Ekonomi Perang Dagang

Christopher Balding

Saat Presiden Donald Trump pada Minggu ini mengumumkan bahwa ia akan memberlakukan tarif lebih dari 100 persen terhadap Tiongkok dan 10 persen terhadap negara-negara lain di dunia, sambil menunggu periode negosiasi selama 90 hari, dunia dan pasar keuangan tampaknya menghela napas lega. Kepercayaan umum menyatakan bahwa tarif apa pun itu buruk; namun kenyataannya lebih rumit dan tidak selalu seperti yang diyakini secara konvensional.

Ekonomi perdagangan dalam buku teks dimulai dengan ekonom Skotlandia, Adam Smith, yang menggunakan model teoritis sederhana di mana Skotlandia dan Portugal terlibat dalam perdagangan wol dan anggur yang saling menguntungkan. Negara-negara lebih diuntungkan jika saling berdagang tanpa tarif. Sebagian besar ekonom menggunakan kerangka pemikiran ini saat memahami manfaat dari perdagangan internasional.

Namun, perdagangan modern sangat berbeda dari contoh-contoh dalam buku teks abad ke-17. Misalnya, ketika Smith menulis, Skotlandia sama sekali tidak memiliki kemungkinan menanam anggur karena iklimnya yang dingin dan lembap. Dengan kata lain, kedua negara dalam model awal tersebut menikmati semacam monopoli atas barang yang mereka produksi, seperti produsen minyak saat ini. Minyak tidak dapat diproduksi di negara lain karena mereka tidak memiliki cadangan minyak.

Pada kenyataannya, perdagangan modern sangat bergantung pada dinamika yang sangat berbeda. Misalnya, efek jaringan (network effects) sangat berpengaruh terhadap perdagangan internasional. Efek jaringan berarti keberadaan industri dan bisnis terkait yang saling berdekatan dan membantu menciptakan keunggulan kompetitif yang lebih luas. Contoh sederhananya adalah layanan keuangan di New York atau London, atau teknologi di Silicon Valley; hal yang sama berlaku untuk produk perdagangan. Tiongkok telah membangun jaringan industri lokal selama bertahun-tahun yang mendukung keseluruhan output manufakturnya; namun, hal itu bukanlah sesuatu yang permanen.

Contoh lainnya, model perdagangan awal yang digunakan oleh Smith tidak mempertimbangkan peran modal global yang dapat bergerak. Tenaga kerja mungkin tidak bisa berpindah lintas batas, tetapi modal bisa sangat mudah bergerak. Jika modal dapat berpindah lintas negara, mengambil contoh paling ekstrem: apa perbedaan harga dalam menggunakan robot di Amerika Serikat, Afrika, Tiongkok, atau Eropa? Secara fundamental, tidak ada perbedaan harga, dan robot tersebut akan menghasilkan jumlah output yang sama, di mana pun ia digunakan.

Namun, hal yang bertentangan dengan intuisi ini tidak hanya berlaku pada ekonomi perdagangan internasional, tetapi juga pada penerapan tarif berdasarkan negara yang bekerja sama dan yang tidak. Secara umum, negara-negara yang bekerja sama untuk secara aktif mengurangi tarif akan diuntungkan dengan tarif bersama yang rendah, namun dalam situasi konflik, negara dapat memperoleh keuntungan dari menaikkan tarif. 

Yang paling penting dalam perdebatan saat ini, negara besar seperti Amerika Serikat, ketika menghadapi konflik perdagangan di mana mitranya berbuat curang, dapat memperoleh keuntungan dari menaikkan tarif.

Salah satu makalah penting tentang tarif optimal tidak ditulis oleh pejabat pemerintahan Trump, melainkan oleh kepala ekonom saat ini di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pada tahun 2014, Ralph Ossa memperkirakan bahwa tarif optimal bagi Amerika Serikat bukanlah 2,5 persen, tetapi sekitar 60 persen, meskipun hal ini sangat tergantung pada industri dan sasaran utama tarif tersebut.

Wawasan ini sangat relevan dengan perang dagang saat ini, karena temuan kuncinya adalah bahwa liberalisasi perdagangan di antara sekelompok kecil negara yang mempertahankan hambatan perdagangan terhadap negara ketiga yang menjadi target, dapat memperoleh keuntungan lebih besar, karena manfaat perdagangan dibagi lebih langsung. Dengan kata lain, jika Presiden Donald Trump dapat mencapai kesepakatan dengan negara-negara kunci seperti Vietnam, India, Meksiko, Kanada, Eropa, dan Jepang sambil mempertahankan hambatan terhadap Tiongkok, maka ini akan meningkatkan manfaat perdagangan bagi negara-negara yang meliberalisasi dan menjauhkannya dari Tiongkok.

Ekonomi perdagangan internasional itu rumit dan sering kali bertentangan dengan intuisi. Namun, kebijaksanaan konvensional bahwa setiap tarif itu buruk tidak dapat dibenarkan oleh penelitian, dan banyak pembatasan dalam perdagangan tidak tampak dalam bentuk tarif. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Biro Riset Ekonomi Nasional menemukan bahwa sekitar 90 persen penurunan ekspor AS ke Tiongkok selama masa jabatan pertama Trump bukan disebabkan oleh kekuatan pasar, melainkan oleh hambatan non-tarif tidak resmi.

Perdebatan yang hidup dalam sebuah demokrasi harus mencakup sikap mempertanyakan para pemimpin kita dan informasi yang kita andalkan dalam membuat keputusan. Realitas penelitian ekonomi memberikan gambaran yang lebih bernuansa tentang bagaimana kita seharusnya mendekati negosiasi perjanjian perdagangan dengan Tiongkok dan negara lain. Kebijaksanaan konvensional bahwa setiap tarif itu buruk sama sekali tidak mencerminkan kenyataan.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan dari The Epoch Times.

FOKUS DUNIA

NEWS