EtIndonesia. Tepat setelah ketegangan perdagangan antara Tiongkok dan AS sedikit mereda, Beijing langsung menggelar pertemuan tingkat tinggi dengan sejumlah negara Amerika Latin dan Karibia. Dalam pidatonya, pemimpin tertinggi Partai Komunis Tiongkok (PKT), Xi Jinping, kembali menyinggung narasi “anti-Amerika” yang dikaitkan dengan sejarah Perang Dingin seputar Terusan Panama. Para pengamat menilai, pidato Xi tak ubahnya seperti memprovokasi dimulainya Perang Dingin gaya baru, dan gerak-gerik aktif PKT di kawasan ini berpotensi memicu reaksi keras dari AS untuk mempercepat pengepungan terhadap Beijing.
Forum Tiongkok-Latin Ke-4 Digelar di Beijing
Pada 13 Mei, Forum Tiongkok -Komunitas Negara-Negara Amerika Latin dan Karibia (China-CELAC Forum) menggelar pertemuan tingkat menteri yang keempat di Beijing. Sekitar 30 negara Amerika Latin hadir. Pertemuan ini dilangsungkan hanya sehari setelah Tiongkok dan AS mengumumkan penurunan tarif sementara dalam perang dagang mereka.
Dalam pidato pembukaannya, Xi Jinping mengungkit kembali peran Tiongkok pada 1960-an dalam mendukung Panama mengambil alih kedaulatan Terusan Panama dari AS, dan menyebutnya sebagai bentuk kerja sama “anti-Amerika” antara Tiongkok dan negara-negara Latin. Dia juga mengatakan bahwa “perang tarif dan perang dagang tidak akan menghasilkan pemenang” serta menyerukan untuk membangun apa yang disebut sebagai “komunitas masa depan bersama Tiongkok -Amerika Latin”.
Namun, analis politik Li Linyi mengatakan kepada Epoch Times, bahwa pernyataan Xi soal Panama adalah peninggalan era Perang Dingin.
“Sekarang ini, PKT tampaknya semakin nekat—begitu perang dagang sedikit mereda, langsung secara terbuka menghasut negara-negara Amerika Latin untuk berkonfrontasi dengan AS. Ini jelas memancing AS untuk menyerang balik dengan lebih agresif. Ini sama saja dengan menyerukan Perang Dingin baru,” ujarnya.
Respons Kritis dari Presiden Brasil
Meskipun Xi Jinping mengumumkan akan menyediakan pinjaman senilai 66 miliar yuan (setara lebih dari 140 triliun rupiah) untuk memperluas pengaruh Tiongkok di Amerika Latin, Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva menegaskan bahwa kawasan tersebut tidak bergantung pada kekuatan besar manapun.
Dia mengatakan: “Penting untuk disadari bahwa nasib Amerika Latin tidak tergantung pada siapa pun—baik Presiden Xi, Amerika Serikat, maupun Uni Eropa. Yang terpenting adalah apakah kita ingin menjadi bangsa besar atau tetap kecil.”
Lula juga menegaskan bahwa Amerika Latin tidak ingin mengulang sejarah dan memulai Perang Dingin baru.
Terusan Panama Jadi Titik Panas Baru
Terusan Panama yang dibangun AS selama puluhan tahun dan diresmikan pada 1914, diserahkan kepada Panama pada 31 Desember 1999 melalui perjanjian yang ditandatangani Presiden Jimmy Carter pada 1977.
Sejak menjabat lagi sebagai presiden,Trump berulang kali menyatakan keinginan untuk merebut kembali kendali atas Terusan Panama, karena dianggap sangat penting bagi akses militer AS dan pengaruh strategis di wilayah tersebut. Trump menilai bahwa menjaga jalur aman bagi militer AS dan membatasi pengaruh Beijing di kawasan itu adalah hal yang vital.
Kini, persaingan pengaruh antara Tiongkok dan AS di kawasan Terusan Panama kian memanas. Beijing memperketat pengawasan terhadap rencana penjualan pelabuhan di Panama oleh miliarder Hong Kong Li Ka-shing kepada konsorsium milik BlackRock dari AS.
Proyek Ambisius “Kereta Dua Samudra”
Presiden Brasil Lula tiba di Tiongkok pada 10 Mei. Sebelum kunjungan tersebut, Tiongkok mencabut larangan impor terhadap lima perusahaan kedelai Brasil. Kemudian pada 13 Mei, Beijing dan Brasil menandatangani 20 dokumen kerja sama.
Media Tiongkok Guancha mengutip laporan dari media Brasil Carta Capital bahwa Pemerintah Brasil sedang dalam pembicaraan aktif dengan Tiongkok untuk membangun proyek ambisius: jalur kereta api lintas benua sepanjang 5.000 km yang menghubungkan pesisir timur Brasil dengan Pelabuhan Chancay di pantai barat Peru—dijuluki sebagai “Kereta Dua Samudra”.
Analis: PKT Sedang Memancing AS
Pakar isu Tiongkok, Wang He, mengatakan kepada Epoch Times bahwa PKT memang sengaja mencari masalah dengan AS.
“Selama puluhan tahun terakhir, Tiongkok telah menyusup jauh ke dalam struktur politik dan ekonomi Amerika Latin. Sekarang, pengaruhnya cukup besar untuk digunakan sebagai alat tawar guna memaksa AS membuat konsesi tarif,” katanya.
Namun, Wang juga menekankan bahwa PKT tidak akan berani membangkitkan krisis seperti Krisis Rudal Kuba tahun 1960-an, sebagaimana dilakukan Uni Soviet dahulu.
Sebagai catatan, Krisis Rudal Kuba (1962) adalah konfrontasi besar antara AS dan Uni Soviet saat era Perang Dingin, ketika Moskow menempatkan rudal nuklir di Kuba sebagai respons atas rudal AS di Turki dan Italia.
AS Dorong Kawasan Menjauhi Tiongkok
Pada Februari lalu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio melakukan kunjungan ke Panama, El Salvador, Kosta Rika, Guatemala, dan Republik Dominika untuk mempromosikan agenda diplomasi “America First” dari Presiden Trump.
Setelah bertemu dengan Presiden Panama, José Raúl Mulino, Panama mengumumkan keluar dari inisiatif “Belt and Road” yang dipimpin oleh Beijing dan akan memperkuat kerja sama strategis dengan AS.
Survei oleh International Republican Institute pada 2021 menunjukkan bahwa 62% warga Panama menganggap AS sebagai mitra politik terpenting mereka, sementara hanya 22% yang memilih Tiongkok.
Duta Besar AS yang baru untuk Panama, Kevin Cabrera, dalam konferensi pers pada 8 Mei 2025 menyatakan komitmennya untuk memperkuat hubungan bilateral, dan menyebut Tiongkok (PKT) sebagai ancaman bersama bagi AS dan Panama.
Penutup: PKT Justru Menyulut Reaksi Global
Wang He menambahkan bahwa setelah Trump berhasil mengatur ulang tatanan ekonomi global lewat kebijakan tarif imbang, AS akan mendorong relokasi industri ke dalam negeri dan menyusun ulang relasi ekonominya dengan Amerika Latin. Saat ini, AS masih menjadi mitra dagang terbesar kawasan, diikuti oleh Tiongkok di posisi kedua. Namun dengan langkah agresif Tiongkok, Wang memperkirakan bahwa Trump akan mendorong terbentuknya aliansi global tarif melawan Tiongkok—dan ini akan menjadi bumerang besar bagi PKT.
Sementara itu, peneliti Taiwan dari Institut Riset Keamanan Nasional, Gong Xiangsheng, mengatakan bahwa meski perang tarif saat ini “ditangguhkan”, pertarungan geopolitik antara AS dan Tiongkok tetap berlangsung. Ia menilai AS tidak akan melepaskan Amerika Latin begitu saja, hanya saja pendekatannya dimulai dari jalur perdagangan sebelum bergerak ke konfrontasi lebih keras. (jhn/yn)