Putin Bicara Damai, Tapi Persenjataan Dikerahkan: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Moskow?

EtIndonesia. Rezim Komunis Tiongkok kini menghadapi tekanan luar biasa dari berbagai arah, sementara sekutu terdekatnya, Presiden Rusia, Vladimir Putin, menunjukkan sinyal-sinyal melunak terhadap Amerika Serikat dan Ukraina. Ketegangan geopolitik ini memperlihatkan babak baru dalam dinamika global, dengan Donald Trump merancang strategi menghantam Rusia dan Tiongkok sekaligus.

Putin Bicara Damai: Taktik atau Sinyal Nyata?

Pada 4 Mei, saluran televisi nasional Rusia menayangkan film dokumenter khusus dalam rangka memperingati 25 tahun kepemimpinan Vladimir Putin. 

Dalam tayangan itu, Putin menyampaikan pernyataan mengejutkan: “Rekonsiliasi dengan Ukraina tidak terhindarkan, hanya soal waktu.”

Pernyataan ini segera memicu spekulasi di kalangan analis politik. Banyak yang menilai ini sebagai manuver politik untuk menguji tanggapan dari Ukraina dan Amerika Serikat—apakah mereka bersedia memberikan konsesi, khususnya soal wilayah yang telah dikuasai Rusia.

Namun media Jerman Bild melaporkan bahwa para pemimpin Barat meyakini Putin tidak akan benar-benar menghentikan perang. Alasannya sangat mendalam dan sistemik.

Mengapa Putin Tak Bisa Hentikan Perang

Ada dua alasan utama yang membuat penghentian perang dianggap mustahil oleh para analis:

  1. Tujuan Militer Belum Tercapai
    Gencatan senjata di tahap ini akan secara de facto dianggap sebagai kekalahan Rusia. Rezim Putin belum mendapatkan apa yang mereka targetkan secara strategis.
  2. Ketergantungan Ekonomi terhadap Perang
    Ekonomi Rusia kini sangat bergantung pada industri pertahanan. Ratusan ribu warga Rusia, termasuk kelas menengah, kini hidup dari bayaran perang. Ini membentuk kelompok kepentingan tersendiri yang menjadikan konflik sebagai sumber penghidupan. Jika perang berakhir, seluruh struktur ekonomi dan sosial bisa runtuh.

Dengan demikian, perang menjadi alat Putin untuk mempertahankan kekuasaan dan menjustifikasi kontrol ketat terhadap rakyat Rusia.

Red Square 9 Mei: Ancaman Terbuka dan Pertahanan Udara Total

Menjelang parade militer besar Rusia di Lapangan Merah pada 9 Mei—yang kemungkinan akan dihadiri Presiden Xi Jinping—seruan keras muncul di media sosial agar Ukraina “menghabisi” para pemimpin yang hadir di lokasi tersebut. Meskipun tidak ada bukti bahwa seruan ini berasal dari otoritas resmi, dampaknya menimbulkan gelombang kecemasan besar.

Mengutip laporan dari Newtalk (belum terverifikasi), Rusia disebut telah menempatkan lebih dari 280 sistem pertahanan udara di sekitar Moskow, antara lain:

  • S-400
  • Pantsir-S1
  • Tor-M2
  • Buk-2N
  • Nebo-M

Bahkan pasukan dari Kazan dan Grozny dikabarkan telah dikerahkan ke ibu kota. Keadaan ini menciptakan atmosfer mencekam, seolah Rusia tengah bersiap menghadapi serangan skala penuh dari udara.

Trump Balik Arah: Rusia dan Tiongkok Kini Musuh Bersama

Menurut analis senior Wu Jialong, perubahan besar dalam strategi Amerika mulai terlihat jelas. Perjanjian baru antara Amerika Serikat dan Ukraina mengenai eksplorasi serta ekspor mineral strategis menjadi tanda bahwa Trump tidak lagi berusaha merangkul Rusia untuk melawan Tiongkok, melainkan menggabungkan keduanya sebagai musuh bersama dalam satu paket strategi global.

“Trump tidak lagi melihat Rusia sebagai alat melawan Beijing. Sekarang, keduanya adalah target bersamaan,” ungkap Wu.

CIA bahkan mengambil langkah ekstrem dengan merilis video perekrutan terbuka untuk agen intelijen di Tiongkok—sesuatu yang jarang terjadi secara publik. Langkah ini dianggap sebagai upaya memecah kesatuan internal Partai Komunis Tiongkok (PKT), menabur benih keretakan dari dalam.

Gejolak Internal di Tubuh PKT: Xi Jinping Tersudut

Sementara itu, krisis internal dalam elite Partai Komunis Tiongkok semakin dalam. Brigadir Jenderal (Purn.) Brian Holter dari Angkatan Udara AS, dalam tulisannya untuk Newsweek, menyebut bahwa PKT sedang menuju kehancuran dan Xi Jinping bisa jadi adalah pemimpin terakhir partai tersebut.

Menurut Holter, kampanye “pemberantasan korupsi” yang dijalankan Xi mulai berbalik arah dan justru menyasar faksi loyalisnya sendiri. Hingga kini, lebih dari 1.300 perwira dan 80 jenderal telah disingkirkan, termasuk tokoh-tokoh kunci di militer.

Salah satu nama yang muncul dalam pusaran ini adalah Jenderal Zhang Youxia, yang disebut-sebut sebagai otak di balik manuver pembersihan ini.

Ramalan Kuno dan Kudeta yang Ditakuti

Menariknya, Holter juga menyinggung “Tui Bei Tu”, kitab ramalan kuno dari Tiongkok, yang secara metaforis seolah menggambarkan skenario kudeta atau pembunuhan terhadap pemimpin tertinggi. 

Salah satu baitnya berbunyi: “Seorang prajurit membawa busur… dari gerbang timur muncul panah emas… ksatria menyerbu istana dari belakang.”

Kalangan spekulan politik menafsirkan “busur” sebagai simbol Zhang Youxia, sementara “panah emas” diyakini sebagai simbol pemberontakan dari kalangan elite militer.

Strategi Ekonomi Trump: Runtuhkan PKT dari Dalam

Trump dikabarkan sedang menyusun strategi untuk menghantam Tiongkok bukan dengan senjata, tapi dengan melumpuhkan fondasi ekonominya. Holter mencatat, sejak masa jabatan sebelumnya, Trump berhasil memaksa lebih dari 10.000 pabrik di Tiongkok tutup, terutama di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Guangzhou—yang kini dijuluki sebagai “kota mati.”

Pelabuhan-pelabuhan utama mengalami stagnasi. Protes pekerja meluas. Bahkan sejumlah pabrik dibakar oleh buruh karena upah tak dibayarkan selama berbulan-bulan.

Holter menyimpulkan bahwa senjata paling ampuh AS terhadap Tiongkok adalah menghentikan peran sebagai pasar utama bagi ekspor Tiongkok. Tanpa pasar Amerika, ekonomi Tiongkok dapat mengalami kehancuran lebih parah daripada efek Perang Dunia II.

Peringatan Terakhir: PKT Bisa Bertindak Gila

Meski strategi ekonomi dinilai efektif, Holter tetap memberi peringatan keras. Ketika rezim totaliter seperti PKT berada di ujung tanduk, tindakan nekat seperti meluncurkan serangan militer bisa saja dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik dari keruntuhan dalam negeri.

Dengan tekanan dari luar dan dalam, serta ancaman dari rival-rival internal, posisi Xi Jinping dan rezim PKT saat ini benar-benar terjepit. Dunia kini menanti apakah Beijing akan bertahan, tunduk, atau justru meledak.

FOKUS DUNIA

NEWS