Militer Ukraina pada Jumat (21 Maret) melaporkan bahwa Rusia melancarkan serangan dengan 214 drone ke berbagai wilayah di Ukraina pada Kamis malam, dengan kota Odesa di Laut Hitam mengalami kerusakan parah. Para pakar militer menyebut bahwa Rusia menggunakan taktik serangan baru dalam serangan kali ini.
EtIndonesia. Pejabat Ukraina mengkonfirmasi bahwa pada Kamis (20 Maret) malam, Odesa mengalami salah satu serangan drone terbesar dalam tiga tahun perang. Rusia menyerang kota tersebut dalam beberapa gelombang, melukai tiga remaja, merusak infrastruktur, perumahan, serta toko-toko, dan menyebabkan banyak kebakaran.
Ina, pemilik bengkel mobil di Odesa: “Kami tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa berdiri di sana dan melihat semuanya terbakar.”
Para ahli militer mengungkapkan bahwa Rusia menggunakan drone kamikaze Shahed-136, yang dapat terbang lebih dari dua kilometer di udara. Selain itu, Rusia menerapkan taktik serangan baru yang membuat sistem pertahanan udara Ukraina semakin sulit melakukan intersepsi.
Analis militer Oleksandr Kovalenko: “Saat drone mendekati target, mereka mulai menukik dengan kecepatan tinggi. Kecepatan saat menukik bisa mencapai 80–90 meter per detik.”
Saat serangan udara terjadi, Presiden Ceko Petr Pavel kebetulan sedang berada di Odesa untuk bertemu dengan pejabat setempat. Pavel, yang dikenal sebagai pendukung Ukraina, bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada Jumat dan menyatakan bahwa Ceko bersedia mempertimbangkan untuk bergabung dalam aliansi sukarela yang dipimpin Inggris guna membantu mengamankan Ukraina pasca-gencatan senjata.
Ketika ditanya apakah PBB bisa menjadi opsi penjaga perdamaian di Ukraina, Zelenskyy menjawab dengan tegas: “Terus terang, PBB tidak akan melindungi kami dari pendudukan atau mencegah Putin kembali. Kami tidak menganggap PBB sebagai pengganti pasukan militer atau jaminan keamanan.”
Stasiun Gas di Rusia Terbakar, Rusia dan Ukraina Saling Menyalahkan
Sementara itu, pada Jumat, terjadi kebakaran hebat di stasiun pengukuran gas alam Sudzha, yang terletak di wilayah Kursk, Rusia.
Kementerian Pertahanan Rusia menuduh Ukraina telah menembaki fasilitas tersebut dan melanggar perjanjian gencatan senjata sementara. Namun, militer Ukraina membantah tuduhan itu dan justru menuding Rusia sebagai dalang di balik serangan tersebut. Ukraina mengecamnya sebagai bagian dari “kampanye fitnah” Rusia.
Baru-baru ini, dengan mediasi AS, Ukraina dan Rusia secara prinsip telah menyetujui sebagian gencatan senjata. Namun, dengan meningkatnya eskalasi konflik, harapan akan gencatan senjata penuh semakin tipis, dan kedua belah pihak tampaknya memiliki interpretasi berbeda mengenai isi perjanjian.
Gedung Putih menyatakan bahwa gencatan senjata selama 30 hari ini mencakup perlindungan terhadap infrastruktur energi dan fasilitas penting lainnya. Namun, Rusia mengklaim bahwa mereka hanya akan berhenti menyerang infrastruktur energi, sementara Ukraina berharap agar jalur kereta api, pelabuhan, dan infrastruktur sipil lainnya juga dilindungi.
Pada Senin (24 Maret), pejabat AS akan bertemu dengan perwakilan Rusia dan Ukraina di Arab Saudi untuk membahas perjanjian damai. Presiden AS Donald Trump optimistis bahwa perang ini akan segera berakhir dan menyatakan bahwa perjanjian gencatan senjata penuh kemungkinan akan mencakup pembagian wilayah.
Presiden AS Donald Trump: “Saya percaya kita akan segera mencapai gencatan senjata penuh, lalu kita akan menandatangani perjanjian. Kami sedang merundingkan perjanjian ini, termasuk mengenai pembagian wilayah.”
Dilaporkan oleh Yi Jing, New Tang Dynasty Television