PKT Turunkan Ambang Batas Bebas Pajak Bagi Turis Asing, Akademisi: Sulit Membalikkan Tren Lesunya Konsumsi

Untuk menghadapi perang tarif dengan Amerika Serikat dan kondisi ekonomi domestik yang lesu, pemerintah Partai Komunis Tiongkok (PKT) melonggarkan kebijakan bebas pajak (tax refund) bagi wisatawan asing yang berbelanja di Tiongkok. Tujuannya adalah untuk merangsang konsumsi wisatawan asing. Namun para akademisi menilai, kondisi ketenagakerjaan dalam negeri yang tidak stabil serta penurunan harga properti yang melemahkan efek kekayaan membuat peningkatan konsumsi turis asing pun tidak mampu menutupi penurunan konsumsi secara nasional.

EtIndonesia. Baru-baru ini, Kementerian Perdagangan PKT bersama lima lembaga lainnya mengeluarkan pemberitahuan tentang “Optimalisasi Kebijakan Pengembalian Pajak Keluar Negeri untuk Memperluas Konsumsi Masuk”, dengan menurunkan ambang batas bebas pajak dari RMB.500 menjadi RMB.200 dan langsung diberlakukan.

Pemberitahuan tersebut juga mendorong penambahan toko bebas pajak di pusat perbelanjaan besar, jalan-jalan pejalan kaki, destinasi wisata, museum, bandara, pelabuhan, hotel, dan lainnya. Selain itu, juga dilonggarkan syarat pendaftaran toko bebas pajak dan disederhanakan proses pengurusan pengembalian pajak.

Batas maksimal pengembalian pajak tunai dinaikkan dari RMB.10.000 menjadi RMB.20.000 , sedangkan metode pengembalian pajak lain tidak memiliki batasan jumlah.

Kebijakan ini ditujukan untuk warga asing dan penduduk Hong Kong, Makau, dan Taiwan yang tinggal di Tiongkok tidak lebih dari 183 hari.

Ekonom asal AS, Huang David, mengatakan bahwa Beijing sedang berupaya meningkatkan belanja turis asing di Tiongkok sebagai cara untuk mengkompensasi lemahnya permintaan domestik.


“Secara permukaan tampak seperti untuk mendorong belanja wisata, namun pada dasarnya ini adalah upaya mendesak untuk mengatasi lemahnya ekonomi domestik, penurunan ekspor, dan menurunnya jumlah pengunjung asing. Ini adalah strategi jangka pendek yang tidak biasa, bukan strategi terbuka jangka panjang yang penuh percaya diri,” katanya. 

Sejak tahun lalu, pemerintah Tiongkok terus memperluas cakupan negara yang mendapat bebas visa sepihak. Namun jumlah wisatawan asing yang masuk belum kembali ke tingkat sebelum pandemi.

Baru-baru ini, sejumlah blogger mengunggah kondisi bandara yang sepi seperti di Bandara Hongqiao Shanghai, Bandara Internasional Xian Xianyang, Bandara Ibu Kota Beijing, dan Bandara Internasional Zhoushuizi Dalian, yang menunjukkan lesunya sektor pariwisata asing.

Data juga menunjukkan bahwa pengeluaran turis asing di Tiongkok pada tahun 2024 mencapai 94,2 miliar dolar AS, masih jauh di bawah angka 131,3 miliar dolar AS pada tahun 2019.

Pemerintah menyebut kebijakan bebas pajak baru ini sebagai “undangan hangat kepada wisatawan global”. Tarif bebas pajak sebesar 11% untuk barang umum dianggap sebagai potongan harga yang bisa merangsang minat belanja wisatawan asing dan mendukung kebangkitan “Belanja di Tiongkok”.

Profesor Sun Guoxiang dari Departemen Urusan Internasional dan Bisnis di Universitas Nanhua Taiwan menyatakan bahwa tempat utama wisatawan asing membeli barang mewah di Asia Pasifik adalah Jepang, Korea Selatan, dan Asia Tenggara. Kebijakan bebas pajak Tiongkok lebih ditujukan pada produk lokal seperti sutra, teh, keramik, dan barang budaya.


“Sebagian besar turis asing kurang familiar dengan produk nasional atau tren produk dari Tiongkok, dan daya tarik merek juga rendah. Kebijakan ini menargetkan turis yang tinggal tidak lebih dari 183 hari, sehingga cakupannya terbatas. Kebijakan ini mungkin hanya meningkatkan konsumsi masuk di kota tertentu seperti Shenzhen atau Shanghai, namun tidak cukup untuk mendorong permintaan domestik secara keseluruhan atau menjadi mesin utama peningkatan konsumsi,” ujarnya. 

Biro Statistik Nasional Tiongkok merilis data terbaru pada 10 April yang menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen (CPI) nasional turun selama dua bulan berturut-turut pada Februari dan Maret.

Nilai penjualan barang konsumsi di Beijing pada Maret mengalami penurunan 9,9% dibandingkan tahun sebelumnya. Pendapatan dari sektor kuliner turun 3,1%, sementara penjualan ritel barang mengalami penurunan tajam sebesar 10,6%.


“Ekspektasi pendapatan masyarakat Tiongkok menurun, pekerjaan tidak stabil, utang rumah tangga yang tinggi membatasi ruang konsumsi, dan penurunan harga rumah memperlemah efek kekayaan. Kepercayaan konsumen rendah, mereka enggan mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Kelas menengah mulai beralih ke konsumsi hemat dan praktis. Jadi, meski belanja turis asing meningkat, itu tetap tidak cukup untuk mengimbangi penyusutan konsumsi nasional Tiongkok secara keseluruhan,” katanya. 

Selama libur panjang Hari Buruh tahun ini, masyarakat dalam negeri cenderung memilih perjalanan jarak dekat atau destinasi dengan biaya rendah untuk menghemat pengeluaran.

Data dari Trip.com menunjukkan bahwa pencarian kota kecil meningkat 25% dibanding tahun lalu, lebih tinggi 11% dibanding kota besar. Beberapa daerah terpencil dengan biaya akomodasi rendah seperti Bortala di Xinjiang dan Pu’er di Yunnan menjadi pilihan populer bagi wisatawan beranggaran terbatas, dengan lonjakan pencarian lebih dari 50%.

Ekonom senior Bloomberg untuk Asia Pasifik, Zhu Yi, menilai bahwa data ekonomi terbaru menyoroti tekanan deflasi yang dihadapi Tiongkok. Seiring meningkatnya ketegangan dalam perang dagang Tiongkok-AS, risiko deflasi diperkirakan akan semakin memburuk. (Hui)

Sumber : NTDTV.com 

FOKUS DUNIA

NEWS