EtIndonesia. Seluruh perhatian dunia kini tertuju pada Parade Hari Kemenangan Rusia yang akan digelar di Moskow pada 9 Mei mendatang. Parade tersebut bukan hanya simbol kekuatan militer Rusia, tetapi juga menjadi panggung geopolitik dunia, terlebih karena Presiden Tiongkok, Xi Jinping, dijadwalkan hadir dalam perayaan itu.
Namun suasana menjelang parade ini mendadak mencekam. Bukan hanya karena ketegangan global yang meningkat, tetapi juga karena Ukraina secara mengejutkan melancarkan serangan drone besar-besaran ke wilayah barat Rusia pada dini hari tanggal 6 Mei 2025—tiga hari lebih awal dari perkiraan banyak pihak.
Drone Ukraina Gempur Rusia dari Berbagai Arah: Moskow Terancam
Serangan yang diluncurkan tepat pada dini hari ini menargetkan sejumlah wilayah strategis di Rusia, termasuk Kursk, Voronezh, dan Penza. Data peta serangan menunjukkan panah-panah merah yang padat merayap dari berbagai penjuru, mengarah langsung ke jantung negara: Moskow. Serangan ini menimbulkan kekacauan besar.
Puluhan bandara di Rusia terpaksa ditutup akibat ancaman udara yang masif. Bahkan empat bandara utama di Moskow sempat menghentikan operasionalnya. Bandara Vnukovo, salah satu pintu masuk udara utama ibu kota Rusia, dilaporkan mengalami gangguan akibat serangan.
Yang lebih mencemaskan, meskipun Pemerintah Rusia telah meningkatkan sistem pertahanan udara secara signifikan dan bahkan menempatkan sistem anti-serangan di pusat Kota Moskow, nyatanya itu belum cukup untuk mencegah kerusakan. Dua unit apartemen di tengah Kota Moskow terbakar akibat hantaman drone, memicu kepanikan warga yang terbangun oleh suara sirene serangan udara di tengah malam.
Rekaman dan gambar dari lokasi menunjukkan bagaimana suasana kota berubah drastis: dari tenang menjadi lautan kecemasan.
Serangan Drone Sebagai Peringatan Jelas: “Simulasi” untuk Parade 9 Mei?
Para analis militer dari luar negeri menilai serangan ini bukan sekadar ofensif acak. Sebaliknya, ini adalah bentuk peringatan keras terhadap parade militer Rusia yang akan digelar pada 9 Mei. Serangan itu dianggap sebagai simulasi nyata terhadap acara simbolis negara tersebut, sebuah pesan bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman, bahkan Moskow sekalipun.
Para pakar juga menyoroti bagaimana serangan ini menunjukkan tingkat akurasi yang tinggi, dengan koordinasi yang solid serta dukungan intelijen dan teknologi satelit canggih. Hal ini semakin memperlihatkan peningkatan signifikan dalam kemampuan tempur Ukraina di era modern.
Ironisnya, karena Rusia memusatkan sistem pertahanan udaranya ke Moskow untuk mengamankan parade dan menyambut kedatangan Xi Jinping, wilayah lain di sekitarnya justru menjadi rentan. Para analis menyindir kondisi ini dengan peribahasa, “menarik selimut ke atas tapi kaki jadi kedinginan”.
Putin Dianggap Ambisius Tapi Ceroboh: Celah Strategis yang Terbuka Lebar
Keputusan Presiden Vladimir Putin untuk tetap menggelar parade militer akbar di tengah peperangan berkepanjangan menuai kritik tajam. Beberapa analis menilai bahwa langkah ini lebih banyak membuka peluang serangan ketimbang menunjukkan kekuatan. Risiko serangan yang disiarkan langsung di depan para tamu internasional menjadi bahaya tersendiri.
Pada pagi hari setelah serangan drone, warga Moskow masih melaporkan penampakan drone Ukraina yang melintas di langit ibu kota saat matahari mulai terbit—seolah menjadi simbol bahwa peringatan belum berakhir.
Ukraina Ancam Negara Peserta Parade: Pelanggaran Netralitas
Pada hari yang sama, Kementerian Luar Negeri Ukraina mengeluarkan pernyataan tegas: keterlibatan militer asing dalam parade Moskow akan dianggap sebagai pelanggaran netralitas internasional dan bentuk dukungan terhadap negara agresor. Peringatan ini jelas ditujukan kepada negara-negara yang menyatakan akan mengirim pasukan upacara ke Rusia.
13 Negara Akan Hadir, Kecuali Korea Utara
Penasihat kebijakan luar negeri Putin, Yuri Ushakov, menyampaikan bahwa sebanyak 13 negara telah menyatakan partisipasinya dalam parade militer 9 Mei, termasuk Tiongkok. Namun Korea Utara dipastikan tidak akan hadir.
Keputusan Kim Jong-un ini menuai komentar pedas dari media: “Kalau tidak dibayar tampil, dia ogah datang.”
Hal ini dianggap sebagai sinyal bahwa Korea Utara mulai berhitung lebih realistis dalam pengeluaran, atau bahkan sedang menjaga jarak secara diplomatik di tengah ketegangan global.
Ramzan Kadyrov Tiba-Tiba Mundur: “Taktik Mundur untuk Menyerang”?
Satu peristiwa besar lain juga terjadi di hari yang sama. Pemimpin Chechnya, Ramzan Kadyrov, yang dikenal sebagai loyalis garis keras Putin, secara mengejutkan mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan.
Kadyrov, yang diangkat langsung oleh Putin pada 2007, telah lama menjadi “tangan kanan” Kremlin dalam operasi brutal melawan oposisi, baik di dalam negeri Rusia maupun di Ukraina. Pasukan Chechnya di bawah komandonya bahkan kerap disebut sebagai salah satu unit tempur paling ganas dalam invasi ke Ukraina.
Pengunduran dirinya memunculkan banyak spekulasi. Ada yang menyebut alasan kesehatan, ada pula yang menyebut ini sebagai langkah “pengunduran diri taktis” sebelum badai politik menghantam Rusia lebih keras.
Seorang analis bahkan secara sarkastik berkomentar: “Ambisinya setebal janggutnya.” Ini menegaskan bahwa Kadyrov kemungkinan sedang menyusun langkah untuk naik ke panggung kekuasaan yang lebih besar di masa mendatang.
Kekuasaan Belum Lepas, Hanya Menjauh dari Sorotan
Meskipun mengundurkan diri, pengaruh Kadyrov di militer dan politik Chechnya tetap sangat kuat. Beberapa pihak menyebut langkah ini sebagai taktik “mundur untuk menyerang”—menyingkir dari sorotan untuk menghindari konflik langsung, dan bersiap kembali dalam situasi yang lebih menguntungkan.
Perlu diingat, selama menjabat, Kadyrov dikenal sangat kejam dalam menghadapi oposisi. Jika dia benar-benar lengser, potensi perebutan kekuasaan di Chechnya sangat mungkin terjadi dan bisa menambah beban Putin yang kini sudah disibukkan oleh konflik di Ukraina dan tekanan internasional.Kesimpulan:
Serangan drone Ukraina menjelang Parade Hari Kemenangan Rusia menunjukkan dinamika geopolitik yang semakin panas. Parade yang semula bertujuan menjadi simbol kejayaan malah membuka celah strategis yang besar. Dengan mundurnya Kadyrov, medan politik internal Rusia pun bergetar. Putin kini menghadapi tekanan dari dua front: ancaman dari luar dan ketidakpastian dari dalam.