Uni Eropa mengumumkan pada 1 Juni bahwa mereka telah meluncurkan pengaduan melawan Tiongkok pada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), mengutip kebijakan Tiongkok yang mendiskriminasi perusahaan-perusahaan asing dan memaksa mereka untuk mentransfer teknologi eksklusif.
Dalam siaran pers, Komisi Eropa tersebut menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan Eropa yang beroperasi di Tiongkok, dimana sering dipaksa untuk mendirikan usaha-usaha patungan dengan perusahaan-perusahaan domestik supaya mendapatkan akses ke pasar Tiongkok, telah dibuat untuk mentransfer teknologi ke mitra-mitra usaha Tiongkok mereka.
“Inovasi teknologi dan pengetahuan adalah fondasi ekonomi berdasar pengetahuan kami. Itu yang membuat perusahaan kami kompetitif di pasar global dan mendukung ratusan ribu pekerjaan di seluruh Eropa. Kami tidak bisa membiarkan negara memaksa perusahaan kami untuk menyerahkan pengetahuan yang dihasilkan dengan susah payah ini pada pembatasannya,” kata Komisaris Eropa untuk Perdagangan, Cecilia Malmstrom. dalam siaran pers. Dia mencatat bahwa transfer teknologi seperti itu bertentangan dengan aturan WTO, khususnya Perjanjian WTO tentang Aspek Perdagangan Terkait Hak Kekayaan Intelektual yang ditandatangani oleh negara-negara anggota pada tahun 1995.
Dalam survei kepercayaan bisnis 2017 yang dilakukan oleh Kamar Dagang Uni Eropa di Tiongkok, 17 persen dari semua responden mengatakan mereka telah ditekan untuk mentransfer teknologi mereka. Bisnis di sektor teknologi tinggi, seperti industri luar angkasa dan penerbangan, otomotif, dan permesinan, terutama merasakan paksaan tersebut, dengan lebih dari 20 persen responden mengatakan bahwa mereka tertekan.
Dalam pengaduannya, Komisi Eropa menargetkan dua set kebijakan Tiongkok tertentu, yang dikenal sebagai TIER (regulasi impor dan ekspor teknologi) dan peraturan JV (usaha patungan), yang dikatakan telah mendiskriminasi perusahaan-perusahaan non-Tiongkok.
Dalam penilaian praktik-praktik kekayaan intelektual (IP) Tiongkok, kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) menjelaskan bahwa TIER memberlakukan pembatasan yang tidak menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan asing, seperti mengharuskan agar semua penyempurnaan yang telah dibuat terhadap teknologi menjadi bagian dari Partai tersebut yang membuat penyempurnaan tersebut. Ini akan memungkinkan sebuah perusahaan Tiongkok yang telah bermitra dengan perusahaan asing dapat mematenkan penyempurnaan yang telah dibuat tersebut “terpisah dari penemuan aslinya,” sementara pencipta asli dihalangi menggunakan penyempurnaan tersebut di Tiongkok. Pemberi lisensi asli juga tidak dapat membatasi entitas Tiongkok tersebut memanfaatkan teknologinya untuk membuat penyempurnaan-penyempurnaan.
Sementara itu, peraturan-peraturan usaha patungan tersebut membatasi kontrak teknologi untuk periode 10 tahun dan memberi mandat bahwa usaha patungan Tiongkok diberikan hak untuk menggunakan teknologi tersebut selamanya setelah kontrak berakhir, menurut laporan USTR.
Bahkan, pada awal Maret, Amerika Serikat mengajukan keluhan serupa dengan WTO, mengklaim bahwa Tiongkok telah “menolak pemegang paten asing, termasuk perusahaan AS, hak paten dasar untuk menghentikan entitas Tiongkok menggunakan teknologi tersebut setelah kontrak lisensi berakhir,” menurut pernyataan kantor USTR.
Keluhan AS tersebut diajukan setelah publikasi tentang penemuan-penemuan USTR tersebut, sebagai bagian dari serangkaian tindakan perdagangan Presiden Donald Trump telah mengumumkan untuk menghukum Tiongkok karena pencurian kekayaan intelektualnya, termasuk tarif perdagangan senilai $50 miliar yang banyak dibicarakan atas barang-barang teknologi impor Tiongkok.
Menyusul keluhan Uni Eropa tersebut, rejim Tiongkok mengeluarkan pernyataan yang menyangkal bahwa negara tersebut telah terlibat dalam praktik IP yang tidak adil.
Konsultasi WTO akan berlangsung selama 60 hari. Jika pihak-pihak yang terlibat tidak mencapai resolusi pada saat itu, WTO akan membentuk panel untuk memutuskan masalah ini. (ran)
ErabaruNews