EtIndonesia. Pemimpin Partai Uni Demokratik Kristen (CDU), Friedrich Merz, akhirnya terpilih sebagai Kanselir Jerman dalam pemungutan suara putaran kedua di parlemen, Selasa (6/5/2025), setelah sebelumnya gagal mengamankan suara mayoritas di putaran pertama.
Dalam putaran pertama, Merz hanya memperoleh 310 suara, enam suara lebih sedikit dari ambang batas mayoritas yang dibutuhkan, yakni 316 suara. Namun, dalam pemungutan suara ulang yang digelar beberapa jam kemudian, ia berhasil meraih 325 suara dan resmi dilantik sebagai kanselir Jerman.
Kegagalan Merz di putaran pertama menjadi kejutan besar, mengingat pemilihan ini sebelumnya diprediksi berjalan mulus. Ia menjadi kandidat pertama dalam sejarah parlemen Jerman pasca perang yang gagal mengamankan suara mayoritas di putaran pertama.
Pada pemilu umum Februari lalu, CDU yang berhaluan tengah-kanan keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 22,5 persen, namun tidak cukup untuk membentuk pemerintahan sendiri. Setelah melalui negosiasi panjang, CDU menjalin kesepakatan koalisi dengan Partai Sosial Demokrat (SPD) yang berhaluan tengah-kiri.
Meskipun koalisi telah terbentuk, kegagalan Merz di putaran pertama menimbulkan pertanyaan soal stabilitas politik di internal koalisi. Pengamat politik Volker Resing, penulis biografi Friedrich Merz: His Path to Power, menyebut kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya di Jerman pascaperang.
“Ini menunjukkan betapa rapuhnya situasi koalisi saat ini. Ada anggota parlemen yang siap menciptakan ketidakpastian. Ini adalah sinyal peringatan,” kata Resing.
Kritik juga datang dari kubu oposisi. Pemimpin partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD), Alice Weidel, menyebut hasil ini sebagai tanda ketidakstabilan dalam pemerintahan baru.
“Friedrich Merz bahkan tak mampu mengamankan dukungan dari partainya sendiri. Ini berlawanan dengan kebutuhan negara yang mendesak akan stabilitas,” ujarnya kepada The Epoch Times.
Weidel mendesak agar diadakan pemilu ulang. “Yang saya tuntut adalah memberi jalan keluar. Kita perlu pemilu baru. Warga menginginkan pemerintahan berhaluan tengah-kanan,” ujarnya.
AfD sendiri menjadi partai peraih suara terbanyak kedua dalam pemilu lalu. Namun, Merz secara tegas menyatakan tak akan berkoalisi dengan partai tersebut, meski kerja samanya bisa menjamin mayoritas di parlemen.
Pemungutan suara yang menentukan ini turut disaksikan langsung oleh mantan Kanselir Angela Merkel di gedung Bundestag. Setelah pengumuman kabinet barunya, Merz menyatakan komitmennya untuk mendorong reformasi dan investasi guna membawa Jerman maju.
“Mulai besok, Jerman akan memiliki pemerintahan yang berkomitmen mendorong kemajuan melalui reformasi dan investasi,” kata Merz dalam pidato pengantar kabinetnya.
Salah satu janji utama Merz selama kampanye adalah mempertahankan debt brake—aturan konstitusi Jerman yang membatasi jumlah pinjaman pemerintah. Dalam manifesto CDU, tertulis: “Kini saatnya mempertahankan rem utang yang diatur dalam konstitusi. Utang hari ini adalah kenaikan pajak di masa depan.”
Namun, Merz juga sempat mengundang kontroversi. Pada Januari, ia menyerukan kontrol permanen di perbatasan setelah insiden penikaman mematikan di Bavaria yang dilakukan oleh imigran ilegal asal Afghanistan. Tetapi sehari setelah kemenangannya, ia menyatakan bahwa pemerintahannya “tidak berbicara soal penutupan perbatasan”.
Pada Maret lalu, CDU bersama SPD menyetujui pembentukan dana infrastruktur senilai 500 miliar euro (sekitar Rp8.800 triliun) yang akan didanai dari pinjaman untuk mendukung pemulihan ekonomi Jerman dalam 12 tahun ke depan.
Sementara itu, pekan lalu Badan Intelijen Dalam Negeri Jerman secara resmi mengklasifikasikan AfD sebagai kelompok “ekstremis sayap kanan”. Langkah ini memungkinkan pengawasan yang lebih ketat terhadap partai tersebut.
AfD kemudian menggugat keputusan itu ke pengadilan administratif di Kota Cologne, tempat kantor pusat badan intelijen berada. Dalam pernyataan bersama, dua pimpinan AfD, Tino Chrupalla dan Alice Weidel, menyebut langkah pemerintah sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan negara.
“Gugatan ini adalah pesan tegas untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan negara dan upaya membungkam oposisi,” tegas mereka.
Laporan ini disusun dengan kontribusi dari Reuters, Associated Press, dan Guy Birchall.