oleh Wu Ying
Konflik perdagangan AS – Tiongkok yang sedang terjadi ini menjadi fokus sorotan perhatian dunia.
Pemerintah AS menaikkan tarif komoditas impor dari Tiongkok sebagai hukuman atas pencurian hak kekayaan intelektual langsung dibalas dengan tindakan serupa oleh pemerintah Tiongkok.
Otoritas Beijing bahkan mengklaim akan memberikan perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Para ahli mengatakan bahwa konflik tersebut mencerminkan ketidakpedulian pemerintah Tiongkok komunis terhadap WTO dan menguak sendiri borok dalam dunia perdagangannya.
Data perdagangan menunjukkan Tiongkok tak akan bertahan sampai titik darah penghabisan
Setelah Robert Lighthizer pada 3 April 2018 mengumumkan kenaikan tarif 25 % terhadap 1.300 jenis komoditas impor dari Tiongkok yang jumlahnya mencapai 50 miliar Dolar AS. Beijing langsung membalas pada esok harinya dengan menaikkan tarif 106 jenis komoditas impor dari AS, termasuk kedelai, pesawat Boeing, mobil, daging sapi, sorgum dan lainnya.
Kenaikan tarif pada komoditas tersebut bakal berdampak buruk langsung pada negara-negara bagian AS yang selama ini mendukung Donald Trump. Jumlah total ekspor AS ke Tiongkok untuk jenis komoditas tersebut pada tahun lalu mencapai 23 miliar Dolar AS.
Presiden Trump pada 5 April mengatakan bahwa dia telah memerintahkan perwakilan perdagangan (Robert Lighthizer) untuk mempertimbangkan kelayakan penambahan tarif atas komoditas impor dari Tiongkok sebesar 100 miliar dolar AS.
Jika kajian nantinya dapat disetujui oleh pemerintahan Trump, maka Amerika Serikat akan memberlakukan tarif minimal 25% untuk barang-barang impor dari Tiongkok yang mempunyai nilai total sebesar 150 miliar Dolar AS.
Keesokan harinya (06/04/2018), Kementerian Perdagangan Tiongkok langsung mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa untuk tindakan sepihak AS, pihak Tiongkok tidak akan ragu untuk melakukan serang balik dengan segala cara.
Menurut statistik pemerintah federal AS, jumlah total ekspor AS ke Tiongkok pada tahun 2017 adalah 130.4 miliar dolar AS sedangkan jumlah impor barang dari Tiongkok mencapai 505.6 miliar sehingga mengalami defisit sebesar 375.2 miliar dolar AS.
Jumlah impor Tiongkok dari Amerika Serikat adalah 130 miliar dolar AS. Jika Amerika Serikat meningkatkan pajak atas 150 miliar Dolar AS komoditas impor dari Tiongkok.
Jika Tiongkok kemudian ingin menyerang balik dengan mengenakan kenaikan tarif senilai apa yang diperlakukan oleh pemerintah AS, apakah tidak berarti pemerintahan Tiongkok sendiri yang ingin menjatuhkan diri ke dalam situasi yang sulit?
Senjata cukup besar yang digenggam Tiongkok untuk melawan AS tak lain adalah kedelai. Dan menurut Peterson Institute for statistik Ekonomi Internasional, bahwa sekitar 62 % produksi kedelai AS diekspor ke Tiongkok.
Jumlah ekspor kedelai AS ke Tiongkok tahun lalu mencapai 14 miliar Dolar AS, Hampir sebanding dengan nilai ekspor pesawat Boeing (sekitar 14,3 miliar) dan mobil (sekitar 10 miliar) ke Tiongkok.
Wall Street Journal melaporkan bahwa sengketa dalam perdagangan AS – Tiongkok masih terus meluas.
Pemerintah Tiongkok sepertinya ingin ‘memukul’ AS lewat produk pertanian, tetapi akhirnya yang terkena getahnya adalah industri mereka sendiri.
China WH Group dan COFCO (China National Cereals, Oils and Foodstuffs Corporation) tiba-tiba dijadikan papan dart oleh pemerintah Tiongkok.
Pakar : Sikap pemerintah Tiongkok memusuhi WTO sepenuhnya terungkap
Douglas Bulloch, seorang pakar politik dan ekonomi Tiongkok pada 11 April dalam artiketnya yang dipublikasikan oleh Forbes menyebutkan bahwa, Trump terus memenuhi janji-janji yang ia ucapkan dalam kampanyenya menjadi presiden.
Salah satu di antaranya adalah menyelesaikan masalah ketidakadilan perdagangan antara AS dengan Tiongkok.
Sebagai seorang pemimpin yang paling berkuasa di dunia, Presiden Trump sedang mengerahkan kekuatan besar yang dimiliki Amerika Serikat untuk mencapai tujuan tersebut.
Douglas Bulloch menyebutkan, tindakan pembalasan yang dilakukan pemerintah Beijing terhadap menaikkan tarif impor barang Tiongkok oleh pemerintah Washington telah terprediksi sebelumnya.
Tetapi hal ini justru mengungkapkan ketidakpedulian dan sikap permusuhan Tiongkok terhadap WTO.
Setelah Perang Dunia II, lebih dari dua puluh negara menandatangani perjanjian GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), berharap dengan menetapkan norma-norma yang disepakati internasional untuk melaksanakan perdagangan dan pembangunan.
Melalui GATT semua negara di dunia akan mampu mempromosikan koeksistensi damai untuk menghindari terulangnya politik beggar-thy-neighbor yang diadopsi negara-negara yang terkena Depresi Besar pada tahun 1930-an sehingga menyulut Perang Dunia Kedua.
GATT mulai berlaku pada tahun 1948 dan baru pensiun setelah terbentuknya WTO pada tahun 1995.
WTO dengan semangat GATT terus memimpin negara-negara dunia untuk memelihara ketertiban perdagangan internasional melalui prinsip liberalisasi progresif dan non-diskriminasi, dan secara bertahap membuka pasar barang dan jasa.
Bagi Amerika Serikat dan mayoritas anggota WTO, lembaga ini adalah mempromosikan pengambilan keputusan yang berorientasikan perkembangan pasar.
Negara-negara melalui putaran dialog dan negosiasi untuk mengurangi hambatan masuk pasar dan memperkuat arus bebas investasi dan barang, sehingga operasi perusahaan swasta dapat bebas dari campur tangan politik.
Namun, menurut Douglas Bulloch bahwa bagi Tiongkok, perdagangan adalah kekuatan pendorong untuk kemakmurannya. Hanya aturan perdagangan yang sejalan dengan kepentingannya sendiri yang mereka ijinkan.
Oleh karena itu kecuali jika berada di bawah tekanan, otoritas Beijing tidak akan dengan mudah membuat komitmen untuk membuka pasarnya. Sekalipun janji-janji sudah dilontarkan, mereka juga tidak akan merealisasikan secara serius.
Menurut Douglas Bulloch bahwa karena mengabaikan WTO, selama ini pemerintah Tiongkok menggunakan psikologis keinginan besar perusahaan asing memasuki pasar Tiongkok. Tanpa malu-malu lagi mencuri teknologi, membatasi kepemilikan asing, memaksa transfer teknologi, atau memanipulasi pasar sewenang-wenang.
Investor asing untuk memasuki pasar Tiongkok hanya dijinkan jika membentuk perusahaan patungan, mau bekerja sama dan menyesuaikan diri dengan apa saja yang diminta pemerintah komunis itu.
Dalam artikel itu, Douglas Bulloch menulis : Sampai ada negara anggota WTO yang mengeluh soal isu proteksionis atau pelanggaran hak asasi manusia, maka pemerintah Tiongkok akan segera mengincar perusahaan dari negara tersebut yang berinvestasi di Tiongkok, untuk menuntut perusahaan tersebut melanggar hukum (biasanya dengan menggunakan peraturan-peraturan yang belum pernah diketahui investor asing).
Amerika Serikat baru-baru ini menuntut Tiongkok ke WTO mengenai keharusan perusahaan asing di Tiongkok untuk transfer teknologi adalah perbuatan yang melanggar peraturan WTO.
Hal tersebut pada kenyataannya sudah cukup lama berjalan di Tiongkok. Namun, selama bertahun-tahun sebagian besar perusahaan asing tidak berani menuntut Tiongkok lantara takut mereka akan diusir dari pasar Tiongkok.
Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) baru-baru ini telah merampungkan laporan tentang pencurian hak kekayaan intelektual AS oleh pemerintah Tiongkok.
Laporan menyebutkan bahwa Amerika Serikat setiap tahunnya dirugikan sebesar antara 225 hingga 600 miliar Dolar AS karena pencurian hak kekayaan intelektual oleh pihak Tiongkok.
Pemerintahan Trump dengan hati-hati menimbang kerugian Amerika Serikat dan mengambil tindakan untuk mengatasi kerugian dengan tidak melanggar aturan WTO, termasuk menaikkam tarif atas komoditas impor dari Tiongkok. Menuntut Tiongkok lewat WTO, serta mengembangkan langkah-langkah untuk membatasi investasi Tiongkok.
Douglas Bulloch menyebutkan, menghadapi rencana kenaikan tarif impor oleh AS yang baru ramai di bicarakan media, sikap pertama yang ditampilkan otoritas Beijing adalah melakukan serangan balik semaksimum mungkin, tetapi bukan interopeksi apakah ia sudah membela prinsip-prinsip perdagangan bebas WTO dan mempertahankan hak-hak mereka di bawah kerangka WTO.
Aksi Pembalasan Tiongkok justru menguak sendiri borok dalam dunia perdagangannya
Yang lebih celaka adalah, sebagian besar barang-barang yang diimpor Tiongkok adalah untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri. Impor kedelai adalah contoh yang paling jelas.
Pemerintah Tiongkok melonggarkan batasan impor kedelai yang merupakan pakan utama ternak yang menghasilkan daging bagi pasar kebutuhan mereka sendiri.
Jika tarif impor kedelai dinaikkan otoritas Beijing, yang pasti AS tidak kesulitan untuk menjual kedelainya, tetapi harga daging di Tiongkok akan naik dan mendorong tingkat inflasi.
Setelah Beijing mengancam akan meningkatkan tarif impor kedelai AS, meskipun pembeli Tiongkok dapat beralih ke Brazil untuk membeli kedelai murah, tapi itu tidak mempengaruhi transaksi kedelai AS.
Pada Jumat (6/04/2018) Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menegaskan pedagang dari luar Tiongkok telah membeli 458.000 ton kedelai AS, tetapi tidak mengungkapkan informasi pembeli.
Sejumlah pedagang dan analis biji-bijian mengatakan bahwa pembeli dari transaksi ini berasal dari pengolah kedelai termasuk negara-negara Eropa seperti Belanda dan Jerman.
Jika berita itu benar, maka transaksi ini akan menjadi transaksi kedelai terbesar oleh pembeli Eropa dari Amerika Serikat selama lebih dari 15 tahun terakhir.
Konflik perdagangan AS – Tiongkok baru-baru ini telah menguak borok Tiongkok. Pemerintah komunis selama ini telah berbuat sewenang-wenang terhadap investor asing yang ingin memasuki pasar Tiongkok yang besar. Selain itu, Tiongkok juga bertindak jauh dari prinsip-prinsip perdagangan bebas WTO, Mengurangi negara lain menikmati manfaat dalam kerangka WTO.
Situasi ini telah mencapai ekstrem sekarang, dan semua negara mengharapkan pemerintah Tiongkok mau mematuhi komitmennya kepada WTO.
Namun, Partai Komunis Tiongkok yang mengendalikan pemerintahan justru terus bertindak yang bertentangan dengan internasional, melakukan tindak pembalasan terhadap negara yang menentang Tiongkok, termasuk menolak mereka untuk memasuki pasar Tiongkok, dan menerapkan embargo selektif.
Praktik pemerintah Tiongkok seperti ini, sudah tidak asing lagi bagi banyak negara anggota WTO seperti Norwegia dan Korea Selatan, negara-negara tersebut selama bertahun-tahun membuat jengkel Beijing sehingga terkena balas dendam dari pemerintah Tiongkok.
Yang membedakan mereka dengan Amerika Serikat adalah bahwa perdagangan antara Tiongkok dengan mereka tidak memiliki angka defisit besar, dan mereka juga tidak memiliki kekuatan untuk menentang RRT.
Presiden Trump berulang kali menegaskan bahwa perdagangan tidak adil dengan Tiongkok harus segera dihentikan, defisit perdagangan harus diperkecil. Trump mungkin sadar bahwa defisit perdagangan besar adalah dukungan kuat untuk konflik perdagangan AS – Tiongkok.
Douglas Bulloch di akhir artikelnya menyebutkan, melalui perkembangan situasi sengketa kian jelas terlihat bahwa meskipun otoritas Beijing berkoar menuju kerjasama yang saling menguntungkan, tetapi maksud sebenarnya mereka adalah untuk menunjukkan kekuatannya memiliki daya ancaman yang lebih besar.
Bagaimanapun, ketika administrasi Trump melipatgandakan ancamannya dan meningkatkan jumlah nilai tarif yang melebihi impor tahunan Tiongkok dari Amerika Serikat, borok-borok pemerintah Tiongkok komunis itu terkuak secara jelas. (Sinatra/asr)