Beli Ginjal di Kenya Seharga Rp 3,4 Miliar – Media Jerman Bongkar Rantai Perdagangan Organ Antar Benua

EtIndonesia. Media-media terkemuka Jerman baru-baru ini mengungkap skandal perdagangan organ internasional, di mana pasien Jerman dilaporkan pergi ke Kenya untuk menjalani transplantasi ginjal ilegal dengan biaya mencapai 200.000 euro. Para pendonor ginjal berasal dari kalangan muda yang miskin, terutama dari kawasan Kaukasus dan Kenya, membentuk jaringan perdagangan organ yang membentang antara Eropa dan Afrika.

Dalam investigasi gabungan selama beberapa bulan oleh Der Spiegel, saluran TV ZDF, dan Deutsche Welle, terungkap bahwa rumah sakit swasta Mediheal di Kota Eldoret, Kenya barat, menjadi tujuan utama pasien dari Jerman dan negara kaya lainnya untuk transplantasi ginjal.

Transplantasi Ginjal Ditawarkan secara Terbuka

Contoh kasus ditampilkan melalui Sabine Kugler, seorang perempuan Jerman berusia 57 tahun. Setelah ginjal hasil transplantasi sebelumnya melemah setelah hampir 30 tahun, dia kembali menjalani cuci darah dan akhirnya mencari alternatif medis di luar negeri.

Dia dihubungkan dengan sebuah perusahaan bernama Medlead. Seorang pria bernama Alexander menghubunginya lewat WhatsApp, menawarkan paket lengkap termasuk penerbangan, akomodasi, dan proses operasi. Bahkan disediakan opsi “garansi”, yaitu ginjal kedua jika transplantasi pertama gagal.

Kugler sempat khawatir akan aspek legalnya, namun diyakinkan bahwa biaya dibayarkan ke rumah sakit, bukan kepada pendonor langsung, sehingga menurut pihak Medlead tidak akan melanggar hukum Jerman. Dia akhirnya menjalani operasi tersebut di Kenya dan hanya sempat bertemu sebentar dengan pendonor — seorang pria muda dari kawasan Kaukasus.
 

Kugler mengaku kepada Der Spiegel: “Saya tahu ini keputusan yang egois, tapi saat itu saya tidak punya pilihan lain.”

Perbedaan Tajam Antara Harga Pasien dan Pendonor

Investigasi menyebut bahwa kebanyakan pendonor berasal dari Kenya dan wilayah Kaukasus seperti Azerbaijan, serta dari negara-negara bekas Uni Soviet lainnya.

Para penjual ginjal hanya dibayar sekitar 2.000 hingga 5.000 euro (sekitar Rp74 juta hingga Rp185 juta), sementara pasien dari Eropa membayar hingga 200.000 euro (sekitar Rp 3,4 miliar), mencerminkan kesenjangan harga yang sangat mencolok.

Modus Operandi yang Terbuka dan Terorganisir

Berbeda dari bayangan perdagangan gelap, layanan transplantasi ini dilakukan secara terbuka.
Medlead mengelola situs web berbahasa Jerman yang mengiklankan transplantasi ginjal dalam 4-6 minggu dan langsung mengarahkan calon pasien ke obrolan WhatsApp dengan agen anonim.

Alamat perusahaan yang dicantumkan di Polandia ternyata, setelah ditelusuri, hanyalah lokasi konstruksi yang telah dibongkar.

Medlead juga aktif mempromosikan layanan ini melalui media sosial, menampilkan testimoni pasien dalam video yang menggembar-gemborkan kebebasan dari cuci darah dan “kehidupan baru”. Namun hampir tak ada yang menyebut risiko operasi ataupun biaya sebenarnya. Beberapa menyatakan bahwa donor “memberikan secara sukarela”, namun keterangan ini sulit diverifikasi.

Reaksi Pemerintah Kenya dan Kecurigaan Intervensi Politik

Setelah laporan media Jerman dipublikasikan, Menteri Kesehatan Kenya, Aden Duale menyatakan kepada media lokal bahwa dia “terkejut dan menyesal” atas temuan tersebut. Dia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mentoleransi perdagangan organ, dan Mediheal Hospital kemungkinan akan ditutup.

Namun, masalah ini sebenarnya telah menjadi perhatian sejak 2023, ketika International Society of Nephrology (ISN) dan The Transplantation Society (TTS) mengirim surat peringatan kepada Pemerintah Kenya, menyebut Mediheal diduga kuat terlibat dalam perdagangan organ terorganisir.

Surat tersebut dikeluarkan oleh lembaga pemantau Deklarasi Istanbul (DICG) dan mendesak Kenya untuk menangani kasus transplantasi ilegal yang semakin marak.

Temuan Mengkhawatirkan dari Pemeriksaan Resmi

Pemerintah Kenya kemudian mengirim tim ahli ke Mediheal pada Desember 2023. Mereka diberi akses ke catatan medis dan menemukan berbagai kejanggalan:

  • Pasien asing membayar tunai dalam jumlah besar
  • Pendonor didominasi pria muda dari Kaukasus
  • Nomor kontak yang sama muncul berulang di berbagai catatan
  • Beberapa donor didaftarkan sebagai “kerabat dekat” dari penerima, namun dengan perbedaan mencolok dalam kewarganegaraan dan penampilan, mengindikasikan kemungkinan pemalsuan hubungan keluarga

Meski laporan menyebut “indikasi kuat keterlibatan dalam perdagangan organ”, pemerintah tetap menyatakan “kurangnya bukti kuat” untuk mengambil tindakan hukum lebih lanjut.

Dugaan Perlindungan Politik

Diketahui bahwa pendiri Mediheal, dr. Swarup Ranjan Mishra, adalah mantan anggota parlemen Kenya, dan pada 2024 bahkan ditunjuk oleh Presiden Kenya sebagai kepala lembaga penelitian vaksin nasional.

Kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan memicu kekhawatiran bahwa penyelidikan mungkin telah dipolitisasi atau dihambat.

Ketua DICG, Thomas Muller, menyatakan: “Kenya kini menjadi salah satu hotspot terburuk di dunia dalam hal perdagangan organ. Negara ini memiliki fasilitas medis yang canggih, tetapi kemiskinan dan korupsi struktural menciptakan ekosistem ideal bagi pasar gelap.”

Dia menambahkan bahwa banyak tenaga medis yang tulus di Kenya, namun mereka “sering kali tak berdaya menghadapi struktur kejahatan yang sistemik”.

 “Kapitalisme Ginjal” dan Hilangnya Etika Medis

Komentar dari Der Spiegel menyebut bahwa ketika organ tubuh diperlakukan sebagai komoditas, pasar akan digerakkan oleh keputusasaan kedua belah pihak:

  • Pasien rela membayar mahal demi bertahan hidup
  • Perantara dan dokter meraup untung besar dari kesenjangan layanan medis global

Sementara etika dan martabat manusia menjadi korban utama. (Jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS