EtIndonesia. Demi penghematan anggaran, militer Amerika Serikat memutuskan untuk menarik pasukan dari pusat logistik di Zamosc, Polandia Tenggara. Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS mengungkapkan bahwa hampir 80% perlengkapan yang diterima militer Rusia berasal dari Tiongkok.
Menurut laporan yang beredar, militer AS telah mengonfirmasi rencana penarikan pasukan serta perlengkapan dari pusat logistik Zamosc, Polandia, yang selama ini menjadi jalur utama pengiriman bantuan senjata ke Ukraina. Pihak militer menyatakan bahwa keputusan ini diambil untuk “mengoptimalkan operasi” dan diperkirakan dapat menghemat puluhan juta dolar setiap tahun.
Namun, keputusan tersebut memicu kekhawatiran luas akan kemungkinan AS mulai mengurangi komitmennya terhadap pertahanan NATO dan Eropa. Kekhawatiran itu kian meningkat setelah Presiden Donald Trump pada hari Senin (7/4) memberhentikan Wakil Tetap AS untuk Komite Militer NATO, Laksamana Madya Angkatan Laut Jeffrey Czerewko.
Menteri Pertahanan Polandia mengonfirmasi bahwa misi yang sebelumnya dipimpin oleh militer AS kini telah dialihkan kepada sekutu NATO lainnya, termasuk Norwegia, Jerman, Inggris, serta pasukan Polandia sendiri.
Di waktu yang hampir bersamaan, Ukraina meluncurkan serangan drone skala besar terhadap wilayah Rusia pada Rabu dini hari. Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim bahwa mereka berhasil menjatuhkan 158 drone milik militer Ukraina dalam serangan tersebut.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, mengumumkan bahwa AS dan Rusia akan menggelar putaran kedua pembicaraan diplomatik di Turki pada hari Kamis, yang akan membahas upaya normalisasi operasional kedutaan besar masing-masing negara.
Terkait laporan bahwa militer Ukraina telah menangkap dua warga negara Tiongkok yang dituduh membantu Rusia dalam pertempuran, pemerintah Tiongkok membantah keras terlibat dalam konflik tersebut.
Namun, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menyatakan bahwa hampir 80% perlengkapan sipil dan militer yang digunakan Rusia untuk melanjutkan perang berasal dari Tiongkok. Hal ini mengindikasikan adanya dukungan signifikan dari Beijing terhadap mesin perang Kremlin, meskipun Tiongkok secara resmi mengaku netral. (jhn/yn)