EtIndonesia. Presiden AS, Donald Trump menyampaikan harapannya melalui platform Truth Social, agar Rusia dan Ukraina dapat mencapai kesepakatan damai dalam minggu ini. Dikutip AFP, Trump menyatakan bahwa kesepakatan tersebut akan membuka peluang besar bagi kedua negara untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat yang kini sedang berkembang pesat.
Sebelumnya, Trump menyalahkan baik Presiden Putin, Presiden Biden, maupun Presiden Zelenskyy atas konflik tersebut. Menurutnya, Putin tidak seharusnya memulai perang, Biden gagal menghentikannya, dan Zelenskyy seharusnya bisa mencegahnya sejak awal.
Pada hari yang sama, seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS menanggapi deklarasi gencatan senjata sementara yang diumumkan Putin dalam rangka Hari Paskah. AS, katanya, tetap berkomitmen terhadap gencatan senjata yang menyeluruh dan berkelanjutan. Ukraina pun mengusulkan perpanjangan gencatan senjata selama 30 hari, sesuai dengan saran Trump. Namun, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov menolak perpanjangan tersebut.
Presiden Zelenskyy menulis di Twitter bahwa sepanjang hari setelah Paskah hingga tengah malam, Rusia telah melanggar gencatan senjata sebanyak 2.935 kali, termasuk 96 serangan langsung dan 1.882 kali tembakan artileri ke posisi Ukraina.
Rusia Dituduh Memanfaatkan Gencatan Senjata Sebagai Tipuan
Laporan media Prancis Le Figaro dan Le Monde dari garis depan menyebutkan bahwa setelah Putin mengumumkan gencatan senjata, sirene serangan udara segera berbunyi, diikuti ledakan dan asap tebal. Zelenskyy, mengutip laporan Panglima Tertinggi Jenderal Syrskyi, menyebut bahwa Rusia berusaha menciptakan ilusi perdamaian sembari tetap melanjutkan serangan di titik-titik tertentu.
Media pro-Kremlin seperti Russia Today menyebut gencatan senjata ini sebagai “hadiah Paskah terbaik” bagi Trump. CNN menyatakan bahwa sebuah gencatan senjata yang sejati seharusnya dinegosiasikan secara langsung oleh pihak-pihak yang terlibat dan disusun dengan perencanaan matang—bukan dengan pengumuman mendadak seperti ini, yang tampaknya hanya untuk menyenangkan Gedung Putih.
Perang Dagang AS-Tiongkok: Boeing Jadi Korban
Menurut Reuters, sebuah pesawat Boeing 737 MAX dengan cat Xiamen Airlines yang semula dijadwalkan untuk dikirim ke Tiongkok, akhirnya kembali ke fasilitas Boeing di Seattle. Ini diduga sebagai akibat dari balasan tarif tinggi oleh Beijing terhadap kebijakan tarif Trump terhadap produk Tiongkok.
IBA, sebuah konsultan penerbangan, menyatakan bahwa tarif ini dapat menyebabkan gangguan besar dalam pengiriman pesawat Boeing ke maskapai Tiongkok. Beberapa maskapai di Tiongkok bahkan disebut menunda penerimaan pesawat baru karena biaya tambahan yang tinggi.
Flightradar24 mencatat bahwa setidaknya empat pesawat Boeing 737 MAX baru masih berada di fasilitas akhir Boeing di Zhoushan, Tiongkok. Salah satu di antaranya telah terbang kembali ke AS melewati Guam.
Media Tiongkok menyebut bahwa kebijakan Trump memang menargetkan Tiongkok sebagai pelanggar perdagangan terbesar dalam sejarah. Sementara itu, otoritas Tiongkok dikabarkan memerintahkan maskapai dalam negeri untuk menghentikan pembelian pesawat dan suku cadang dari AS.
Korea Selatan Menolak Negosiasi Terburu-buru
AS dan Korea Selatan dijadwalkan menggelar pertemuan tingkat tinggi “2+2” di Washington, mencakup isu perdagangan dan ekonomi. AS juga ingin membahas beban pembiayaan pertahanan, namun Korea Selatan menolak mencampurkan isu tersebut. Pemerintah Korsel menganggap posisi mereka masih transisi, dengan presiden sementara yang belum bisa memutuskan kebijakan jangka panjang.
Survei RealMeter terhadap 1.504 pemilih menunjukkan bahwa kandidat dari oposisi, mantan pemimpin Partai Demokrat Bersatu, memperoleh dukungan 50,2%, sementara calon dari partai penguasa hanya 12,2%. Ini mengindikasikan kemungkinan besar pergantian kekuasaan dalam pemilu mendatang.
Laporan: AS Akan Tutup Sejumlah Konsulat di Afrika
The New York Times mengabarkan bahwa pemerintahan Trump tengah bersiap menutup sejumlah konsulat di Afrika dan menggantinya dengan Kantor Utusan Khusus Afrika yang lebih kecil skalanya. Negara seperti Republik Afrika Tengah, Kongo, Sudan Selatan, dan Ethiopia termasuk dalam daftar konsulat yang akan ditutup. Termasuk juga Durban (Afrika Selatan) dan Douala (Kamerun).
Meski Departemen Luar Negeri AS dan Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih menolak memberikan pernyataan, Senator Marco Rubio mengecam laporan ini sebagai “berita palsu” di platform Axios. Namun, sejumlah bocoran dokumen menyebut bahwa reformasi besar-besaran sedang disiapkan—termasuk pembubaran biro wilayah, penggabungan divisi Kanada ke dalam urusan Amerika Utara, dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk merampingkan penulisan dokumen resmi.