Sidang Kedua Kasus “Pemberontakan”: Mantan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol Muncul di Pengadilan, Suasana Sidang Pertama Kali Diungkap


EtIndonesia. Pengadilan Distrik Pusat Seoul kembali menggelar sidang pada 21 April untuk mengadili mantan Presiden Yoon Suk-yeol atas tuduhan “pemberontakan”. Untuk pertama kalinya, suasana ruang sidang di mana Yoon diadili diperlihatkan kepada publik.

Sidang kedua dimulai pukul 10 pagi waktu setempat. Yoon Suk-yeol duduk di kursi terdakwa. Sebelum sidang resmi dibuka, pengadilan mengizinkan media mengambil gambar. Di bawah sorotan kamera dan kilatan lampu, Yoon terlihat beberapa kali berdiskusi dengan tim pengacaranya.

Menurut laporan dari Yonhap News dan AFP, Yoon tiba di gedung pengadilan melalui area parkir bawah tanah dan muncul di ruang sidang sekitar pukul 09: 57. Dia menghindari kontak mata dengan kamera media dan lebih banyak memusatkan pandangan ke arah kursi jaksa.

Publik kini menantikan apakah Yoon akan kembali menyampaikan pembelaan langsung seperti pada sidang pertama, di mana dia berbicara selama 93 menit.

Sidang Pertama: Yoon Membantah Seluruh Tuduhan

Sidang pertama kasus ini digelar pada 14 April. Yoon Suk-yeol dituduh memimpin upaya kudeta melalui penerapan darurat militer pada Desember lalu, yang kemudian membuatnya dimakzulkan oleh parlemen dan diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi awal bulan ini. Sepanjang proses, Yoon konsisten membantah semua tuduhan pemberontakan.

Dalam sidang pertamanya, Yoon datang mengenakan setelan biru tua dan dasi merah. Dia tiba pukul 09 : 50 dan memasuki ruang sidang melalui jalur khusus tanpa disorot kamera, karena pengambilan gambar saat sidang pertama dilarang.

Jaksa memulai dengan membacakan dakwaan, diikuti oleh tim pembela Yoon yang menolak seluruh tuduhan. Yoon kemudian menyampaikan pembelaan langsung, menyatakan bahwa kejadian yang dijadikan dasar dakwaan hanya berlangsung selama beberapa jam pada malam 3 Desember, yakni dari pukul 22:30 hingga dini hari. Dia menyebut insiden itu sebagai reaksi atas permintaan parlemen, dilakukan secara damai, dan tidak bisa disebut sebagai bentuk pemberontakan.

Yoon: “Semua Tuduhan Itu Palsu”

Yoon mengklaim bahwa aparat penegak hukum sejak awal telah menyudutkan kasus ini sebagai tindakan pemberontakan, sehingga membuat para saksi merasa tertekan dan memberi keterangan yang dimanipulasi. Dia menegaskan bahwa tuduhan terhadapnya tidak memiliki bukti kuat dan semua pernyataan saksi dalam berkas dakwaan tidak sah.

Dalam pembelaannya yang berlangsung lebih dari 40 menit, Yoon menolak semua klaim jaksa satu per satu. 

Dia mengatakan:“Menuduh saya memerintahkan penangkapan tokoh politik melalui intelijen negara atau tentara kontra-intelijen adalah kebohongan besar. Saya tidak pernah memberi instruksi semacam itu.”

Terkait dugaan bahwa dia menyuruh Wakil Direktur Badan Intelijen Nasional (NIS) saat itu, Hong Jang-won, untuk menangkap politisi tertentu, Yoon menjawab: “Jika memang ada kebutuhan, tentu saya akan menyampaikan melalui Direktur NIS, bukan kepada wakilnya secara langsung. Saya tidak pernah menghubungi pejabat bawahan seperti itu.”

Isu Rencana Penghapusan Parlemen dan Pembentukan Badan Darurat

Jaksa juga menuding Yoon merancang penghapusan parlemen dan mendirikan badan legislatif darurat, bahkan menyusun anggaran khusus untuk itu dengan Menteri Keuangan Choi Sang-mok. 

Namun, Yoon membantah keras:“Tuduhan bahwa saya menyusun anggaran untuk menghancurkan tatanan konstitusi bersama menteri urusan ekonomi benar-benar tak masuk akal dan tidak logis.”

Yoon juga mengaitkan tindakan darurat tersebut dengan pemakzulan Kepala Lembaga Audit Choi Jae-hae pada 3 Desember oleh parlemen, yang dia sebut sebagai pemicu utama penerapan darurat militer.

Tuduhan dan Hukuman yang Dihadapi

Jaksa menilai bahwa tindakan Yoon saat menjabat menunjukkan niat jelas untuk melancarkan kudeta demi mengakhiri tatanan demokrasi. Mereka menyebutnya telah menganggap oposisi sebagai ancaman terhadap keamanan negara dan bahkan menyimulasikan kondisi darurat dengan mantan Menteri Pertahanan Kim Yong-hyun.

Namun, Yoon menegaskan bahwa latihan darurat adalah prosedur standar dan tidak bisa dijadikan dasar tuduhan pemberontakan. Dia menyebut tindakan darurat ini sebagai bentuk “peringatan damai kepada rakyat”, tanpa niatan untuk mendirikan rezim militer.

Status Hukum dan Risiko Hukuman Berat

Yoon ditangkap dan didakwa pada 26 Januari lalu, menjadikannya Presiden Korea Selatan pertama dalam sejarah yang ditahan dan diadili selama masa jabatannya. Kini, dia menjalani persidangan sebagai warga sipil biasa. Berdasarkan hukum Korea Selatan, dakwaan pemberontakan (내란죄) dapat dikenakan hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS