Epochtimes.id- Baru saja penyerangan di Mako Brimob Depok yang menyebabkan 5 anggota Polri gugur, disusul dengan aksi terorisme dengan bom bunuh diri yang menyasar setidaknya 3 gereja di Surabaya, yaitu Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, Gereja Pantekosa Pusat Surabaya pada hari Minggu, 13 Mei 2018 dan berlanjut di Rusunawa Sidoarjo dan Mapolrestabes Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/05/2018 ).
Dari rangkaian pengeboman tersebut, data kepolisian setidaknya terdapat 18 orang tewas, 40 orang luka, dimana korbannya mencakup aparat keamanan/polisi, pelaku, dan warga sipil termasuk perempuan, bahkan anak-anak. Serangan bom bunuh diri ini dilakukan oleh setidaknya 3 keluarga di mana perempuan terlibat menjadi “pelaku” dan melibatkan anak-anak.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, dalam berbagai peristiwa terorisme di Indonesia sejumlah Perempuan ditangkap sebagai pelaku, sebagian sedang menjalani proses pengadilan dan sebagian lainnya sedang menjalani hukuman akibat tindak pidana terorisme.
Komnas Perempuan menilai pada tahun 2016, setidaknya ada 2 perempuan yang gagal melakukan aksi pengeboman di istana, dan yang ditangkap di Purworejo karena terindikasi akan melancarkan aksi bom bunuh diri di luar Jawa. Aksi pengeboman di Surabaya adalah kasus pertama dimana pelaku perempuan berhasil melakukan aksi bunuh diri, meskipun tidak sendiri tapi bersama dengan keluarganya.
Dalam pandangan Komnas Perempuan dari hasil pengaduan, konsultasi dengan para mitra penggiat isu perdamaian, bahwa berbagai pihak perlu melihat lebih jauh akar persoalan dibalik keterlibatan Perempuan sebagai pelaku, sebagai target perekrutan untuk diindoktrinasi dan menjadi alat ideologi, hingga dijadikan martir dengan melakukan kekerasan.
“Terlepas bahwa ada kerelaan karena dorongan keyakinan, namun keterlibatan mereka tidak bisa dilepaskan dari relasi dan hirarki gender yang timpang, serta doktrin kepatuhan yang melemahkan posisi tawar Perempuan di tengah budaya maskulin dalam lingkaran jaringan kelompok radikal,” tulis Komnas Perempuan dalam rilisnya.
Komnas Perempuan mengkhawatirkan bahwa trend perekrutan Perempuan menjadi pelaku bom ini karena asumsi bahwa perempuan berpotensi lebih militan, manipulasi agar tidak mudah dicurigai untuk alasan keamanan, dan memanfaatkan peran perempuan sebagai ibu yang strategis untuk mentransmisikan ideologi radikal dan mempersiapkan anak-anak menjadi martir.
Berdasarkan temuan Komnas Perempuan dalam program tinjau ulang (revisit) di wilayah-wilayah “post konflik” di Indonesia untuk konteks 20 tahun reformasi, bahwa konflik yang berkekerasan mewariskan dan mengajari budaya kekerasan pada bangsa kita.
Penyelesaian konflik yang tidak tuntas, para pelaku yang impun, tidak adanya pemulihan bagi para korban konflik, ternyata menjadi ladang subur tumbuhnya paham-paham radikalisme. Selain itu Komnas Perempuan juga menerima pengaduan Perempuan korban bom Bali dan membuat konsultasi dengan Perempuan korban terorisme pengeboman di JW Marriot Jakarta.
Dari kedua tragedi tersebut Komnas Perempuan menemukan bahwa aksi terorisme berdampak panjang bagi kehidupan Perempuan korban, baik trauma yang dalam, menjadi disabilitas, keretakan keluarga dan kekerasan seksual oleh pasangan karena kerusakan fisik, hancurnya kehidupan ekonomi, dipaksa menjadi single parent mendadak, sehingga merapuhkan masa depan anak-anak, bahkan ada yang menjadi korban trafficking di luar negeri, karena harus menyelamatkan ekonomi keluarga paska pengeboman.
Dalam perspektif HAM Perempuan, radikalisme dan terorisme adalah ancaman bagi Hak Asasi Perempuan dan memicu berbagai bentuk kekerasan terhadap Perempuan. Karenanya, mekanisme HAM PBB membuat kebijakan global antara lain melalui General Recommendation 30 CEDAW yang menekankan negara untuk melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender akibat berbagai macam konflik, termasuk dalam konteks terorisme.
Resolusi Dewan Keamanan PBB no.1325 tentang “Perempuan, Perdamaian dan Keamanan” menyerukan kepada negara-negara untuk melindungi perempuan dan anak perempuan di wilayah konflik dari kekerasan berbasis gender. Turunan resolusi tersebut antara lain, resolusi 2129 yang meminta perhatian bangsa-bangsa akan ancaman perdamaian dan keamanan internasional yang diakibatkan kegiatan terorisme. Sementara resolusi DK PBB no.2178 tahun 2014 menemukenali pentingnya pemberdayaan perempuan sebagai faktor mitigasi dalam penyebaran kekerasan radikalisme.
Resolusi 2242 (tahun 2015) menyerukan negara-negara untuk membuat laporan global study 1325, memasukkan agenda perempuan, perdamaian dan keamanan dalam agenda pembangunan 2030, mendorong kepemimpinan Perempuan masuk ke semua level pengambilan keputusan, serta mengingatkan perlindungan HAM perempuan dan anak dalam kegiatan terorisme.
Hasil global studi 1325 menyatakan bahwa SGBV (Sexual Gender Based Violence) menjadi taktik gerakan teroris, anak perempuan dan ‘istri’ menjadi kelompok yang paling rentan dalam situasi konflik dan kegiatan terorisme, perempuan juga kerap bersimpati dan menjadi pendukung dengan mempersiapkan makanan, kesehatan, dan sebagainya. Namun demikian potensi Perempuan juga tinggi dalam mencegah terorisme.
Berangkat dari berbagai temuan dan pandangan diatas, Komnas Perempuan bersikap (melanjutkan sms Rilis tanggal 13 Mei 2018):
1). Mengutuk segala bentuk kekerasan dan terorisme atas nama dan kepentingan apapun, serta hentikan penggunaan perempuan dan anak-anak untuk mendukung aksi-aksi gerakan ekstrimisme berkekerasan;
2). Mendorong negara untuk memprioritas penanganan dan pemulihan para korban terorisme dengan memberikan dukungan yang dibutuhkan sebagai pemenuhan hak para korban, termasuk Perempuan korban;
3). Mendukung aparat keamanan untuk mengusut aksi-aksi terorisme secara tuntas, mencegah keberulangan dengan meningkatkan kecermatan kinerja Badan Intelejen Nasional (BIN) dan menciptakan rasa aman di masyarakat dengan berpedoman pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia;
4). Meminta semua pihak untuk bersikap kritis pada informasi terutama politisasi dan penggunaan agama untuk justifikasi tindak kekerasan dan memperbanyak upaya bersama untuk memperkuat solidaritas dan soliditas di masyarakat dengan menyuburkan nilai-nilai toleransi, menghargai perbedaan, menciptakan kedamaian serta mencegah kekerasan atas nama apapun;
5). Mendorong DPR untuk segera menyelesaikan pembahasan revisi atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme dengan menekankan pada penanganan terorisme secara komprehensif, menggunakan kerangka due diligence dan berperspektif HAM dan gender, termasuk memberikan jaminan perlindungan dan pemulihan bagi para korban (langsung dan tidak langsung). (asr)