Lima Tahun Setelah Letusan COVID-19, Ekonomi Dunia Masih Tersengal-sengal


EtIndonesia.
Sebagai pandemi terburuk sejak Perang Dunia II, COVID-19 pada 30 Januari 2020 dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai “Darurat Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Internasional” (PHEIC). Kini, lima tahun telah berlalu, namun dampak negatif dan efek lanjutan COVID-19 masih terasa dalam perekonomian global.

Menurut laporan Reuters, pandemi COVID-19 dan langkah-langkah pencegahannya memicu lonjakan utang pemerintah di seluruh dunia, memecahkan rekor tertinggi, sekaligus mengguncang pasar tenaga kerja dan mengubah perilaku konsumen di berbagai negara. Ketimpangan global semakin parah, meskipun perubahan seperti kerja jarak jauh, pembayaran digital, dan pola perjalanan baru tetap bertahan.

Utang, Inflasi, dan Suku Bunga

Setelah banyak negara berutang untuk melindungi kesejahteraan dan mata pencaharian warganya, utang pemerintah global meningkat sebesar 12 poin persentase sejak 2020. Peningkatan utang di pasar negara berkembang bahkan lebih besar lagi.

Pandemi COVID-19 memicu tingkat inflasi yang tinggi, menjadikannya salah satu isu utama dalam pemilu Amerika Serikat 2024. Inflasi mencapai puncaknya di banyak negara pada tahun 2022, dipicu oleh lonjakan konsumsi setelah pembatasan dicabut, program stimulus pemerintah, serta kekurangan tenaga kerja dan bahan baku.

Akibat ekonomi yang stagnan, banyak pemerintah terpaksa menambah utang untuk menutupi defisit anggaran, sehingga peringkat kredit kedaulatan beberapa negara menurun, mencerminkan kemampuan membayar utang yang melemah.

Data dari Fitch Ratings menunjukkan bahwa peringkat kredit kedaulatan rata-rata dunia masih 25% lebih rendah dibandingkan saat pandemi dimulai. Hal ini mencerminkan bahwa pandemi, inflasi, dan kondisi pembiayaan yang lebih ketat telah memperparah krisis keuangan di banyak negara. Peringkat kredit yang lebih rendah umumnya berarti biaya pinjaman di pasar modal internasional menjadi lebih tinggi.

Pasar Tenaga Kerja dan Perjalanan Internasional

Menurut Bank Dunia, pandemi COVID-19 menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaan, dengan keluarga miskin dan perempuan menjadi kelompok yang paling terpukul.

Seiring dengan pelonggaran pembatasan, pasar tenaga kerja mulai pulih. Namun, pertumbuhan pesat di sektor pengiriman ritel menggeser banyak peluang kerja ke sektor perhotelan dan logistik.

Pada tahun 2020, tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan menurun tajam, terutama karena sektor-sektor yang paling terdampak, seperti akomodasi, layanan makanan, dan manufaktur, didominasi oleh pekerja perempuan. Selain itu, beban mengurus anak-anak yang harus belajar di rumah turut memperparah kondisi ini. Meski demikian, data menunjukkan bahwa kesenjangan pekerjaan berbasis gender sedikit menyempit setelahnya.

Kebiasaan perjalanan dan rekreasi masyarakat juga berubah. Meskipun frekuensi bepergian dan makan di luar telah kembali seperti tahun 2019, meningkatnya pekerjaan dari rumah mengurangi aktivitas komuter di kota-kota besar seperti London. Di sana, jumlah penumpang harian kereta bawah tanah dan bus sekitar 1 juta lebih sedikit dibandingkan sebelum pandemi.

Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) menyebutkan bahwa industri penerbangan adalah salah satu sektor yang paling terdampak oleh COVID-19, dengan kerugian global mencapai 175 miliar dolar AS pada tahun 2020.

Vaksinasi COVID-19 yang masif akhirnya memungkinkan negara-negara di dunia untuk mencabut pembatasan perjalanan, sehingga orang-orang bisa kembali menggunakan pesawat terbang. IATA memperkirakan bahwa pada tahun 2025, laba bersih industri penerbangan global akan mencapai 36,6 miliar dolar AS, dengan jumlah penumpang mencapai rekor 5,2 miliar orang.

Namun, para wisatawan masih harus menghadapi masalah harga hotel yang tinggi. Di banyak wilayah, kenaikan harga hotel telah melampaui tingkat inflasi, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2019.

Menurut data dari Lighthouse Platform, pada paruh pertama tahun 2023, harga hotel di Oseania (termasuk Australia, Tonga, Fiji, dan negara-negara kecil di belahan bumi selatan) mencatat kenaikan tertinggi dibandingkan periode yang sama pada 2019, diikuti oleh Amerika Utara, Amerika Latin, dan Eropa.

Meskipun terdapat sedikit fluktuasi, hampir tidak ada tanda-tanda bahwa harga hotel global akan kembali ke tingkat sebelum pandemi.

Karena meningkatnya tren kerja jarak jauh dan fleksibilitas kerja, tingkat kekosongan ruang kantor di banyak negara juga mencapai rekor tertinggi. Di Amerika Serikat, tingkat kekosongan di kawasan pusat bisnis (CBD) meningkat paling pesat, dan kondisi ini masih terlihat hingga kini.

Membuka Dunia Digital

Selama pandemi COVID-19, muncul tren konsumsi baru karena konsumen yang terkurung di rumah tidak memiliki pilihan lain selain berbelanja daring. Hal inilah yang menyebabkan lonjakan belanja online sejak 2020, meski kini telah mulai stabil.

Para analis menyebutkan bahwa di Eropa, pertumbuhan penjualan online terjadi seiring dengan peningkatan investasi pengecer di toko fisik untuk mendorong penjualan online maupun offline.

Menurut data dari perusahaan riset pasar Euromonitor International, luas area kantor (dalam meter persegi) akan meningkat hampir 1% dari 2022 hingga 2023, dan pada 2028, tingkat pertumbuhannya diperkirakan mencapai 2,7%.

Selama pandemi COVID-19, saham perusahaan digital, logistik, serta produsen vaksin mengalami kenaikan signifikan.

Lima tahun kemudian, sebagian saham yang melonjak selama pandemi telah kehilangan daya tariknya. Namun, seiring dengan pembukaan pasar baru yang didorong oleh transformasi digital, beberapa saham lainnya justru mencatatkan pertumbuhan yang berkelanjutan. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS