Dorongan Tiongkok untuk mengimplementasikan sistem kredit sosial nasional pada tahun 2020 adalah sepenuhnya mencekik karena jutaan orang telah dilarang terbang atau naik kereta api berkecepatan tinggi, menurut statistik terbaru oleh rezim Tiongkok.
Hingga akhir April, sekitar 10 juta orang Tiongkok yang gagal membayar utang-utang mereka telah dilarang terbang 11.11 juta kali dan ditolak akses masuk kereta api berkecepatan tinggi 4,25 juta kali, melaporkan corong rezim Tiongkok, People’s Daily pada 16 Mei, mengutip data dari Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional Tiongkok (NDRC), sebuah badan perencanaan di bawah Dewan Negara.
Larangan perjalanan tersebut adalah bagian dari sistem kredit sosial, karena, menurut People’s Daily, itu akan “memberi penghargaan kepada warga negara dengan catatan kredit yang baik dan menghukum para pelanggar yang berulang-ulang melakukan kesalahan.”
Tiongkok pertama kali mengumumkan rencana untuk sistem kredit sosial pada tahun 2014, di mana setiap warga negara Tiongkok akan dinilai menurut perilaku online, sosial, keuangan, dan ketaatan hukumnya. Kelakuan buruk, seperti menggunakan identitas palsu di stasiun kereta api dan bandara, penolakan untuk mendaftar asuransi sosial yang diperlukan, dan gagal membayar denda untuk tindakan ilegal di saham atau perdagangan berjangka, dapat mengakibatkan larangan perjalanan menggunakan kereta api selama 180 hari dan terbang selama setahun, melaporkan NDRC pada bulan Maret. Hukuman mulai berlaku penuh pada bulan Mei.
Frank Xie Tian, seorang profesor bisnis di University of South Carolina, Aiken, menjelaskan bahwa sementara sistem penilaian kredit di Amerika Serikat adalah tentang “memastikan pelaksaan yang efektif terhadap ekonomi dan sistem keuangan dalam masyarakat,” sedangkan sistem kredit sosial Tiongkok adalah benar-benar berbeda.
Sistem Tiongkok adalah tentang memerintah orang dan bentuk penindasan, kata Tian dalam wawancara dengan The Epoch Times.
Sementara rezim Tiongkok mengatakan sistemnya adalah tentang “memurnikan” masyarakat dan memberi penghargaan kepada orang-orang yang dapat dipercaya, itu bisa, di dalam kenyataannya, digunakan untuk menargetkan dan membungkam pembangkang dan kelompok lain di Tiongkok.
“Misalnya, saya tahu orang-orang yang menjadi pemohon mencari ganti rugi atas keluhan mereka. Mereka dimasukkan dalam daftar orang-orang dengan kredit buruk,” kata Qin Weiping, seorang sarjana ekonomi dan mantan wartawan di Tiongkok, dalam wawancara dengan Radio Free Asia (RFA).
Mempetisi berasal dari Tiongkok kuno, ketika warga biasa ingin pergi ke ibu kota dan memohon kepada pejabat istana kekaisaran sebagai upaya terakhir untuk mencari keadilan. Praktek tersebut masih ada di Tiongkok modern.
Namun, para pemohon hari ini menghadapi risiko pelecehan dan dijebloskan ke penjara hitam, fasilitas ekstralegal yang dirancang untuk menahan dan mengintimidasi para pemohon keadilan agar menyerah dalam petisi mereka, oleh otoritas Komunis Tiongkok.
Qin menambahkan bahwa para pembangkang di Tiongkok juga dapat dimasukkan ke dalam daftar orang-orang dengan peringkat kredit rendah, mengingat sejarah rezim Tiongkok menggunakan pengawasan dan teknologi canggih lainnya untuk memantau dan menekan para pembangkang tersebut.
Bao, seorang pemohon dari Provinsi Hubei Tiongkok utara, mengingat kembali pengalamannya tentang larangan bepergian tersebut dalam sebuah wawancara dengan NTD yang berbasis di New York.
“Dua hari yang lalu, saya pergi ke Wuhan [ibukota Hubei] dan saya mencoba membeli tiket kereta. Saya mendapat telepon segera, memberi tahu saya bahwa saya tidak bisa naik pesawat,” kata Bao.
“Sistem tersebut adalah tentang mengendalikan orang, dimana orang menjadi sangat transparan sehingga mereka tidak memiliki privasi apapun,” ungkapnya.
Li Shanjian, seorang komentator politik independen yang berbasis di AS, memperingatkan tentang bahayanya sistem kredit sosial tersebut.
“Pada rezim Tiongkok, tidak ada pemeriksaan mengenai sistem tersebut,” kata Li kepada The Epoch Times. (ran)
ErabaruNews