EtIndonesia. Pada tanggal 24 Februari 2025, bertepatan dengan peringatan tiga tahun dimulainya perang Rusia-Ukraina, sebuah insiden mengejutkan terjadi di Marseille, Perancis. Konsulat umum Rusia di kota tersebut menjadi sasaran serangan dengan ledakan yang mengguncang bangunan.
Konsul Jenderal Oranski mengonfirmasi bahwa ledakan terjadi di dalam gedung konsulat, meskipun tidak ada korban jiwa. Untuk mengantisipasi kemungkinan ancaman lanjutan, konsulat untuk sementara ditutup dan petugas keamanan ditempatkan di sekitarnya. Menurut laporan media asing, dua bom pembakar dilemparkan ke taman konsulat, dan petugas penegak hukum sempat menemukan sebuah kendaraan yang diduga dicuri di dekat lokasi kejadian.
Diplomasi Global: Macron dan Trump Bahas Upaya Damai di Tengah Konflik Rusia-Ukraina
Dalam upaya mencari solusi untuk konflik yang telah berlangsung lama antara Rusia dan Ukraina, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengadakan pertemuan penting di Gedung Putih bersama Presiden AS, Donald Trump. Dalam diskusi yang berlangsung intens, Macron mengungkapkan bahwa telah tercatat sekitar 1 juta warga Ukraina tewas akibat konflik ini. Dia menekankan bahwa setiap perjanjian damai harus menjamin keamanan Ukraina tanpa mengorbankan kedaulatan, sekaligus memastikan bahwa Rusia tidak akan kembali mengulangi tindakan agresif yang pernah terjadi. Macron juga mengungkapkan bahwa Prancis telah berdiskusi dengan Inggris mengenai penempatan pasukan perdamaian di wilayah Ukraina, dan negara-negara lain dinyatakan siap bergabung dalam inisiatif tersebut.
Di konferensi pers, Trump menyatakan dukungan terhadap gagasan bahwa biaya dan beban pemeliharaan perdamaian hendaknya ditanggung oleh negara-negara Eropa, bukan semata-mata AS. Dia juga menegaskan keterbukaan terhadap kehadiran pasukan perdamaian Eropa di Ukraina dan menyebut rencana tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, pada hari Kamis mendatang. Selain itu, Trump mengungkapkan bahwa dia telah berdiskusi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin mengenai rencana tersebut, yang menurut Putin, akan diterima sebagai bagian dari kesepakatan untuk mengakhiri perang. Rencana pertemuan dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, juga diperkirakan akan segera terlaksana dalam minggu ini atau minggu depan.
Ketegangan di Timur Tengah: Penukaran Sandera, Upacara Penghinaan, dan Operasi Militer
Di tengah ketegangan yang semakin meningkat, proses pertukaran sandera antara Israel dan Hamas kembali mencuri perhatian. Sejak gencatan senjata di Koridor Gaza pada 19 Januari 2025, kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pertukaran sandera pada tanggal 22 Februari 2025. Namun, Hamas melakukan upacara yang dianggap sebagai penghinaan dengan merencanakan pelepasan 25 tahanan Israel yang masih hidup. Tindakan tersebut membuat Israel marah dan memicu pernyataan tegas dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menyatakan bahwa pertukaran lebih dari 600 tahanan Palestina kini ditunda. Dalam konteks ini, Menteri Luar Negeri AS, Rubio, juga mengeluarkan peringatan bahwa jika Hamas tidak melepaskan semua sandera Israel, maka kelompok tersebut akan dihancurkan.
Di sisi lain, Hamas sempat memamerkan kekuatan dengan menghadirkan ratusan pejuang bersenjata ke atas panggung, memaksa sandera untuk memegang sertifikat pembebasan, dan bahkan menggunakan mikrofon untuk menuding Netanyahu sebagai penyebab konflik yang ada. Setelah enam sandera Israel berhasil dilepaskan, situasi semakin memanas dengan penundaan pelepasan tahanan Palestina dan pernyataan Netanyahu yang menegaskan kesiapan Israel untuk melanjutkan operasi militer di wilayah tersebut.
Operasi Militer dan Perombakan Birokrasi di Israel dan AS
Ketegangan di kawasan semakin meningkat ketika militer Israel melakukan langkah signifikan dengan mengirimkan tank ke wilayah Tepi Barat – sebuah operasi yang pertama kali dilakukan dalam 23 tahun terakhir. Operasi yang dinamakan “Operasi Tembok Besi” ini bertujuan untuk memperkuat kontrol militer atas wilayah tersebut sekaligus mencegah kepulangan puluhan ribu warga Palestina yang sebelumnya telah dievakuasi. Menteri Pertahanan Israel, Katz, menyatakan bahwa pasukan juga akan dikerahkan ke kamp-kamp pengungsi di beberapa wilayah seperti Zhening, Tulerkalm, dan Nursams guna memerangi ekstremisme dan upaya perlawanan bersenjata yang ada. Menurut laporan CNN, langkah militer ini didukung oleh Gedung Putih, terutama sebagai respons terhadap upacara penghinaan yang dilakukan Hamas dalam proses penukaran sandera.
Sementara itu, di Amerika Serikat, terjadi dinamika internal dalam upaya reformasi birokrasi. Pemerintahan Trump mengumumkan bahwa seluruh staf di United States Agency for International Development (USAID), kecuali beberapa personel kunci, diminta cuti. Langkah ini diperkirakan akan mempengaruhi sekitar 2000 karyawan dari USAID. Di samping itu, Departemen Pertahanan AS juga merencanakan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 5400 pegawai dalam upaya untuk mengurangi pemborosan dan birokrasi yang dianggap tidak efisien. Trump juga meminta Elon Musk untuk mempercepat upaya pengurangan birokrasi ini, dengan peringatan keras kepada pegawai yang tidak segera kembali bekerja. Di balik langkah-langkah tersebut, kritik dari anggota parlemen, termasuk yang berasal dari South Carolina, menyuarakan pertanyaan tentang besaran gaji yang diterima oleh pegawai pemerintah dengan dana pajak rakyat.
Di tengah dinamika tersebut, keputusan pengurangan birokrasi di sektor federal menjadi topik hangat, terutama setelah Hakim Federal dari distrik Maryland mengeluarkan perintah pembatasan terkait akses catatan Departemen Pendidikan dan data pegawai federal. Pemerintah Trump menganggap keputusan ini sebagai hambatan bagi reformasi yang tengah dijalankan.
Kesimpulan
Dalam satu hari yang penuh dinamika, mulai dari serangan di konsulat Rusia di Marseille, pertemuan diplomatik tingkat tinggi untuk mencari solusi damai di konflik Rusia-Ukraina, hingga ketegangan yang terus meningkat di Timur Tengah dan upaya reformasi birokrasi di Amerika Serikat, dunia kembali menyaksikan betapa kompleksnya tatanan geopolitik saat ini. Setiap peristiwa tidak hanya menggambarkan perubahan cepat dalam lanskap politik global, namun juga menandakan bahwa upaya menjaga stabilitas dan keamanan dunia harus melibatkan sinergi antara berbagai negara dan pemimpin dunia.