Uji klinis baru menunjukkan bahwa terapi kognitif berbasis mindfulness memperbaiki gejala pada pasien dengan depresi yang menetap setelah pengobatan standar
George Citroner
Terapi berbasis mindfulness memberikan kelegaan secara signifikan bagi pasien yang tetap mengalami depresi setelah gagal merespons pengobatan konvensional, menurut sebuah uji klinis terbaru.
Studi tersebut menemukan bahwa sesi mindfulness jarak jauh mampu memperbaiki gejala depresi, yang berpotensi memberikan harapan baru bagi ratusan ribu pasien yang selama ini dianggap telah berada di “jalan buntu” dalam pilihan pengobatan psikologis mereka.
Manfaat Terukur Setara dengan Obat
Studi ini menemukan bahwa terapi kognitif berbasis mindfulness (Mindfulness-Based Cognitive Therapy/MBCT) — bentuk pengobatan kesehatan mental yang menggabungkan praktik meditasi dengan prinsip terapi perilaku kognitif (CBT) — secara signifikan meningkatkan gejala depresi dibandingkan dengan pengobatan standar.
MBCT menggabungkan meditasi dan praktik mindfulness, seperti belas kasih terhadap diri sendiri, dengan CBT, yang membantu individu mengubah pola pikir negatif.
Uji coba ini melibatkan lebih dari 200 pasien di seluruh Inggris yang sebelumnya telah menjalani terapi bicara (talk therapy) dan mengonsumsi antidepresan, tetapi tetap berjuang melawan depresi.
Peserta dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok intervensi menerima sesi MBCT sebagai tambahan dari pengobatan standar. Sesi ini berfokus pada pengembangan keterampilan mindfulness dan pengelolaan emosi yang sulit. Sementara itu, kelompok lainnya melanjutkan perawatan biasa mereka, yang mencakup kombinasi antidepresan dan terapi bicara.
Enam bulan kemudian, mereka yang menerima MBCT menunjukkan peningkatan skor depresi yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang hanya menjalani perawatan standar.
Kelompok yang menerima MBCT ditambah pengobatan biasa memiliki skor depresi yang rata-rata 2,5 poin lebih rendah pada Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9), alat skrining depresi yang banyak digunakan.
Terapi MBCT Jarak Jauh Sama Efektifnya
Penyampaian MBCT secara jarak jauh dapat “sangat efektif,” terutama bagi orang yang mungkin tidak bisa menghadiri sesi secara langsung karena lokasi, keterbatasan waktu, atau masalah kesehatan mental, kata Dr. Sanam Hafeez, neuropsikolog dan direktur Comprehend the Mind di New York, yang tidak terlibat dalam studi ini, kepada The Epoch Times.
“Mampu bergabung dari rumah justru bisa membantu sebagian orang merasa lebih nyaman untuk terbuka,” ujarnya. “Jika sesi disusun dengan baik dan kelompoknya terlibat aktif, dampaknya bisa sama kuatnya.”
Mengapa MBCT Efektif untuk Depresi yang Persisten
MBCT sangat membantu bagi mereka yang mengalami depresi berulang atau persisten, terutama jika mereka masih memiliki gejala setelah pengobatan standar, kata Erik Larson, perawat spesialis kejiwaan bersertifikat dan pemilik Larson Mental Health, yang juga tidak terlibat dalam studi tersebut.
Terapi ini awalnya dikembangkan untuk mencegah kekambuhan pada mereka yang mengalami depresi berulang, karena MBCT mengajarkan cara berpikir yang berbeda terhadap pikiran dan emosi negatif — bukan mencoba menghilangkannya.
Meskipun MBCT paling efektif bagi mereka yang sering merenung berlebihan (overthinking) atau merasa kewalahan oleh stres, para ahli memperingatkan bahwa terapi ini memerlukan kestabilan emosional dan latihan yang konsisten. Karena itu, terapi ini tidak cocok untuk pasien dalam krisis akut atau yang mengalami gejala psikotik.
“[MBCT] membantu orang mengenali pikiran negatif yang bersifat mengkritik diri sendiri sebagai sekadar pikiran, bukan sebagai fakta, sehingga membantu mengurangi dampak emosionalnya,” ujar rekan penulis Profesor Clara Strauss dari University of Sussex. “Terapi ini membantu orang menjadi lebih menerima terhadap pengalaman sulit mereka dan lebih ramah terhadap diri sendiri.”
MBCT Bisa Dikombinasikan dengan Terapi Lain
Hafeez mengatakan MBCT dapat dikombinasikan dengan pengobatan lain.
“Banyak orang sudah mengonsumsi obat, dan ini bisa memberikan dukungan tambahan,” ujarnya. “MBCT tidak menggantikan terapi seperti CBT, tetapi menambahkan lapisan baru. Bahkan ada yang merasa terapi ini membantu mereka lebih sedikit bergantung pada obat seiring waktu.”
Depresi yang sulit diobati (treatment-resistant depression) memengaruhi sekitar 30 persen dari seluruh penderita gangguan depresi mayor.
Mary Ryan, penasihat pasien sekaligus rekan penulis yang telah bekerja dengan tim riset sejak awal, menekankan dalam pernyataannya betapa pentingnya temuan ini bagi pasien yang sebelumnya merasa telah kehabisan pilihan pengobatan.
Ia mengatakan banyak orang diberi tahu bahwa mereka telah mencapai “akhir jalan” dalam pengobatan psikologis mereka dan tidak ada pilihan lain yang tersisa.
“Temuan dari uji coba ini sangat penting karena kita memberi tahu kelompok orang ini bahwa mereka tetap berarti — bahwa masih ada sesuatu yang bisa dicoba dan mungkin berhasil bagi mereka,” ujarnya. (asr)