Penurunan laba di sektor perbankan mengindikasikan perlambatan ekonomi secara menyeluruh, bahkan bisa menjadi stagnasi, kata seorang analis.
EtIndonesia. Enam bank terbesar di Tiongkok melaporkan kinerja kuartal pertama dengan penurunan yang signifikan dalam pendapatan maupun laba.
Para ahli mengatakan bahwa penurunan laba di industri perbankan Tiongkok menunjukkan bahwa ekonomi negara tersebut mengalami stagnasi, yang kemungkinan besar akan memburuk seiring dampak dari perang tarif antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Keenam bank besar Tiongkok yang semuanya dimiliki negara—Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Agricultural Bank of China, Bank of China, China Construction Bank, Bank of Communications, dan China Postal Savings Bank—merilis data kuartal pertama mereka pada 29 April. Secara keseluruhan, laba bersih yang dapat diatribusikan kepada perusahaan induk turun sebesar 7,3 miliar yuan ($1 miliar) dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024—penurunan sekitar 2 persen.
Di antara keenamnya, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), yang merupakan pemberi pinjaman terbesar di dunia berdasarkan aset, mengalami penurunan laba bersih sebesar 4 persen secara tahunan. Bank of China mencatat penurunan sebesar 2,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Enam bank tersebut melaporkan total pendapatan sebesar 910,2 miliar yuan ($125 miliar) pada kuartal pertama, mengalami penurunan tahunan sebesar 13,9 miliar yuan ($1,9 miliar).
ICBC menjadi satu-satunya bank besar Tiongkok yang mencatat pendapatan kuartal tunggal lebih dari 200 miliar yuan ($27,5 miliar), meskipun ini tetap mencerminkan penurunan sebesar 3,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024.
China Construction Bank melaporkan pendapatan sebesar 190,07 miliar yuan ($26,1 miliar), turun 5,4 persen secara tahunan.
“Pada kuartal pertama 2025, ekonomi global kekurangan momentum pertumbuhan yang kuat,” kata China Construction Bank dalam laporannya.
Sejak Januari, Tiongkok dan Amerika Serikat terlibat dalam perang tarif yang telah menghantam ekspor Tiongkok secara keras, memperburuk ekonomi Tiongkok yang sebelumnya memang telah mengalami perlambatan berkepanjangan.
Media Tiongkok mengutip analisis dari berbagai lembaga yang mengaitkan penurunan laba sektor perbankan dengan sejumlah faktor: penyesuaian ulang suku bunga pinjaman secara serentak yang memperburuk tekanan margin bunga, perlambatan ekspansi aset, peningkatan tarif pajak penghasilan, lemahnya dukungan dari provisi, serta meningkatnya volatilitas dalam pendapatan non-bunga.
Henry Wu, seorang makroekonom asal Taiwan, mengatakan kepada The Epoch Times pada 2 Mei bahwa perusahaan-perusahaan daratan Tiongkok telah berhenti menerima pesanan ekspor sebagai akibat langsung dari perang tarif, “dan ekonomi serta makroekonomi Tiongkok telah jatuh ke dalam resesi.”
“Dalam kasus ini, bisnis perbankan tentu saja terdampak,” kata Wu. “Awalnya, tujuan dari pinjaman bank adalah untuk mendapatkan selisih bunga, tetapi sekarang, permintaan akan dana mungkin menyusut tajam. Banyak perusahaan tidak berani lagi berinvestasi dan mungkin harus tutup bahkan bangkrut. Oleh karena itu, bisnis bank menyusut akibat perang tarif. Dan hal ini berdampak pada makroekonomi.”
Ekonom Taiwan Edward Huang mengatakan bahwa perang tarif akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap laba bank-bank Tiongkok pada kuartal kedua.
“[Penurunan di kuartal pertama] disebabkan karena sektor properti di Tiongkok terus merosot, seluruh ekonomi sedang dalam tren penurunan, yang memberi dampak signifikan terhadap laba bank-bank Tiongkok. Ini disebabkan oleh faktor domestik,” ujarnya.
Setelah bank-bank Tiongkok melaporkan penurunan laba, harga saham mereka merosot.
Huang menyatakan bahwa laba dan saham bank mencerminkan apakah ekonomi suatu negara sedang baik atau buruk, karena bank mentransfer dana ke semua sektor dalam suatu negara.
“Jika laba dari sistem yang mentransfer dana menurun, maka itu berarti aktivitas ekonomi sedang melambat, dan ini adalah perlambatan secara menyeluruh,” kata Huang.
Sementara itu, indeks manajer pembelian (PMI) Tiongkok untuk sektor manufaktur turun ke angka 49 pada bulan April, menyentuh titik terendah dalam 16 bulan, seiring diberlakukannya tarif besar-besaran baru oleh pemerintahan Trump terhadap barang-barang Tiongkok.
PMI adalah indikator arah tren ekonomi yang berlaku di sektor manufaktur dan jasa. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi ekonomi.
Huang memperkirakan bahwa ekspor Tiongkok akan terus menurun pada kuartal kedua dan ekonomi Tiongkok akan terus mengalami stagnasi.
“Seberapa serius stagnasinya setelah perang tarif, kita kemungkinan dapat melihat petunjuknya dengan mengamati laba bank-bank Tiongkok pada kuartal kedua,” ujarnya.
Huang juga memprediksi bahwa Partai Komunis Tiongkok yang berkuasa mungkin akan mengambil langkah-langkah seperti menurunkan suku bunga dan rasio cadangan wajib (RRR) untuk menghadapi perlambatan ekonomi.
“Bagi masyarakat umum, mereka akan melihat penurunan bunga bank, dan bagi perbankan, selisih laba akan berkurang,” kata Huang.
Melihat situasi ekonomi saat ini, Wu mengatakan bahwa “bank mungkin tidak berani menyalurkan pinjaman karena takut akan gagal bayar, dan kredit bank akan mulai menyusut, yang pada akhirnya akan membuat makroekonomi semakin lesu dan memburuk.”
Ketika bank tidak lagi menyalurkan pinjaman, “banyak perusahaan tidak mampu membayar kembali pinjaman sebelumnya, dan kemudian mereka gagal bayar,” tambahnya.
Laporan ini juga disusun dengan kontribusi dari Luo Ya dan Reuters.
Sumber : Theepochtimes.com