listrik, air, bahan bakar, dan bantuan lainnya akan dihentikan, menyisakan hanya “api dan peluru”. Menteri Luar Negeri Israel, Saar, juga menyampaikan kepada duta besar Uni Eropa bahwa negara tersebut telah bersiap menghadapi kemungkinan serangan balik dari Hamas.

Langkah-Langkah Teknologi dan Isyarat Regional

Informasi dari internal Hamas mengungkapkan bahwa pihak Israel telah memasang perangkat pengenalan suara di berbagai lokasi strategis di Jalur Gaza. Pejabat tinggi Hamas diperintahkan untuk memutuskan komunikasi ponsel dan mencari tempat persembunyian, sehingga menimbulkan cuitan di media sosial seperti: “Apakah Operasi Pencarian Pager 2 akan segera dimulai?”

Sementara itu, pemimpin kelompok Houthi secara tiba-tiba menyatakan kesiapan mereka untuk meningkatkan aksi jika musuh Israel kembali menyerang Gaza. Pernyataan tersebut mendapat respons sinis dari sebagian netizen yang menyindir bahwa Houthi “akan dikirim kembali ke zaman prasejarah” oleh Israel.

Sorotan pada Iran dan Dinamika Suriah

Dalam konteks yang lebih luas, Trump juga menyoroti ancaman nuklir Iran. 

Dalam wawancara dengan Fox, Trump menegaskan: “Ada dua cara untuk menghentikannya: dengan bom atau melalui sebuah kesepakatan tertulis. Saya percaya bahwa Iran sekarang sangat khawatir dan takut, serta sangat ingin mencapai kesepakatan, karena pertahanan mereka pada dasarnya sudah lemah. Saya pun lebih memilih mencapai kesepakatan daripada membombardir mereka.”

Pihak Iran membalas pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa negosiasi dengan Amerika Serikat tidak akan menyelesaikan masalah dan telah mengajukan protes resmi kepada Dewan Keamanan PBB. Beberapa pengamat bahkan menyindir bahwa jika Iran tidak mematuhi ketentuan, mereka akan “dikirim kembali ke zaman prasejarah”.

Di Suriah, Menteri Pertahanan Pemerintahan Transisi, Kasla, menyatakan bahwa Rusia mungkin akan diizinkan mempertahankan dua basis militernya—satu untuk angkatan udara dan satu untuk angkatan laut—dengan syarat Rusia memberikan konsesi yang diinginkan oleh Suriah. 

Kasla mengungkapkan: “Ketika Assad memutuskan untuk pergi ke Rusia, pasti dia tidak menyangka bahwa kita dapat mencapai kesepakatan dengan Rusia. Pada akhir bulan lalu, Suriah telah menyampaikan keinginan untuk meminta pertanggungjawabkan Assad. Walaupun Rusia pernah mendukung Assad sepenuhnya, dalam politik tidak ada musuh yang abadi.”

Pertanyaan pun pun muncul di kalangan pemirsa, apakah Presiden Putin akan menyerahkan Assad, sebuah isu yang menimbulkan perdebatan hangat di ruang komentar.

Dinamika Regional dan Peran Korea Utara

Selain konflik di Timur Tengah dan Suriah, dinamika geopolitik semakin kompleks dengan keterlibatan negara lain. Pada tanggal 11 Februari, Korea Utara dilaporkan kembali mengirimkan gelombang kedua pasukan ke medan perang Rusia. Menurut laporan Kementerian Pertahanan Korea Selatan, sejak tahun lalu Korea Utara telah mengirimkan sekitar 200 meriam artileri jarak jauh ke Rusia dan akan terus meningkatkan dukungannya.

Komentator politik Tang Jingyuan menilai, di tengah posisi buntu Putin di medan perang dan melemahnya kekuatan nasional, dukungan dari sekutu seperti Korea Utara dan Iran menjadi sangat vital. 

Tang menambahkan bahwa jika Putin menyerahkan Assad pada tahap ini, hal tersebut akan merusak reputasinya di mata sekutu, menimbulkan persepsi bahwa mereka juga dapat “dijual” sewaktu-waktu.

Tensi Ekonomi antara India dan Tiongkok

Di luar kawasan Timur Tengah, situasi ekonomi juga mengalami gesekan. Penasihat Ekonomi Utama Pemerintah India, Dr. V. Anantha Nageswaran, mengungkapkan bahwa India tidak akan segera mencabut pembatasan investasi terhadap Tiongkok. Menurutnya, keputusan tersebut memerlukan pemahaman dan timbal balik yang matang antara kedua pihak. Dialog telah dimulai untuk membahas masalah defisit perdagangan yang semakin melebar, meskipun analis mencatat bahwa sejak konflik perbatasan terakhir, India telah secara aktif membatasi investasi Tiongkok. Profesor Xie Tian dari University of South Carolina menyoroti bahwa dengan kemungkinan Trump menerapkan tarif global, hubungan ekonomi antara kedua negara diperkirakan tidak akan menunjukkan perbaikan signifikan dalam waktu dekat.

Kesimpulan

Dinamika geopolitik yang terjadi di Timur Tengah, Suriah, serta ketegangan ekonomi antara India dan Tiongkok, menggambarkan betapa kompleks dan rapuhnya situasi global saat ini. Dengan pernyataan tegas dari berbagai pemimpin dunia, langkah-langkah strategis yang diambil menunjukkan bahwa konflik dan negosiasi di berbagai belahan dunia masih jauh dari kata selesai. Para pengamat internasional terus memantau setiap perkembangan, berharap solusi yang membawa stabilitas dan perdamaian dapat segera tercapai.

FOKUS DUNIA

NEWS