EtIndonesia. Dari praktik spiritualisme di Barat hingga kepercayaan akan arwah leluhur dalam budaya masyarakat adat, banyak tradisi di dunia mempercayai bahwa di balik kehidupan duniawi, terdapat kekuatan pelindung dari alam roh yang senantiasa mendampingi manusia dalam menjalani perjalanan hidupnya.
Pada awal abad ke-20, Perang Dunia Pertama dan pandemi flu Spanyol merenggut jutaan nyawa. Rasa kehilangan yang begitu mendalam terhadap orang-orang tercinta mendorong masyarakat Barat pada masa itu untuk mencari penghiburan lewat praktik spiritualisme—mereka berharap dapat berkomunikasi kembali dengan para almarhum melalui perantara (medium) spiritual.
Sir Arthur Conan Doyle: Dari Detektif Fiksi ke Spiritisme
Sir Arthur Conan Doyle, penulis terkenal yang menciptakan tokoh detektif legendaris Sherlock Holmes dalam novel A Study in Scarlet (1887), hidup pada masa tersebut. Namun kehidupan nyata yang dia jalani jauh lebih menyakitkan dibandingkan kisah fiksi yang dia tulis. Kedua putranya meninggal—satu dalam perang dan satu lagi akibat penyakit paru-paru.
Pada tahun 1919, Doyle menghadiri sebuah sesi pemanggilan arwah. Dalam pengalaman tersebut, dia mengaku mendengar suara putranya yang telah meninggal, bahkan merasakan kecupan lembut sang anak di dahinya. Momen itu menjadi titik balik—Doyle percaya bahwa itu adalah bukti nyata bahwa jiwa tetap hidup setelah kematian. Sejak saat itu, dia mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan keyakinan akan keberadaan roh dan mempromosikan spiritisme kepada masyarakat luas.
Kesaksian Ilmuwan Inggris: Roh yang Tertangkap Kamera
Sebelum Doyle, seorang ilmuwan terkemuka Inggris bernama William Crookes juga terlibat dalam penelitian fenomena spiritual. Dia bekerja sama dengan seorang medium wanita bernama Florence Cook, yang mengaku bisa memanggil roh pelindung bernama Katie King.
Untuk mencegah kemungkinan penipuan, Crookes memutuskan untuk menyelenggarakan sesi pemanggilan arwah di rumahnya sendiri. Semua peserta yang hadir adalah teman dan kerabat terpercaya. Peralatan fotografi pun dipersiapkan langsung olehnya.
Di hadapan para saksi, muncul sesosok perempuan muda yang diyakini sebagai roh Katie King. Roh tersebut tak hanya dapat berbicara dan berjalan, tapi juga bisa diukur denyut nadinya, ditimbang berat badannya, bahkan difoto. Yang paling mencengangkan—saat Katie King bergerak di dalam ruangan, sang medium Florence Cook ditemukan tak sadarkan diri di balik tirai. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya bukanlah orang yang sama.
Crookes berhasil mengambil 44 foto penampakan roh. Meskipun semasa hidup dia berjanji pada “Katie King” untuk tidak mempublikasikan foto-foto itu, setelah kematiannya, foto-foto tersebut akhirnya dipublikasikan dan menimbulkan kehebohan besar. Bukti-bukti tersebut sulit dijelaskan sebagai halusinasi atau rekayasa semata.
Selaksa Makhluk Memiliki Roh: Pandangan Masyarakat Adat
Namun, kepercayaan akan keberadaan roh tidak hanya ada di dunia Barat. Dalam pandangan dunia banyak masyarakat adat, roh bukanlah entitas yang jauh atau asing, melainkan bagian dari keseharian hidup. Mereka percaya bahwa segala sesuatu memiliki roh—baik hewan yang hidup di hutan maupun roh leluhur suku—yang bertugas menjaga keseimbangan, keamanan, dan keteraturan komunitas.
Dalam banyak budaya tersebut, medium spiritual (biasanya perempuan) dianggap sebagai sosok yang bisa berkomunikasi langsung dengan dunia roh. Mereka dipercaya bisa menyampaikan pesan, restu, dan peringatan dari para leluhur. Peran mereka sangat penting, bahkan menjadi penjaga warisan budaya dan spiritual komunitas.
Keyakinan yang Melampaui Zaman dan Budaya
Baik itu melalui kesaksian William Crookes yang melihat roh dengan mata kepala sendiri, maupun kepercayaan tulus masyarakat adat terhadap leluhur mereka, keduanya mencerminkan kerinduan dan keyakinan mendalam umat manusia akan keberadaan roh pelindung.
Konsep “roh pelindung” atau “dewa penjaga” tak mengenal batas waktu dan budaya. Dia bukan sekadar penghibur batin, tetapi merupakan jembatan spiritual antara manusia dan dimensi yang tak terlihat.
Barangkali, pertanyaan tentang keberadaan roh tidak semestinya hanya berkisar pada “apakah kita bisa melihatnya?”, melainkan “apakah kita memilih untuk percaya?”. Mungkin saja, di sudut-sudut kehidupan yang tak mampu kita tangkap secara inderawi, ada kekuatan yang terus menjaga, membimbing, dan menguatkan langkah kita—tanpa suara, tanpa bentuk, namun selalu hadir. (jhn/yn)