Ketika berita muncul Juli lalu bahwa penduduk di Xinjiang, yang terletak di perbatasan barat laut Tiongkok, diminta untuk memasang aplikasi pengawasan ke ponsel mereka, hal itu menarik perhatian Open Technology Fund (OTF), sebuah program yang didanai pemerintah AS dalam meneliti dan mengembangkan teknologi kebebasan internet.
Pada tanggal 9 April, OTF menerbitkan analisis tentang kemampuan teknologi aplikasi, yang mengungkapkan perluasan dimana aplikasi tersebut dapat melacak dan memantau aktivitas-aktivitas para pengguna telepon.
Pada bulan Juli 2017, Radio Free Asia (RFA) pertama kali melaporkan bahwa pihak berwenang di distrik Tianshan Kota Urumqi, ibu kota Xinjiang, telah mengeluarkan pemberitahuan kepada penduduk, meminta agar semua pengguna ponsel Android di Urumqi mengunduh aplikasi bernama “Jingwang Weishi,” yang diterjemahkan menjadi “pembela internet yang bersih” dalam bahasa Mandarin.
Aplikasi tersebut dikembangkan bersama antara polisi Urumqi dengan perusahaan teknologi Tiongkok, menurut salinan pemberitahuan yang diperoleh oleh RFA.
Aplikasi tersebut akan dapat mendeteksi “audio, video, foto, ebook, dan file elektronik lainnya yang berbahaya” yang terkait dengan “kekerasan, teror, dan agama ilegal,” katanya. Aplikasi kemudian akan meminta pengguna untuk menghapus file-file tersebut. Jika pengguna tidak segera menghapusnya, “pengguna akan ditangkap untuk bertanggung jawab secara hukum.”
Wilayah Xinjiang telah lama menjadi sasaran penindasan tangan besi oleh rezim Tiongkok. Dalam beberapa tahun terakhir, kekerasan antara etnis minoritas Uighur dengan Han Tiongkok, yang merupakan etnis mayoritas di Tiongkok, telah berhadapan dengan cara-cara polisi yang keras.
Penduduk Xinjiang tunduk pada pengawasan dalam kehidupan sehari-hari mereka, dari hadirnya keamanan yang kontinyu di area publik, hingga persyaratan untuk mendaftarkan informasi ID mereka untuk pembelanjaan toko. Dalam beberapa bulan terakhir, para warga telah ditahan di “pusat-pusat pendidikan politik,” di mana mereka dipaksa untuk melihat isi propaganda yang mempromosikan identitas Tiongkok, menurut Human Rights Watch.
Aplikasi baru tersebut adalah bentuk pengawasan terbaru yang menggunakan inovasi teknologi tinggi. Penyebutan “teror” dalam pemberitahuan tersebut dapat menjadi referensi untuk pelabelan rezim Tiongkok terhadap orang-orang Uighur, mayoritas di antaranya adalah Muslim, sebagai ancaman teror, yang merupakan pembenaran rezim untuk menganiaya orang-orang Uighur dan menekan keyakinan mereka.
Pada bulan Juli, RFA telah melaporkan bahwa 10 wanita dari etnis Kazakh ditangkap setelah mengunduh “Jing Wang.” Polisi mengatakan kejahatan mereka adalah memposting konten yang dianggap tidak pantas oleh pemerintah di WeChat, sebuah platform media sosial Tiongkok yang populer.
OTF telah melakukan audit keamanan terhadap aplikasi tersebut dan menemukan bahwa aplikasi itu dapat mengekstrak informasi tentang model ponsel, ID pelanggan, nama file, dan spesifikasi lainnya. Memungkinkan pihak ketiga untuk dengan mudah melacak perangkat mobile dan isi kontennya.
Dengan “Jing Wang” telah dipasang, setiap file yang disimpan di perangkat seluler dikirim ke server pemerintah untuk pemantauan.
Aplikasi tersebut memindai penyimpanan eksternal perangkat tersebut untuk file-file, mencatat nama-nama file, ukuran, jalur, dan spesifikasi-spesifikasi lainnya, kemudian membandingkannya dengan daftar pengenal dari server tersebut. Jika aplikasi mengidentifikasi file tersebut “mencurigakan”, ia akan meminta pengguna untuk menghapusnya.
OTF juga menemukan bahwa informasi yang dikirim ke server pemerintah adalah dalam bentuk plaintext, yang berarti “seseorang dengan tingkat pengetahuan teknis yang rendah” dapat dengan mudah mencegat dan memanipulasi data tersebut.
“Teknik seperti itu dapat dengan mudah diperluas ke seluruh populasi Tiongkok atau ke lingkungan represif lainnya,” kata OTF memperingatkan.
Organisasi tersebut telah menerbitkan daftar Jing Wang tentang para pengidentifikasi yang telah ditargetkan dengan harapan agar pakar teknologi dapat membantu menentukan jenis konten apa yang dianggap “berbahaya” oleh aplikasi tersebut. (ran)
ErabaruNews