EpochTimesId – Honor informan FBI yang dikirim untuk memata-matai tim kampanye Donald Trump pada Pilpres 2016 dibayar oleh lembaga pemikir Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Informan bernama Stefan Halper itu menerima honor lebih dari satu juta dolar AS, atau sekitar 14 miliar rupiah.
Halper menerima lima kali pembayaran honor, berdasarkan catatan pemerintah AS. Yang pertama pada tahun 2012, sekitar 198.000 dolar AS, adalah untuk kontrak penelitian dari Kantor ‘Net Assessment—a strategy’. Kantor itu adalah sebuah lembaga pemikir strategic yang bernaung di bawah Menteri Pertahanan AS.
Sifat dan jenis penelitian yang dikerjakan tidak jelas. Banyak hasil penelitian dari kantor tersebut tidak pernah dirilis kepada publik.
Pembayaran kedua sebesar 204.000 dolar diberikan pada tahun 2014 dengan kontrak yang digambarkan sebagai program ‘Research and Studies—the year 2030’.
Pembayaran ketiga sebesar 245.000 dolar diberikan pada 2015. Kontrak itu berjudul “Administrative Management and General Management Consulting Services” tetapi dalam deskripsinya tertulis, “Studi Hubungan Rusia-Tiongkok.”
Pada 26 September 2016, satu hari sebelum kontrak sebelumnya berakhir, catatan menunjukkan pemerintah melaksanakan opsi untuk memperpanjang kontrak hingga 29 Maret 2018. Kali ini, Halper menerima pembayaran sekitar 412.000 dolar.
Karya Halper ditandai sebagai “Special studies/analysis-foreign/national security policy”. (“studi/analisis khusus-kebijakan keamanan luar negeri/nasional”)
Jumlah terakhir dibayarkan dalam dua angsuran; Pertama pada 27 September 2016, sekitar 282.000 dolar; Dan yang terakhir pada 26 Juli 2017, sekitar 129.000 dolar.
Halper memiliki keterkaitan dengan CIA dan MI6 (badan intelijen Inggris). Dia bertugas pada masa pemerintahan Nixon, Ford dan Reagan. Dia juga bekerja sebagai profesor di Universitas Cambridge.
Halper, pada dasarnya, terungkap sebagai informan FBI oleh The Washington Post dan The New York Times pada 18 Mei 2018. Sebelumnya, pihak lain juga menyampaikan tuduhan yang sama, seperti diantaranya blogger Jeff Carlson.
Berdasarkan bocoran yang diberitakan sejumlah media cetak, FBI menggunakan Halper dalam penyelidikannya tentang kemungkinan hubungan antara tim kampanye Trump dan Rusia.
Halper bertemu dengan Carter Page, penasihat sukarelawan untuk tim kampanye Trump, pada simposium Cambridge yang diadakan pada 11-12 Juli 2016. Page baru saja kembali dari perjalanan ke Rusia beberapa hari sebelumnya dan mengatakan dia tetap berhubungan dengan Halper untuk beberapa bulan berikutnya, seperti dikabarkan The Daily Caller.
Perjalanan Page menjadi subjek klaim yang tidak dibuktikan dalam dokumen Steele, sepotong penelitian oposisi yang disatukan oleh mantan agen intelijen Inggris Christopher Steele. Dia melakukannya setelah dibayar oleh tim kampanye Hillary Clinton dan Komite Nasional Demokrat.
Dokumen palsu itu kemudian sangat diandalkan untuk mendapatkan surat perintah untuk memata-matai Page, beberapa minggu sebelum pemilihan presiden, menurut memo oleh fraksi mayoritas Partai Republik di Komite Intelijen DPR.
Memo itu mengatakan, pejabat FBI dan Departemen Kehakiman (DOJ) yang berwenang memberikan surat perintah dan dengan sengaja menahan dari Pengadilan Pengawasan Intelijen Asing (FISA) bahwa banyak bukti yang disajikan dalam aplikasi didasarkan pada dokumen itu.
Dokumen itu mengklaim Page bertemu dengan seorang pejabat Rusia dan seorang eksekutif puncak perusahaan minyak besar Rusia selama kunjungannya ke Rusia. Tidak satu pun pertemuan itu bisa dibuktikan. Page membantah di bawah sumpah bahwa dia bertemu dengan eksekutif minyak Rusia itu.
Waktu pertemuan Page-Halper adalah penting karena FBI, berdasarkan kebocoran sebelumnya yang dipublikasikan The New York Times, hanya mulai melihat keterkaitan Trump-Rusia setelah Wikileaks mulai menerbitkan email dari server Komite Nasional Demokrat (DNC) pada 22 Juli.
Rilis Wikileaks mendorong Alexander Downer, duta besar Australia untuk Inggris, untuk mengirim kabel resmi ke Canberra tentang percakapan sebelumnya dengan penasihat sukarelawan tim kampanye Trump, George Papadopulos. Informasi itu kemudian dikomunikasikan kepada FBI dengan bantuan Joe Hockey, duta besar Australia untuk Amerika Serikat, The Sydney Morning Herald melaporkan tanpa mengutip sumber.
Pada tanggal 6 Mei, konselor Downer, Erika Thompson menghubungi Papadopulos dan memintanya untuk menemui Downer, The Daily Caller melaporkan. Sekitar 10 Mei, ketiganya bertemu di restoran Kensington Gardens di London. Tidak jelas apakah ada yang hadir. Setelah beberapa minuman, Papadopulos mengatakan kepada Downer bahwa, sekitar dua minggu sebelumnya, akademisi Maltesian Joseph Mifsud memberitahunya bahwa orang-orang Rusia memiliki koneksi dengan Hillary Clinton dan ribuan emailnya.
Papadopulos mengatakan dia berpikir Mifsud sedang berbicara tentang beberapa dari 30.000 email yang dihapus Hillary Clinton, alih-alih menyerahkannya kepada FBI ketika dia diselidiki karena kesalahan penanganan informasi rahasia sebagai Menteri Luar Negeri. Beberapa email yang dihapus kemudian ditemukan pada laptop mantan anggota Kongres, Anthony Weiner.
Halper telah bertemu dengan Papadopulos juga.
Pada 2 September 2016, Halper menawarkan Papadopulos 3.000 dolar AS dan membiayai perjalanan ke London untuk menulis makalah ladang gas di Laut Mediterania. Papadopulos menerima tawaran itu dan terbang ke London, tempat dia bertemu Halper dan asistennya, The Daily Caller melaporkan, berdasarkan sumber anonim.
Selama pertemuan, Halper bertanya, “George, Anda tahu tentang meretas email dari Rusia, kan?” Papadopoulos memberi tahu Halper bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang email atau peretasan Rusia.
Pada 31 Agustus atau 1 September 2016, Halper juga bertemu dengan ketua tim kampanye Trump, Sam Clovis di Virginia Utara. Dia menawarkan bantuan kepada tim kampanye Trump dengan kebijakan luar negeri, The Washington Post melaporkan. Pengacara Clovis mengatakan mereka kebanyakan berbicara tentang Tiongkok, dan nama Rusia tidak muncul.
Beberapa hari sebelum pemilihan, Halper mengatakan bahwa kemenangan Hillary Clinton akan menjadi yang terbaik untuk hubungan AS-Inggris dan hubungan dengan Uni Eropa dalam wawancara dengan Sputnik. (Petr Svab/The Epoch Times/waa)
Simak juga, Pengakuan Dokter yang Dipaksa Panen Organ Hidup :
https://youtu.be/0x2fRjqhmTA