Koneksi lama lebih dari sekadar nostalgia—mereka mengurangi depresi dan meningkatkan rasa memiliki
Mari Otsu
Kehilangan kontak dengan teman lama adalah pengalaman yang universal. Ulang tahun, kunjungan ke rumah masa kecil, atau bertemu seseorang yang terlihat familiar bisa membangkitkan kenangan akan hubungan masa lalu. Momen-momen ini sering kali menimbulkan pertanyaan: Haruskah saya menghubungi mereka? Apakah akan terasa canggung? Apakah mereka masih mengingat saya?
Studi menunjukkan bahwa keraguan untuk menghubungi kembali teman lama sering kali tidak beralasan, karena kebanyakan orang sebenarnya lebih menyambut hubungan kembali daripada yang kita perkirakan.
Penelitian mengungkapkan bahwa menghidupkan kembali hubungan lama bukan hanya sekadar tindakan sentimental—tetapi juga cara untuk memperdalam makna hidup dan meningkatkan rasa memiliki, identitas, serta kesejahteraan. Namun, meskipun manfaatnya telah banyak didokumentasikan, orang sering kali merasa enggan untuk menghubungi teman lama, sama seperti mereka ragu untuk berbicara dengan orang asing.
Persahabatan Menjaga Kesehatan Kita
Cinta telah tertanam dalam definisi persahabatan itu sendiri, karena kata “teman” berasal dari akar Proto-Indo-Eropa priy, yang berarti “mencintai” atau “tercinta” (seperti dalam bahasa Sanskerta priya, yang berarti “sayang”).
Cicero dalam karyanya De Amicitia (Tentang Persahabatan) menyatakan bahwa persahabatan sejati hanya ada di antara orang-orang baik, didasarkan pada kebajikan dan karakter, berlangsung melampaui kematian, meningkatkan kebahagiaan, dan membantu menanggung kesedihan. “Persahabatan tidak lain adalah keselarasan dalam segala hal, baik manusiawi maupun ilahi, yang dipadukan dengan niat baik dan kasih sayang timbal balik,” tulis Cicero.
Ia melihat persahabatan sebagai bagian penting dalam filosofi kebahagiaan dan perkembangan manusia.
Memang, penelitian selama beberapa dekade terakhir menunjukkan hubungan positif antara persahabatan dengan kesehatan mental dan fisik, membuktikan wawasan dari para filsuf dan guru spiritual. Hubungan sosial yang bermakna merupakan sumber utama kesejahteraan dan kebahagiaan.
Menurut meta-analisis yang melibatkan hampir 309.000 orang, mereka yang memiliki hubungan sosial yang kuat 1,5 kali lebih mungkin untuk bertahan hidup dibandingkan mereka yang memiliki hubungan sosial yang lemah atau tidak mencukupi. Dengan kata lain, kualitas hubungan sosial dapat memprediksi angka harapan hidup, sama seperti konsumsi alkohol dan merokok, serta bahkan lebih berpengaruh dibandingkan faktor risiko seperti obesitas dan kurangnya aktivitas fisik.
Persahabatan sejak kecil juga berperan penting. Sebuah studi longitudinal terhadap 1.103 remaja di Prancis menemukan bahwa mereka yang tidak memiliki teman dekat di masa kecil lebih dari dua kali lebih mungkin mengalami tingkat depresi, kecemasan, dan keluhan psikosomatis yang tinggi, seperti nyeri kronis, sakit kepala, dan kelelahan.
Mengapa Kita Ragu untuk Terhubung Kembali?
Meskipun manfaat koneksi sosial sudah jelas dan luas, banyak orang masih ragu untuk menghubungi teman lama. Ini mengejutkan, mengingat kebijaksanaan umum yang menyatakan bahwa lebih mudah menjaga teh tetap hangat daripada harus merebusnya kembali—menghidupkan kembali persahabatan lama biasanya membutuhkan lebih sedikit usaha dibandingkan dengan membangun pertemanan baru, yang diperkirakan membutuhkan sekitar 200 jam interaksi.
Pada tahun 2024, para peneliti Lara Aknin dan Gillian Sandstrom melakukan tujuh studi yang diterbitkan dalam Nature Communications Psychology. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen orang telah kehilangan kontak dengan seorang teman yang pernah mereka pedulikan. Namun, ketika peserta diberi kesempatan untuk menulis pesan dan menghubungi kembali teman mereka, kurang dari sepertiga yang benar-benar mengirim pesan tersebut. Padahal, berbagai upaya telah dilakukan untuk meyakinkan mereka bahwa pesan mereka akan diterima dengan baik.
Rangkaian studi ini terinspirasi dari pengalaman pribadi. Aknin, seorang profesor di Simon Fraser University dengan gelar doktor di bidang psikologi, menceritakan kepada The Epoch Times bahwa ia pernah kehilangan kontak dengan Sandstrom, teman semasa kuliah pascasarjana sekaligus rekan penelitiannya.
Meskipun merindukan temannya, Aknin merasa ragu untuk menghubungi dan menunggu sampai tahun baru sebagai alasan untuk mengirim pesan. Sandstrom segera merespons, dan keduanya memutuskan untuk mengerjakan proyek bersama, yang terinspirasi dari pengalaman Aknin dalam menghadapi keraguan.
Dalam eksperimen mereka, para peserta menyebutkan kekhawatiran akan potensi kecanggungan dan ketakutan bahwa teman mereka mungkin tidak ingin mendengar kabar dari mereka—meskipun mereka sendiri ingin menjalin kembali hubungan. Dengan kata lain, keraguan untuk kembali terhubung lebih berkaitan dengan menjadi pihak yang menginisiasi kontak, bukan karena tidak ingin berhubungan lagi. Dalam salah satu studi, peserta melaporkan bahwa mereka tidak lebih cenderung menghubungi teman lama dibandingkan dengan berbicara dengan orang asing atau memungut sampah.
Aknin, yang juga direktur Helping and Happiness Lab, menggambarkan keraguan untuk menghubungi teman lama sebagai “kesalahan prediksi yang sangat disayangkan, yang terus mendorong kita untuk tetap menyendiri, padahal sebenarnya kita akan merasa jauh lebih bahagia dan lebih terhubung jika kita berani menghubungi mereka.”
Penelitian menunjukkan bahwa orang cenderung melebih-lebihkan ketidaknyamanan dalam menghubungi teman lama, sementara pada saat yang sama meremehkan efek positif dan penghargaan yang akan mereka terima dari tindakan tersebut.
Kesalahan persepsi sosial ini tidak hanya terjadi sebelum interaksi berlangsung, tetapi juga mempengaruhi evaluasi setelah percakapan terjadi. Para peneliti dari Cornell, Harvard, dan Yale menemukan bahwa setelah berbicara, orang secara sistematis meremehkan sejauh mana lawan bicara mereka menyukai mereka dan menikmati kebersamaan mereka. Fenomena ini disebut sebagai “liking gap” atau kesenjangan dalam persepsi penerimaan sosial.
Menghidupkan Kembali Persahabatan
Pada tahap awal pandemi COVID-19, ketika perintah tinggal di rumah diberlakukan secara ketat di sebagian besar wilayah Amerika Serikat, banyak orang menggunakan ponsel mereka untuk kembali terhubung dengan teman lama. Alasan mereka untuk menjalin kembali hubungan bervariasi, mulai dari sekadar mengecek kabar setelah lama tidak berkomunikasi hingga ingin mengenang kenangan indah bersama. Para peneliti menyebut fenomena ini sebagai “The Great Reconnection” (Rekoneksi Besar-besaran) dan menemukan bahwa mereka yang berbagi pemikiran pribadi dan intim saat berhubungan kembali melaporkan tingkat depresi dan kesepian yang lebih rendah.
Untuk mendorong orang agar lebih berani menghubungi teman lama, dalam eksperimen mereka, Aknin dan Sandstrom membagi peserta menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diminta mengirim pesan kepada teman dan kenalan saat ini selama tiga menit (rata-rata, setiap orang menghubungi tiga kontak), sedangkan kelompok kontrol diminta untuk menelusuri media sosial selama durasi yang sama (rata-rata, mereka melihat enam atau tujuh akun). Setelah itu, semua peserta didorong untuk mengirim pesan kepada teman lama mereka, dengan keyakinan bahwa tindakan sederhana ini akan membawa manfaat kebahagiaan bagi diri mereka sendiri maupun teman mereka.
Hasilnya, 53 persen peserta dalam kelompok pertama menghubungi teman lama mereka, sementara hanya 31 persen dari kelompok kontrol yang melakukannya.
“Saya menyarankan agar [orang-orang] benar-benar mencoba intervensi perilaku ini. Mulailah dengan mengirim beberapa pesan kepada orang-orang yang baru saja berkomunikasi dengan mereka, lalu ambil langkah besar itu. Jangan terlalu dipikirkan—langsung lakukan saja,” kata Aknin kepada The Epoch Times.
Pete Bombaci, pendiri dan CEO GenWell, sebuah gerakan yang berfokus pada membangun koneksi manusia, berbagi kisah menyentuh tentang momen rekoneksi dalam sebuah lokakarya yang diadakan untuk Kamar Dagang:
“Dalam lokakarya ini, seorang wanita menghubungi saudara perempuan mantan suaminya, yang sebelum perceraiannya adalah sahabatnya. Mereka tidak berbicara selama, jika saya tidak salah, 13 tahun. Kami menyelesaikan lokakarya selama 90 menit, dan di akhir sesi, saya bertanya apakah ada yang sudah mendapat balasan dari orang yang mereka hubungi. Dia mengangkat tangannya dan berkata bahwa temannya langsung merespons, dan mereka telah merencanakan untuk bertemu dan minum kopi minggu depan.”
Aknin menambahkan, “Banyak orang memberi tahu kami bahwa ada perasaan antara risiko dan kegembiraan saat menghubungi teman lama, terutama karena mereka merepresentasikan periode yang terkunci dalam waktu.”
Hasil penelitian ini tercermin dalam kisah nyata rekoneksi, termasuk yang dibagikan oleh seorang wanita muda dari Georgia.
Merangkul Perubahan dan Menghidupkan Kembali Ikatan Lama
Kamryn Tucker, asisten mahasiswa di Veritas Academy di Savannah, baru-baru ini mengalami campuran perasaan canggung dan kepuasan saat ia menghubungi kembali teman-teman yang pernah bermain voli bersamanya di masa remaja, setelah tidak berkomunikasi selama empat tahun.
Pada hari pertemuan kembali, Tucker awalnya merasa tidak nyaman dengan perubahan dirinya, bahkan sempat kebingungan menentukan pakaian yang akan dikenakan. Di masa sekolah menengah, ia berpakaian seperti tomboy, tetapi sejak saat itu, gayanya telah berubah menjadi lebih feminin.
Namun, begitu mereka berkumpul kembali, semua keraguan Tucker menghilang.
“Kami sudah melihat sisi terdalam satu sama lain, seperti layaknya saudara. Meskipun sudah lama tidak bertemu, rasanya seperti bertemu keluarga yang sudah lama tidak kami jumpai,” ujarnya kepada The Epoch Times.
Jika persahabatan yang terbentuk di usia dewasa sering kali dipengaruhi oleh peran sosial, persahabatan masa kecil lahir dari kegembiraan murni dalam berbagi pengalaman. Persahabatan ini mengingatkan kita pada masa ketika hubungan terjalin dengan spontan, tanpa beban kesadaran diri atau ambisi duniawi.
“Terkadang keluarga adalah orang yang paling memahami kita, tetapi juga yang paling tidak mengenal kita. Dalam momen rekoneksi itu, saya merasa sangat berbeda, dan itu membuat saya canggung. Tetapi saya juga menyadari bahwa mereka juga berubah, dan pada akhirnya, kami tetap bisa berkumpul kembali,” kata Tucker.