EtIndonesia. Dalam jagat mitologi dan legenda besar Kekaisaran Romawi Kuno, terdapat seorang dewa misterius bernama Rediculus. Sosoknya tidak begitu terkenal, penampilannya kabur, dan keberadaannya seolah terletak di antara batas sejarah dan dongeng. Dia dikenal sebagai penjaga batas perang, pelindung kota dari ancaman luar. Namun yang mengejutkan, namanya justru terikat pada kisah pemakaman seekor gagak yang bisa berbicara—dua cerita yang tampak tak saling berkaitan, namun akhirnya bersatu dalam satu tempat dan satu nama: “Ladang Rediculus” (Campus Rediculus).
Dewa yang Menampakkan Diri dan Memaksa Hannibal Mundur
Tahun 211 SM, jenderal legendaris dari Kartago, Hannibal, mengepung Kota Roma. Saat itu, seluruh Republik Romawi berada di ambang kehancuran di bawah derap kaki pasukannya. Namun tepat saat dia hampir mencapai gerbang kota, menurut catatan Festus, sebuah sosok gaib muncul di langit, memancarkan aura yang membuat Hannibal ketakutan dan mundur secara tiba-tiba.
Peristiwa misterius ini kemudian dikaitkan dengan campur tangan Dewa Rediculus, yang mulai dipuja sebagai “Tuhan Perlindungan untuk Berbalik Arah” (Rediculus Tutanus). Dia melambangkan kekuatan yang memaksa musuh untuk berbalik, bukan melalui serangan, melainkan karena rasa takut atau ilham gaib.
Beberapa versi kisah bahkan menyebut bahwa turunnya hujan es yang mendadak itulah yang menyebabkan kepanikan di pihak pasukan Hannibal, memaksanya membatalkan pengepungan. Untuk memperingati mukjizat ini, rakyat Roma mendirikan sebuah kuil untuk Rediculus di luar Gerbang Capena, dan dia pun dihormati bukan sebagai dewa penyerang, tetapi sebagai penjaga yang membawa ketenangan lewat pemunduran musuh.
Burung Penebar Salam yang Menyentuh Ribuan Hati
Berabad-abad kemudian, nama Rediculus kembali menggema, kali ini bukan karena peperangan, melainkan karena seekor burung gagak.
Dalam catatan penulis Romawi Pliny the Elder, suatu hari seekor gagak terbang masuk ke toko seorang tukang sepatu di Roma. Tukang sepatu tersebut memeliharanya dengan kasih sayang, bahkan mengajarinya bicara. Burung itu ternyata sangat cerdas; dia mempelajari kata-kata sapaan dan setiap pagi terbang ke tengah kota menyapa para pejabat, termasuk kaisar, lalu kembali ke rumah tukang sepatu seperti seorang utusan yang setia.
Namun, ketenaran tak pernah datang tanpa harga. Seorang tukang sepatu lain yang iri melihat toko tetangganya jadi ramai karena si burung, membunuhnya dengan keji, lalu menyebarkan alasan palsu untuk menutupi perbuatannya.
Tindakan ini memicu kemarahan besar dari rakyat. Massa mengusir sang pembunuh dari lingkungan itu, dan bahkan menghukumnya dengan berat. Sementara itu, pemakaman gagak tersebut diadakan dengan sangat megah—ratusan bunga menghiasi tubuhnya, dan ribuan warga hadir untuk mengantar kepergiannya. Di tempat peristirahatan terakhir burung tersebut, didirikan sebuah makam dan diberi nama: “Ladang Rediculus”.
Nama ini tidak lagi hanya mengacu pada kuil atau medan perang, melainkan simbol penghormatan bagi kelembutan, kecerdasan, dan kesetiaan, serta peringatan terhadap kebencian dan kedengkian.
Kekuatan untuk Berbalik Arah: Gema dari Zaman ke Zaman
Rediculus—dewa yang membuat musuh berbalik arah—adalah juga lambang kemampuan manusia untuk menengok ke belakang, untuk mengoreksi langkah, untuk membatalkan kejahatan yang sedang tumbuh dalam diri. Dia bukan dewa petir, bukan penunggang kereta perang, dan bukan pencari kemegahan. Ia muncul melalui hujan es, bayangan, dan kematian seekor burung—sebagai pengingat bahwa perlindungan sejati berasal dari dalam hati manusia, dari keputusan untuk memilih kedamaian dan keadilan.
Mungkin kita pun perlu bertanya pada diri sendiri: Dalam upaya kita mengejar ambisi dan kekuasaan, apakah kita pernah terpikir untuk berhenti sejenak dan berbalik arah?
Mungkin, itulah mukjizat sejati dari Rediculus: Kemampuan untuk memilih kebaikan, bahkan di saat yang paling tak terduga.(jhn/yn)